Nama itu akan diingat juga melalui potret wajah. Jika potret itu memudar, bisa jadi nama itu turut digusur waktu.Â
Waktu itu abadi. Kitalah yang fana. Karena itu, selagi waktu itu kita dekap, manfaatkan untuk menabur benih kebaikan.Â
Hidup kita sementara saja. Kesementaraan ini adalah kesia-siaan. Demikian tema besar Kitab Pengkhotbah. Karenanya, ketika membaca Kitab ini, kita seperti melihat nada sinis atas kehidupan.Â
Hidup manusia itu bagaikan menjaring angin. Jangan harap untuk mendapatkan apa yang ingin dicari. Itu hanya melelahkan tubuh. Tenaga dikuras habis untuk bekerja tetapi hasilnya nihil.Â
Kematian adalah faktor penentu kesia-siaan itu. Matinya seseorang berarti ia lenyap dari peradaban. Apa yang mau dibanggakan dari kehidupan kalau setelah itu ada kematian?Â
Kematian hanya akan menyebabkan manusia merana, hilang harapan. Eksistensinya terkoyak.Â
Kematian bisa juga membuat orang terkasih merasa terpuruk-berada di titik nadir. Kematian itu membuat hidup manusia absurd. Demikian kata Albert Camus.Â
Yang paling menarik dari uraian Pengkhotbah 3:16-22 yakni status manusia itu sama dengan binatang.Â
Ngeri juga kesimpulan ini. Padahal kita sepenuh tahu bahwa manusia itu makhluk paling mulia-istimewa.Â
Ternyata, kesimpulan Pengkhotbah perihal kesetaraan manusia dan binatang ada pada kematian. Manusia mati, begitu juga binatang.Â
Tetapi mengenai dimana nantinya roh manusia dan binatang pergi, ada perbedaan.Â