Salah satu puisi terkenal dari Sapardi Djoko Damono, seorang sastrawan besar Indonesia yakni "Yang Fana adalah Waktu".Â
Begini bunyinya :
" Yang fana adalah waktu. Kita Abadi:Â
Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa.Â
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?"Â
tanyamu. Kita abadi".Â
Menurut hemat Penulis, puisi ini merupakan dialektika atas waktu dan kehidupan fana manusia. Waktu kerap dipandang sebagai yang kekal, sedangkan hidup manusia itu fana.Â
Cara pandang di atas dikontraskan oleh Sapardi. Yang fana adalah waktu dan yang abadi adalah kita. Menarik untuk kita eksplorasi makna dari puisi ini.Â
Waktu itu menyingkapkan kepada kita tentang batas hidup manusia. Manusia hidup dalam waktu. Karenanya, semua yang ada pasti menuju kesudahannya alias mati.Â
Syair Sapardi di atas bisa kita baca sebagai suatu bentuk hiburan atas keterbatasan hari hidup manusia.Â
Manusia hanya kekal karena nama. Itupun namanya hanya tersimpan di memori orang-orang terkasih.Â
Nama itu akan diingat juga melalui potret wajah. Jika potret itu memudar, bisa jadi nama itu turut digusur waktu.Â
Waktu itu abadi. Kitalah yang fana. Karena itu, selagi waktu itu kita dekap, manfaatkan untuk menabur benih kebaikan.Â
Hidup kita sementara saja. Kesementaraan ini adalah kesia-siaan. Demikian tema besar Kitab Pengkhotbah. Karenanya, ketika membaca Kitab ini, kita seperti melihat nada sinis atas kehidupan.Â
Hidup manusia itu bagaikan menjaring angin. Jangan harap untuk mendapatkan apa yang ingin dicari. Itu hanya melelahkan tubuh. Tenaga dikuras habis untuk bekerja tetapi hasilnya nihil.Â
Kematian adalah faktor penentu kesia-siaan itu. Matinya seseorang berarti ia lenyap dari peradaban. Apa yang mau dibanggakan dari kehidupan kalau setelah itu ada kematian?Â
Kematian hanya akan menyebabkan manusia merana, hilang harapan. Eksistensinya terkoyak.Â
Kematian bisa juga membuat orang terkasih merasa terpuruk-berada di titik nadir. Kematian itu membuat hidup manusia absurd. Demikian kata Albert Camus.Â
Yang paling menarik dari uraian Pengkhotbah 3:16-22 yakni status manusia itu sama dengan binatang.Â
Ngeri juga kesimpulan ini. Padahal kita sepenuh tahu bahwa manusia itu makhluk paling mulia-istimewa.Â
Ternyata, kesimpulan Pengkhotbah perihal kesetaraan manusia dan binatang ada pada kematian. Manusia mati, begitu juga binatang.Â
Tetapi mengenai dimana nantinya roh manusia dan binatang pergi, ada perbedaan.Â
Roh manusia kembali pada yang memberi nafas, yakni Allah. Sebaliknya, binatang yang mati, ia langsung menjadi debu.Â
Mengapa bisa begitu? Perhatikan narasi penciptaan manusia dan binatang dalam Kejadian 2:7 dan Kejadian 2:19.Â
Material diciptakan manusia dan binatang memang sama yakni tanah. Tetapi ada bedanya.Â
Pada manusia, Allah menghembuskan napasNya (Kej.2:7) sedangkan pada binatang tidak dijelaskan bahwa Allah menghembuskan nafas ke dalam hidup binatang (Kej. 2:19. (Peetz, 2020:179)
Poin ini membantah secara radikal kesimpulan Pengkhotbah tetapi jangan manusia berbangga dulu.Â
Pasca ia mati, benar rohnya kembali kepada Allah tetapi juga ada penghakiman atas hidup manusia.Â
Waktu yang Tuhan beri itu silakan dinikmati. Silakan bebas berekspresi tetapi ingat juga untuk tetap menebar kebaikan dan kasih.Â
Jangan karena hidup sementara, lalu lupa untuk melakukan kehendak Allah. Awas nanti bisa menyesal.Â
Bagi yang setia memahami keterbatas di depan waktu tetapi tetap menabur cinta dan kebaikan, ia akan membenarkan kata Sapardi. Yang fana adalah waktu. Kita ini abadi. Imanuel
Catatan : Naskah ini merupakan pengembangan dari khotbah yang Penulis sampaikan dalam ibadah malam penghiburan kedua (Oepura, 07 Mei 2024) atas mama Oma Selfiana Hanas. Teks Alkitab yang dijadikan rujukan dalam khotbah yakni Pengkhotbah 3:16-22.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H