Mohon tunggu...
Cerpen Pilihan

The Social Wall

27 Desember 2015   20:21 Diperbarui: 27 Desember 2015   21:16 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau dilihat-lihat, Social Wall yang dulu cuma di satu sisi tembok  kamar Iris, sekarang sudah beranak pinak menjadi tiga. Tiga sisi tembok kamar Iris disulap menjadi tembok dengan mata. Awalnya memang cuma sebuah tembok dengan mata. Namun, semakin sering digunakan, tidak hanya mata yang akan timbul. Telinga dan mulut, akan segera muncul seiring waktu Iris menggunakan tembok itu. Ada banyak fitur yang bisa digunakan, dan semua fitur itu berakhir ke satu tujuan yang sama, memberitahukan pada dunia apa yang sedang kita lakukan dan mengetahui juga apa yang orang lain lakukan karena kita adalah bagian dari dunia itu.

Setiap hari, sepulang sekolah Iris langsung masuk ke dalam kamar, tidak makan siang dulu, tapi langsung memencet-mencet beberapa tombol yang sekarang sudah tersedia di masing-masing tembok.

“Aku sudah pulang di rumah, sekarang aku mau makan siang dulu”. Suara iris diterima oleh tembok yang ber-“telinga”, gambaran Iris yang masih terbungkus seragam sekolah lengkap tertangkap oleh tembok dengan mata besar di tengahnya. Melalui serangkaian satu proses canggih, informasi-informasi tersebut ditransmisikan ke seluruh tembok Social Wall yang ada di seluruh belahan dunia.

 “The World Deserves to Know It All” atau “Dunia berhak mengetahui segalanya” adalah slogan yang dimiliki oleh perusahaan Social Wall. Visi pendirian perusahaan ini adalah untuk menghubungkan satu orang dengan orang lainnya di seluruh dunia. Dunia berhak tahu tentang apa saja yang sedang, akan, atau baru saja dilakukan oleh makhluk yang mendiaminya. Dan slogan tersebut sudah benar-benar tertancap kuat-kuat di dalam hati Iris. Diimaninya slogan tersebut bagai syahadat.

Karena kuat nya iman Iris, dia tak akan pernah lega mengerjakan sesuatu kalau belum memberi tahu dunia lewat Social Wall. Mau belajar, Social Wall dahulu. Mau tidur, ucapkan salam dulu pada tembok. Bangun pagi hari, yang dicari tentu saja tembok-tembok kamarnya. Mau sarapan pun Iris wajib memberi tahu dunia makanan apa yang akan menjadi santapannya pagi ini. Jangan bayangkan Iris harus mengambil piringnya yang berisi makanan, lalu kembali ke kamar untuk memperlihatkannya pada tembok-tembok ajaibnya. Saat ini, Social Wall sudah terpasang hampir di seluruh ruas dinding yang ada di rumah. Maklum, status ekonomi keluarga Iris sudah semakin meningkat semenjak bapaknya diangkat menjadi kepala staff cabang di salah satu bank pemerintah.

“Ibu, Iris pergi dulu ya.” Tidak ada jawaban.

“Ibuuu, Iris pergi dulu ya”. Kali ini Iris setengah berteriak. Namun masih saja Ibu nya diam.

“IBUUU IRIS PERGI DULU YA, POKOKNYA IRIS PERGI DULU”.

“Iya iya nak! Kalau mau pergi, ya pergi saja! Ibu sedang ngobrol sama Tante Jah ini di Wall Chat!”

Bukan cuma satu dua kali hal ini terjadi. Pemandangan tersebut bisa kita lihat setiap pagi di rumah Iris. Tidak, bukan hanya rumah Iris. Rumah Koh Ahau juga begitu. Bahkan urusannya boleh jadi lebih runyam. Tapi serunyam-runyamnya keributan di rumah Koh Ahau, tentu saja lebih runyam di rumah Pak Kades. Seperti yang sudah dikira, tingkat kerunyaman ini berbanding lurus dengan jumlah tembok yang terpasang Social Wall.

Social Wall memang membuat komunikasi jarak jauh menjadi lebih mudah. Fitur-fitur canggihnya membuat kita bisa tahu masak apa Bu Kades untuk makan malam, berapa ukuran sepatu Pak Kades, atau bagaimana kelanjutan hubungan Mirna, Anak Pak Kades, dengan bujang kampung sebelah yang katanya pengangguran itu. Istilah ringkasnya, Social Wall mendekatkan yang saling berjauhan. Namun herannya, tembok-tembok itu justru menjauhkan yang sudah dekat. Suasana ruang makan Iris yang dulu selalu hangat oleh perbincangan remeh temeh keluarga kampung, kini menjadi dingin karena semua sibuk memperlihatkan makanannya pada mata-mata di tembok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun