Mohon tunggu...
Rolan Sihombing
Rolan Sihombing Mohon Tunggu... profesional -

Kita tidak perlu otak jenius untuk memulai perubahan. Kita hanya perlu hati tulus yang tergerak mengulurkan tangan kepada penderitaan anak-anak bangsa yang tidak seberuntung kita. -www.rolansihombing.wordpress.com-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gereja dan Konflik Kekerasan Sosial

22 Oktober 2010   04:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:13 4093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Peranan Gereja dalam Upaya Perdamaian

Perdamaian hanya dapat diwujudkan melalui sarana-sarana damai. Mengapa? Karena sejatinya konflik kekerasan tidak boleh hanya dipandang sebagai suatu fenomena politik-militer semata, namun juga harus dilihat sebagai sebuah fenomena sosial. Konflik kekerasan juga memiliki suatu siklus hidup yang tidak berjalan linear; ia sangat tergantung dari dinamika lingkungan politik yang spesifik pula. Penyebab konflik kekerasan pun tidak bisa direduksi ke dalam suatu variabel tunggal dalam bentuk suatu proposisi kausalitas bivariat. Suatu konflik sosial harus dilihat sebagai suatu fenomena yang terjadi karena interaksi bertingkat berbagai faktor. Dan selain itu, konflik hanya dapat diterapkan secara optimal jika dikombinasikan dengan beragam mekanisme penyelesaian konflik lain yang relevan.

Salah satu mekanisme sarana damai yang dapat digunakan adalah resolusi konflik. Resolusi konflik merupakan suatu terminologi ilmiah yang menekankan kebutuhan untuk melihat perdamaian sebagai suatu proses terbuka dan membagi proses penyelesaian konflik dalam beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik. Resolusi konflik juga pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan suatu perdamaian yang positif, dimana perdamaian harus dilihat sebagai suatu upaya untuk membongkar sumber-sumber kekerasan yang ada dalam struktur sosial. Resolusi konflik ini sendiri dapat dicapai dengan mengidentifikasi sumber-sumber kekerasan struktural, mengidentifikasi perubahan struktural yang dibutuhkan, dan melembagakan proses resolusi konflik dalam struktur sosial (Syamsul Hadi, Andi Widjajanto dkk, 2007: 81-82). Diharapkan dengan resolusi konflik yang diterapkan akan mampu mencegah terulangnya lagi konflik yang melibatkan kekerasan bersenjata, dan mengkonstruksikan proses perdamaian yang langgeng yang dapat dijalankan oleh pihak-pihak yang bertikai. [8]

Dua tujuan tersebut dapat dicapai dengan merancang dua kegiatan. Kegiatan pertama adalah yaitu mengoperasionalkan suatu indikator sistem peringatan dini. Indikator tersebut harus terkait dengan variasi sumber konflik lokal. Sistem peringatan dini ini diharapkan dapat menyediakan ruang manuver yang cukup luas bagi beragam aktor resolusi konflik dan memperkecil kemungkinan penggunaan kekerasan bersenjata untuk mengelola konflik yang terjadi. Selanjutnya, kegiatan yang kedua adalah mengembangkan beragam mekanisme resolusi konflik lokal yang melibatkan sebanyak mungkin aktor-aktor non-militer di berbagai tingkat eskalasi konflik. Aktor-aktor resolusi konflik tersebut dapat saja melibatkan Non-Governmental Organizations (NGO), mediator internasional, ataupun institusi keagamaan. Untuk itu, upaya resolusi konflik ini harus ditempatkan dalam ruang gerak siklus konflik agar para aktor-aktor resolusi konflik ini memiliki gambaran yang komprehensif tentang eskalasi konflik, dan mendapat solusi yang tepat untuk mengatasi dinamika-dinamika konflik yang spesifik.

Indikator sistem peringatan dini dapat diupayakan dalam kerangka kerjasama antar umat beragama. Karena agama memiliki nilai-nilai potensial yang dapat diaktualisir untuk mengikat masyarakat melakukan atau tidak melakukan sesuatu demi mencegah dan atau mencapai sesuatu. Aspek lain dari nilai-nilai agama adalah kemampuannya untuk mengembangkan mekanisme pencegahan kekerasan dan melakukan pendamaian apabila terjadi kekerasan. Oleh karena itu, sebagai solusi dari konflik kekerasan yang telah terjadi di Indonesia, dan juga sebagai usaha preventif terhadap konflik yang mungkin kelak akan terjadi, maka agama harus mengupayakan proses pendewasaan iman dan kematangan berpikir agar umat mampu hidup berdampingan di tengah perbedaan.

Proses pendewasaan iman ini harus dilakukan di dalam proses pembelajaran yang ada, seperti khotbah-khotbah, ataupun dalam sharing yang dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil pembinaan iman. Substansi pengajaran tentulah harus menekankan pentingnya hidup yang berdampingan secara harmonis dengan masyarakat yang berbeda suku, agama, dan strata sosial. Selain itu substansi pengajaran tersebut pun harus memberi tekanan pada upaya menjalin kerjasama antar umat beragama terkait dengan masalah-masalah kemanusiaan. Format keberagamaan yang seperti itulah yang disebut oleh Komarudin Hidayat sebagai suatu format agama masa depan.[9]

Langkah selanjutnya yang bisa dilanjutkan dalam proses kematangan berpikir umat adalah melakukan proses dialog lintas agama yang berkelanjutan. Dialog agama haruslah bukan sekedar dialog yang beragendakan upaya pembelaan agama (apologetika), tetapi sebuah dialog yang condong kepada suatu upaya memahami ekspresi keimanan dari agama-agama yang lain. Dialog tersebut bisa merupakan sebuah "sekolah pluralis" yang berfungsi sebagai wadah pencerahan dalam tataran kognitif, afektif, dan psiko-motoris. Ketika umat beragama dapat mengalami pencerahan dalam suatu komunitas dialog lintas agama yang menjadi sebuah "sekolah pluralis", maka niscaya kecurigaan lintas agama bisa diminimalisir. Ketika kecurigaan antar umat beragama berhasil ditekan maka sebuah "trust" dapat tercipta. Dan seterusnya ketika "trust" berhasil tercipta, maka kerjasama dan saling pengertian lintas agama bisa diciptakan. Akhirnya proses tersebut pun niscaya dapat meredam konflik sosial. Dengan kata lain kerjasama dan toleransi antar umat beragama-lah yang kelak dapat menjadi sebuah sistem peringatan dini terhadap kemungkinan munculnya konflik kekerasan, khususnya yang melibatkan isu-isu SARA.

Bagaimana keterlibatan gereja di daerah yang sudah dan masih dilanda konflik kekerasan sosial? Ketika kekerasan berhasil dihentikan, maka gereja harus segera bergerak untuk melakukan negosiasi antara pihak-pihak yang bertikai. Ini dilakukan agar solusi konflik secara komprehensif dengan menerapkan problem solving approach dapat segera ditemukan. Pada tahap ini berbagai alternatif pemecahan masalah dieksplorasi, dipilih yang terbaik bagi kedua belah pihak, dan selanjutnya diterapkan secara empirik.         Tidak berhenti sampai di situ, gereja pun harus proaktif mengupayakan peace-building yang meliputi tahap transisi, tahap rekonsiliasi, dan tahap konsolidasi. Hal terpenting dalam proses peace-building ini adalah segera memulihkan kepercayaan dan kohesi sosial masyarakat sehingga integrasi masyarakat secara harmonis dapat tercapai. Tidak heran jika tahap ini biasanya merupakan tahap yang terberat dan memakan waktu yang lama karena memiliki orientasi struktural dan kultural. Untuk itu, sebuah proses rekonsiliasi sosial atau rujuk sosial harus benar-benar diagendakan dalam tahap ini. Karena proses rekonsiliasi atau rujuk sosial adalah sebuah agenda dalam resolusi konflik yang efektif dalam penyembuhan dari trauma sosial, sekaligus dapat merekatkan ulang kohesi sosial yang tercabik-cabik akibat konflik. Rekonsiliasi harus diarahkan untuk membangun kembali trust antara kelompok-kelompok masyarakat yang semula bertikai. Bahkan rujuk sosial juga harus menyentuh akar konflik melalui rekonsiliasi elit politik, konflik adat/tanah, dan konflik identitas agama-etnis (Syamsul Hadi, Andi Widjajanto dkk, 2007:177-183).

Pembawa Damai Adalah Anak-anak Allah: Sebuah Kesimpulan

Kekerasan hanya bisa dihentikan melalui pelbagai aksi tanpa kekerasan yang dilakukan secara proaktif. Agama memiliki kompetensi untuk menjadi penyuara bagi terwujudnya perdamaian di tengah masyarakat yang sedang dilanda konflik kekerasan. Dan gereja sebagai institusi keagamaan yang hidup di tengah bangsa ini, sudah seharusnya memainkan peranan yang aktif dalam pelbagai aksi pencegahan kekerasan dan juga dalam pengupayaan peace-building.

Yesus sendiri dalam khotbah di bukit (Mat 5:9) menyatakan: "Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah." Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa perdamaian adalah kualitas yang khas yang ada dalam pribadi Allah. Ini juga ditegaskan oleh Paulus dalam I Kor 14:33, yaitu bahwa Allah tidak menghendaki kekacauan, melainkan damai sejahtera. Karakteristik Allah yang menghendaki damai sejahtera ini telah terbukti dengan tindakan Allah dalam karya penyelamatan manusia-melalui karya Kristus di kayu salib. Manusia yang sudah hidup dalam keberdosaan, tidaklah dibiarkan-Nya larut dalam keberdosaan. Allah memulai inisiatif untuk menghampiri manusia dan memperdamaikan diri-Nya dengan manusia. Seperti yang dinyatakan Paulus dalam kitab Rm 3:25, bahwa Kristus telah ditentukan Allah menjadi jalan perdamaian melalui pengorbanan-Nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun