Koh Ahau rusuh dengan istrinya karena tertangkap basah mengirimkan pesan mesra untuk Amei, janda kembang yang saat ini tinggal sendiri 3 rumah dari rumah Koh Ahau. Memang di Social Wall kita bisa melihat aktivitas masing-masing pemilik tembok, seperti berkirim pesan (tembok yang memiliki telinga akan menerima pesan, dan pesan tersebut akan disampaikan ke tembok tujuan lewat tembok yang bermulut). Tampaknya Koh Ahau tidak cukup lihai untuk memilih cara berselingkuh yang lebih aman dan rahasia.
Masalah-masalah yang ditimbulkan Social Wall makin hari makin meresahkan saja. Tidak hanya sebatas di kampungnya Iris saja. Di kampung-kampung lain, bahkan di ibu kota, timbul masalah yang sama. Runyamnya, bukan cuma masalah remeh temeh seperti Koh Ahau yang ketahuan “main api” oleh istrinya, tapi masalah yang sudah melibatkan orang-orang penting dan dunia hukum.
“Pa, sudah papa lihat belum itu kasus seorang pemuda di Ibukota yang dituntut seorang pembesar atas tuduhan pencemaran nama baik?”
“Yang di headline koran pagi tadi? Sudah ma. Dasar tolol juga itu orang, sembarangan komentar saja dia di Social Wallnya. Tak tahu etika lah orang-orang seperti itu. Dipikirnya bisa menumpahkan apa saja unek-uneknya secara langsung di Social Wall.”
“Tapi kan memang belum ada peraturan resminya pa. Mana bisa harusnya asal tuntut?”
“Namanya juga orang besar. Kalau belum ada peraturannya, tinggal dia bengkokkan saja peraturan yang ada. Habis itu cepat-cepat dibuat peraturannya biar publik tidak banyak yang sangsi.”
Kasus terus bermunculan. Undang-undang yang mengatur penggunaan Social Wall dan media komunikasi dalam jaringan lainnya dirampungkan dengan cepat. Tunggu, media komunikasi dalam jaringan lainnya? Namanya juga ada gula ada semut. Kesuksesan Social Wall sebagai pionir media komunikasi daring, atau yang awamnya disebut media sosial, membuat beberapa perusahaan media sosial lain ikut menyemarakkan persaingan. Tidak semuanya menelurkan produk yang sama persis seperti Social Wall, hanya saja berpijak pada satu fondasi yang mirip-mirip. Produk-produk baru melakukan diferensiasi agar tidak membosankan di hadapan publik. Mereka mengisi ruang-ruang kosong nan potensial yang masih tidak bisa dipenuhi oleh keberadaan Social Wall. Seperti media sosial “Red Street” yang hampir sama dengan Social Wall, namun dapat digunakan di jalan atau tempat-tempat umum untuk berbagi foto, dan lokasi saat ini.
Iris berusia 17 tahun di saat ia menggunakan hampir semua media sosial yang ada. Teman-temannya di Red Street, Blue Chirp, Polargram, dan tidak lupa Social Wall, sudah menjadi pengganti teman-teman manusia sungguhan di dunia nyata. Bahkan pacarnya pun dikenal dari media sosial. Berawal dari sekedar permintaan pertemanan yang diterima, berlanjut ke obrolan ngalor ngidul, sampai ke tahap pengungkapan perasaan. Sesudah Iris jatuh hati, mulailah si pria melancarkan siasat keparatnya.
“Iris, bosen nih lihat foto kamu yang begitu-begitu terus. Boleh abang minta foto yang lebih terbuka nggak?”
Atas nama cinta, Iris yang masih hijau mau saja mengirimkan foto bugilnya kepada pria hidung belang yang dipanggilnya “Abang Glen” ini. Abang Glen lebih tua 5 tahun dari Iris, mengaku bekerja sebagai manager salah satu perusahaan asuransi ternama di ibukota provinsi kampungnya Iris.
“Ris, abang jadi pengen lihat kamu langsung. Gemes abang liat foto kamu barusan. Kita ketemuan yuk?”