Mohon tunggu...
rokhayah ok
rokhayah ok Mohon Tunggu... Guru - Guru

Menyukai konten tentang kebersahajaan kehidupan kampung.

Selanjutnya

Tutup

KKN

Masih Menunggumu

30 Juni 2024   20:16 Diperbarui: 30 Juni 2024   20:21 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di senja yang merona, aku duduk di tepian jendela rumah peninggalan orangtuaku. Rumah kuno dengan arsitektur semi Belanda-Jawa yang tetap kupertahankan keasliannya. Ah, atau itu alasanku saja karena selain demi merawat kenangan bersama orangtuaku dan saudara-saudaraku di masa tumbuh kami, aku juga tidak memiliki cukup uang untuk merenovasi rumah ini. Bahkan sekedar mengganti atap genting tanahnya yang sudah banyak yang bocor. 

Apalah daya gajiku sebagai tenaga pengajar di sebuah sekolah negeri di lingkungan tempat tinggalku selalu terpakai buat yang lain; SPP anak sekolah, operasional dapur dan rukun bertetangga yang tiada habisnya, belum lagi jika ada hal-hal genting lainnya seperti membantu saudara yang sedang dililit kesusahan. Sehingga memperbaiki rumah tua ini bukan prioritas terbesarku. Aku menoleh ke samping kananku. Seekor kecing berwarna belang hitam putih mengelus-eluskan kepalanya ke paha kananku, lalu kemudian beranjak ke pangkuanku. Berdua kami menatap senja yang yang sepi. Ingatanku melayang jauh saat menatap awan senja yang berarak menutupi sang mentari yang tidak lagi garang seperti siang tadi.

Puluhan tahun lalu, atau tepatnya sekitar tahun 2001 aku pernah menjejakkan kaki di bumi Luhak Nan Tuo, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Saat itu aku dan kawan-kawanku sedang melaksanakan Program KKN (Kuliah Kerja Nyata) dari perguruan Tinggi  tempat kami menimba ilmu. Program ini menjadi mata kuliah pilihan di fakultasku pada saat itu. Kami Mahasiswa semester enam diperbolehkan untuk memilih program tersebut atau memilih program magang di kantor-kantor setrategis sesuai Program kekhususan yang diambil di semester enam untuk penjurusan dalam penulisan skripsi. 

Aku memilih program KKN karena tidak diharuskan mencari dan mengajukan sendiri lokasi penempatan seperti dalam program magang. Kebayang gak sih, manusia introvert macam aku harus mencari kantor untuk magang dan mengajukan diri untuk diterima magang di sana, lalu melaporkan lagi ke Biro Fakultas jika diizinkan magang di kantor tertentu. Hellow, aku bukan orang se-survive itu. Maka program KKN menjadi pilihan terbaik bagiku, di samping bisa bergabung bersama dengan kawan-kawan dari  fakultas lain. Aku sudah bisa membayangkan asyiknya mengikuti program ini waktu itu. 

Benar saja kami sudah dibagi dan dikelompokkan oleh universitas sekaligus lokasi penempatan juga sudah ditentukan. Kebetulan kelompokku terdiri dari delapan orang anggota yaitu empat cowok dan empat cewek. Lokasi yang akan kami datangi untuk mengabdi selama kurang lebih tiga bulan. Kami pun mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan. Menyadari lokasi yang akan kami datangi nanti adalah daerah kaki gunung, maka aku sibuk mempersiapkan jaket dan selimut tebal. Ibuku yang kala itu kuhubungi melalui telepon dari wartel ( warung telekomunikasi ) segera mengirimkan perbekalan dan juga beberapa bahan makanan yang dibutuhkan. Oh, ibu. Semoga Tuhan menempatkanmu di Surga-Nya. Aamiin... 

Setelah perbekalan cukup, dan anggota sudah siap, kami pun berangkat ke lokasi tujuan dengan diantar oleh dosen pembimbing kami dengan menggunakan bus besar secara berombongan dengan kelompok lain yang masih berdekatan dengan lokasi kami tersebut. Di sepanjang perjalanan kami bersenda gurau, tak jarang kami terdiam membayangkan lokasi yang akan kami tuju. Akankah menyenangkan atau justeru menyedihkan. Salah satu anggota yang kami tuakan sebagai ketua sudah men-survey lokasi sebelumnya, jadi ia cukup tahu banyak dengan lokasi tujuan kami tersebut. 

Bus tidak mengantarkan kami sampai ke titik lokasi tetapi hanya sebatas sampai di jalan lintas nasional saja. Untuk menempuh perjalanan sampai ke lokasi berikutnya kami gunakan kendaraan yang sesuai dengan kearifan lokal setempat dan merupakan satu-satunya jenis kendaraan yang bisa mengangkut kami sampai ke sana, apalagi jika bukan angkot. ya, angkot adalah satu-satunya jenis kendaraan yang dijadikan alat transportasi warga setempat untuk membawa hasil kebun dan juga belanja ke kota. 

Jangan ditanya modelnya seperti apa. Jangan pula membayangkan angkot yang ugal-ugalan dengan musik yang keras menggelegar seperti di kota-kota besar, bahkan ada angkot yang dilengkapi dengan video dan sound system besar yang memenuhi angkot. Pokoknya angkot kearifan lokal tempat kami KKN sangat adem, bebas musik keras, dan tentu saja warnanya hijau muda atau hijau pupus. Uh, sangat damai sekali bukan? 

" Kita naik angkot ini sampai ke tempat kita menganbdi nanti, ya. Sekitar empat puluh lima menit dari sini." Terang ketua.

" Empat puluh lima menit?" tanyakku dengan menaikkan intonasi suara.

" Iya. Kenapa? Ayo lekas naikkan barang-barang kita ke dalam, nanti keburu malam kita sampai." Tanpa menunggu jawabanku ketua segera mengomandoi kami sembari mengangkat barangnya duluan ke atas angkot. Dia benar-benar cocok jadi ketua, batinku. Sigap dan selalu memberi contoh. Kami pun ikut bergerak mengangkat barang-barang kami ke atas angkot. lagi-lagi ketua sudah berinisiatif menyusun barang-barang kami di dalam angkot agar muat seluruhnya. Kemudian kami menyusul satu persatu masuk ke dalam angkot. Ketua melemparkan salah satu tas berwarna hijau army ke pangkuanku. Aku terkejut dan melotot menatapnya. 

" Tolong dipangku, itu tas saya." ucapnya. Aku baru membuka mulut hendak protes, tetapi ia lanjut menukas

" Jangan protes! " Ia mengacungkan telunjuk ke hadapanku. Kawan-kawan yang lain hanya menoleh sekilas. Tak berminat menanggapi atau sekedar berempati ke padaku, mungkin mereka juga lelah setelah perjalanan selama kurang lebih 6 jam yang melelahkan tadi. 

Aku mengomel habis-habisan di dalam hati. Wajahku tidak bisa menyembunyikan kekesalan hatiku. Tentu saja aku bersungut-sungut. Sementara ketua sudah mulai terlelap, ia menyandarkan kepalanya ke samping kirinya, ke tumpukan tas kami. Kawan yang laki-laki ada yang berdiri di pintu angkot, yang lain duduk menghadap ke luar, menyaksikan pemandangan alam pegunungan yang indah. Ladang sayur menghijau di sepanjang kiri dan kanan jalan. Aku sejenak lupa dengan rasa lelah dan juga rasa kesalku. Pemandangan yang tak pernah kusaksikan sepanjang hayatku. Alam pegunungan memang sungguh memesona. 

Tetiba salah satu teman wanitaku bersorak heboh.

" Hai... lihat! Ada apa itu, kenapa burung-burung itu berputar-putar di atas lokasi itu?!" telunjuknya menunjuk ke arah langit senja. Semua orang di dalam angkot terkejut dengan teriakannya, termasuk aku. Aku berupaya melihat ke arah yang ditunjuk oleh telunjuk temanku tadi. Ketua membuka mata sebentar lalu melanjutkan tidurnya. Teman lelaki lain tertawa, apalagi melihatku sibuk ingin menjulurkan kepala keluar jendela. 

" Biasa itu, burung walet," celetuk seorang teman lelaki.

" Burung atau kalong? " tegas teman yang lain. 

" Kalong itu! Mau cari tempat tidur." sahutku cepat. 

" Iya ya, kalau burung koq gede amat." teman wanitaku yang berteriak tadi bergumam. Akhirnya kami terdiam lagi. Semilir angin senja yang dingin menampar-nampar muka kami yang memandang keluar jendela angkot. Meski jalan aspal mulus kami tetap berguncang berayun-ayun, apalagi medan jalan pegunungan  yang naik turun. Duh, ngantuk sekali. Tetiba aku dikejutkan dengan tarikan kasar ketua yang mengambil paksa tas di atas pangkuanku. Lagi-lagi aku melotot.  Ia juga melotot kali ini.

" Jangan tidur, dah mau nyampe." 

Aku diam tak menyahut sambil membuang muka ke pemandangan luar jendela. Suasana berganti dengan deretan pohon bambu dari kejauhan. Kenapa pohon bambu itu dibiarkan berderet sepanjang itu, tanyaku dalam hati. 

" Apakah bambu itu sengaja ditanam atau dibiarkan tumbuh berderet seperti itu?" tanya seorang teman lelaki yang duduk di pintu angkot. Sungguh mewakili rasa penasaranku. Namun kupendam saja pertanyaan tadi dalam hati.

" Iya, dik. Itu Paga Nagari.  Sengaja dibiarkan tumbuh di sepanjang aliran sungai sebagai pagar kampung. Begitulah kami menjaga lingkungan kampung kami, sehingga jika angin badai menerpa perkampungan kami maka pohon bambu akan menjadi tamengnya." si supir angkot menjelaskan. Aku dan teman-temanku ber-oh....  panjang berbarengan. Lalu kami mengamati deretan pohon bambu itu dalam diam. Aku menggeleng-geleng kagum dengan filosofi masyarakat kampung yang kami tuju ini. Sungguh luar biasa mereka menjaga lingkungan dengan filosofi dan kearifan lokal masyarakatnya. 

Tetiba kami sudah memasuki perkampungan saja, angkot bergerak pelan menyusuri jalan kampung yang berliku-liku dan sempit. Di sepanjang kiri dan kanan jalan perumahan penduduk rapat dan tidak teratur sama sekali karena mengikuti kontur dan permukaan tanah pegunungan. Di sepanjang tepi jalan terdapat aliran air yang kuduga berasal dari atas pegunungan. Bunga-bunga tumbuh subur dan warna-warni di halaman rumah penduduk. Dari atas angkot ini kami bisa melihat ke atas rumah penduduk yang memang terletak di atas jalan. Sungguh indah dan unik sekali alam perkampungan di daerah pegunungan. Warga sibuk memerhatikan kami yang terasa asing bagi mereka, sebagian lagi bersorak kecil. Tampaknya mereka sudah tahu akan kedatangan kami ke kampung mereka. Tanpa sengaja senyum kecil tersungging di bibirku. Semoga ini pertanda baik. 

Supir angkot mengantar kami ke kantor desa atau kantor wali nagari setempat. Di sana Pak Wali nagari dan perangkatnya menyambut kami dengan senyum bersahabat. Meski hari sudah menunjukkan gelap menjelang magrib, mereka masih semangat menunggu. 

" Iko nyo ha, nan kito tunggu-tunggu lah tibo. (Ini dia,  yang kita tunggu-tungu sudah datang)" Pak Wali mengangsurkan tangan duluan untuk menyalami kami. Ketua segera menjabat tangan pak wali. Aku bergumam di dalam hati, waduh seberapa hebat kami sampai ditunggu begini. Bisa malu ini kalau tidak bisa berbuat lebih untuk kampung ini. 

" Maaf, Pak. Sampai malam menunggu kami, " ucap ketua.

" Tidak apa-apa. Kami paham perjalanan yang ditempuh cukup jauh. Sebaiknya kita segera ke rumah tempat adik-adik akan menginap soalnya sudah menjelang malam."

Pak Wali dan beberapa warganya sibuk membantu mengangkut barang-barang kami ke rumah salah seorang warga yang memang ditunjuk untuk kami tinggali selama kami melaksanakan program KKN di kampungnya ini. Rumah tersebut kosong karena pemiliknya pergi merantau ke Jakarta dan pemiliknya sudah memberi izin untuk kami tempati. 

" Jaga rumah ini selama adik-adik tempati, silakan gunakan perabotan yang ada asal tidak merusaknya. Demikian pesan pemilik rumah ini." terang pak Wali. Kami serempak mengiyakan.  

Lebih lanjut pak Wali menjelaskan jika anggota KKN yang laki-laki tidak akan tidur di rumah ini di malam hari melainkan di rumah salah satu warga yang ditunjuk yang tidak lain adalah bibi pak Wali sendiri. Pada pagi hari teman-teman laki-laki kami akan kembali ke rumah ini untuk sarapan dan aktifitas kelompok lainnya, namun di malam hari mereka harus segera beranjak ke rumah Amak, bibi Pak Wali untuk numpang tidur karena kebetulan ada anak Amak laki-laki sepantaran kami. 

Begitulah kami melalui hari-hari sampai masa akhir pengabdian kami kepada masyarakat berakhir. Wanita yang kami panggil Amak seperti ibu sendiri bagi kami. Ia menyayangi kami dengan setulus hati. Melengkapi kekurangan kami, merawat kami sepenuh hati saat kami sakit, dan memberikan apa pun yang ia miliki jika kami membutuhkan.  Pernah suatu ketika kami tidak memiliki bahan makanan dan uang lagi. Akhirnya Amak berinisiatif mencabut talas di belakang rumahnya dan memetik cabai di kebunnya, lalu mengantarkan ke tempat tinggal kami, " ini bisa dimasak, dibuat keripik untuk teman makan nasi. Nah, ini ada cabai dan sedikit ikan teri untuk campurannya." 

Kami sungguh terharu dengan kebaikan Amak. Pernah suatu ketika aku demam dan emak berinisiatif membuatkan menuman hangat serta memaksaku tidur di rumahnya, di kamar anak perempuan satu-satunya yang telah dibawa pergi suaminya ke tanah rantau. Kamar itu masih dalam bentuk asli dekorasi ketika malam resepsi, khas kamar pengantin minang. Meski pesta pernikahan anak gadisnya telah tiga tahun berlalu. Amak lalu membuka selimut tebal halus milik anak perempuannya untuk diselimutkan padaku yang sedang menggigil kedinginan. 

Begitulah Amak dengan segala kesabaran dan keikhlasannya harus ditinggalkan anak gadis satu-satunya pergi mengikuti suaminya merantau sebagaimana pepatah Minang mengatakan; "Ka rantau madang di hulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun." (Jika di kampung belum bisa berbuat banyak untuk orang banyak, maka sebaiknya merantau dahulu) Begitulah ciri khas orang Minang yang suka merantau dan menuntut ilmu di negeri orang sejak dahulu. 

Amak juga pernah menenangkan kami para perempuan anggota KKN yang tidak begitu memahami adat istiadat di tempat kami KKN ini. Pernah suatu ketika digelar acara Pacu Kabau di salah satu Jorong atau kelurahan di Nagari atau desa tempat kami KKN.  Acara semacam ini jika di daerah lain atau di tanah Madura adalah Kerraban sape, yang diperlombakan adalah sapi tetapi di tempat kami KKN tersebut yang diperlombakan untuk pacuan adalah kerbau. Acara tahunan ini juga disaksikan turis asing. Kami merasa ini adalah sesuatu yang baru sehingga kami antusas menonton. Namun satu hal yang membuat kami bertanya-tanya adalah, mengapa tidak ada satu pun penonton perempuan selain turis asing. 

Di tengah acara menonton tetiba seorang tetua adat menghampiri kami dan berkata; " sungguh tidak elok dipandang mata dan di mata adat jika anak perempuan ikut menonton pacuan kerbau."  Kami benar-benar terkejut dan merasa malu dan bersalah karena sudah melanggar adat istiadat setempat. Kami pun pulang dengan hati kecewa dan malu pada diri sendiri. Amak menenangkan kami bahwa hal itu bukanlah suatu kesengajaan karena kami tidak mengetahuinya. Amak benar-benar potret perempuan Minang yang melindungi dan mengayomi anak-anaknya. 

Di akhir masa pengabdian ke masyarakat kami di tempat KKN ini, Amak menangis dan memelukku sambil berkata; " Amak akan menunggumu kembali ke kampung ini, sampai entah kapan." Aku sedih dan terharu mendengar kalimat Amak tersebut dan sampai kini masih kuingat.

Setelah puluhan tahun berlalu aku kembali mencoba menjalin komunikasi dengan orang-orang yang terlibat dalam peristiwa KKN-ku itu. Aku mencoba mengingat nama dan nama panggilan teman-teman KKN-ku dan juga nama-nama sahabat di tempat KKN-ku tidak terkecuali anak Amak yang juga begitu baik dan perhatian kepada kami anggota KKN. Melalui media sosial aku berhasil berkomunikasi dengannya lalu kutanyakan kondisi Amak sekarang. Adakah ia baik-baik saja. Anak Amak terdiam kemudian menjawab pelan; " Amak lah indak lai.." (Amak sudah tidak ada lagi..). Aku terkejut dan terguncang. 

" Sejak kapan Amak tiada?" cecarku dengan suar bergetar.

" Sudah sekitar 11 tahun yang lalu." 

Aku menangis mengingat kebaikan Amak. 

" Aku sudah berjanji akan kembali menengok Amak.." Aku tergugu.

" Ya, dan sekian lama Amak masih menunggu. Pulanglah jika ada waktu, tengoklah pusara Amak. Ia masih menunggu..." Ucap anak Amak semakin menyayat hatiku.

#Beristirahatlah dalam damai, Amak.

Dharmasraya, 30 Juni 2024.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten KKN Selengkapnya
Lihat KKN Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun