Mohon tunggu...
rokhayah ok
rokhayah ok Mohon Tunggu... Guru - Guru

Menyukai konten tentang kebersahajaan kehidupan kampung.

Selanjutnya

Tutup

Kkn

Masih Menunggumu

30 Juni 2024   20:16 Diperbarui: 30 Juni 2024   20:21 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begitulah kami melalui hari-hari sampai masa akhir pengabdian kami kepada masyarakat berakhir. Wanita yang kami panggil Amak seperti ibu sendiri bagi kami. Ia menyayangi kami dengan setulus hati. Melengkapi kekurangan kami, merawat kami sepenuh hati saat kami sakit, dan memberikan apa pun yang ia miliki jika kami membutuhkan.  Pernah suatu ketika kami tidak memiliki bahan makanan dan uang lagi. Akhirnya Amak berinisiatif mencabut talas di belakang rumahnya dan memetik cabai di kebunnya, lalu mengantarkan ke tempat tinggal kami, " ini bisa dimasak, dibuat keripik untuk teman makan nasi. Nah, ini ada cabai dan sedikit ikan teri untuk campurannya." 

Kami sungguh terharu dengan kebaikan Amak. Pernah suatu ketika aku demam dan emak berinisiatif membuatkan menuman hangat serta memaksaku tidur di rumahnya, di kamar anak perempuan satu-satunya yang telah dibawa pergi suaminya ke tanah rantau. Kamar itu masih dalam bentuk asli dekorasi ketika malam resepsi, khas kamar pengantin minang. Meski pesta pernikahan anak gadisnya telah tiga tahun berlalu. Amak lalu membuka selimut tebal halus milik anak perempuannya untuk diselimutkan padaku yang sedang menggigil kedinginan. 

Begitulah Amak dengan segala kesabaran dan keikhlasannya harus ditinggalkan anak gadis satu-satunya pergi mengikuti suaminya merantau sebagaimana pepatah Minang mengatakan; "Ka rantau madang di hulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun." (Jika di kampung belum bisa berbuat banyak untuk orang banyak, maka sebaiknya merantau dahulu) Begitulah ciri khas orang Minang yang suka merantau dan menuntut ilmu di negeri orang sejak dahulu. 

Amak juga pernah menenangkan kami para perempuan anggota KKN yang tidak begitu memahami adat istiadat di tempat kami KKN ini. Pernah suatu ketika digelar acara Pacu Kabau di salah satu Jorong atau kelurahan di Nagari atau desa tempat kami KKN.  Acara semacam ini jika di daerah lain atau di tanah Madura adalah Kerraban sape, yang diperlombakan adalah sapi tetapi di tempat kami KKN tersebut yang diperlombakan untuk pacuan adalah kerbau. Acara tahunan ini juga disaksikan turis asing. Kami merasa ini adalah sesuatu yang baru sehingga kami antusas menonton. Namun satu hal yang membuat kami bertanya-tanya adalah, mengapa tidak ada satu pun penonton perempuan selain turis asing. 

Di tengah acara menonton tetiba seorang tetua adat menghampiri kami dan berkata; " sungguh tidak elok dipandang mata dan di mata adat jika anak perempuan ikut menonton pacuan kerbau."  Kami benar-benar terkejut dan merasa malu dan bersalah karena sudah melanggar adat istiadat setempat. Kami pun pulang dengan hati kecewa dan malu pada diri sendiri. Amak menenangkan kami bahwa hal itu bukanlah suatu kesengajaan karena kami tidak mengetahuinya. Amak benar-benar potret perempuan Minang yang melindungi dan mengayomi anak-anaknya. 

Di akhir masa pengabdian ke masyarakat kami di tempat KKN ini, Amak menangis dan memelukku sambil berkata; " Amak akan menunggumu kembali ke kampung ini, sampai entah kapan." Aku sedih dan terharu mendengar kalimat Amak tersebut dan sampai kini masih kuingat.

Setelah puluhan tahun berlalu aku kembali mencoba menjalin komunikasi dengan orang-orang yang terlibat dalam peristiwa KKN-ku itu. Aku mencoba mengingat nama dan nama panggilan teman-teman KKN-ku dan juga nama-nama sahabat di tempat KKN-ku tidak terkecuali anak Amak yang juga begitu baik dan perhatian kepada kami anggota KKN. Melalui media sosial aku berhasil berkomunikasi dengannya lalu kutanyakan kondisi Amak sekarang. Adakah ia baik-baik saja. Anak Amak terdiam kemudian menjawab pelan; " Amak lah indak lai.." (Amak sudah tidak ada lagi..). Aku terkejut dan terguncang. 

" Sejak kapan Amak tiada?" cecarku dengan suar bergetar.

" Sudah sekitar 11 tahun yang lalu." 

Aku menangis mengingat kebaikan Amak. 

" Aku sudah berjanji akan kembali menengok Amak.." Aku tergugu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kkn Selengkapnya
Lihat Kkn Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun