Berbagai kasus pencurian yang melibatkan rakyat kecil selalu mendapatkan pembelaan oleh publik. Di sini akan menjadi perdebatan hebat dari substansi tujuan hukum itu sendiri antara kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Secara teoritis filosofis, rumusan tersebut sangat ideal, namun dalam tataran empiris, ketiganya sangat sulit diwujudkan secara bersamaan. Pembelaan publik selalu memakai pendekatan keadilan substansial, bukan sekedar prosedural dan mengedepankan alasan-alasan sosiologis. Dalam kondisi tertentu akhirnya muncul pendapat umum bahwa hukum hanya tajam jika berhadapan dengan orang lemah yang tidak memiliki akses ekonomi dan politik, namun tidak berdaya jika berhadapan dengan orang yang dekat dengan kekuasaan.
Dalam konteks penegakan hukum (law enforcement), perkara pencurian kecil yang melibatkan orang miskin akan selalu dihadapkan pada dilema yang sulit dicarikan jalan keluarnya. Di satu sisi, pencurian adalah perbuatan pidana yang menimbulkan korban dan hukum positif dengan ancaman pelanggaran Pasal 362 yang pelakunya dapat dikenakan pidana. Namun, di sisi lain, rakyat miskin yang melakukan perbuatan itu mungkin karena hanya faktor ketidaktahuan semata bahwa perbuatan tersebut adalah termasuk tindak pidana ataupun karena faktor keterpaksaan untuk menyambung hidup.
Pembelaan publik terhadap kasus pencurian kecil macam itu dapat diidentifikasi menjadi dua isu mendasar. Pertama, mengenai proses penanganan perkara bagi kaum miskin oleh aparat penegak hukum yang tidak profesional dan diduga melanggar norma penanganan perkara pidana. Kedua, publik mempersoalkan kenapa pencurian kecil oleh kaum miskin harus dimejahijaukan?
Dalam konteks dukungan publik, pada isu pertama, aparat harus selalu bertindak profesianal berdasarkan norma hukum yang ada. Namun, dalam konteks yang kedua, penulis kurang sependapat, jika aparat penegak hukum dipersoalkan apabila memproses tindak pidana pencurian kecil yang dilakukan oleh kaum miskin. Di sini perlu dibedakan mengenai kasus pencurian dan kasus pelanggaran hukum lainnya yang dilakukan oleh aparat dalam menangani perkara. Tentunya apabila ditemukan pelanggaran hukum, dua-duanya harus sama-sama ditegakkan.
Aparat penegak hukum pada kasus pencurian, dalam menjalankan fungsinya sangat terikat dengan ketentuan norma Pasal 362 KUHP dan dipaksa membunyikan dan menegakkan ketentuan itu. Jika tidak, aparat penegak hukum bisa kesalahan, dan dikira tidak profesional dalam menjalankan tugasnya. Di sinilah dilema yang dihadapi oleh aparat penegak hukum terutama polisi sebagai garda terdepan dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Rumusan pencurian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 362 KUHP sangat jelas. Jika polisi berani menangani perkara pencurian maka harus dapat memenuhi 4 unsur utama yang harus dibuktikan sesuai dengan rumusan delik pencurian.
Pertama, ada perbuatan mengambil. Kedua, yang diambil harus sesuatu barang. Ketiga, barang itu harus seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain. Dan, keempat, pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum (melawan hak). Jika aparat penegak hukum menyakini 4 unsur itu terpenuhi maka sah untuk diproses sampai di pengadilan. Apabila sampai akhirnya hakim meyakini unsur itu terbukti dan memvonis bersalah, tentunya publik harus bisa menerima. Jika sekiranya putusan tersebut tidak adil tentunya harus disalurkan dalam mekanisme hukum yang benar, yaitu melalui banding dan kasasi. Sehingga dalam hal ini perbuatan terdakwa terbukti secara sah dan cukup meyakinkan, telah melakukan tindak pencurian sarung milik majikannya, sebanyak dua potong.
Pandangan Positivisme Hukum Pada Putusan Perkara
Menurut paham positivisme, setiap norma hukum harus eksis dalam alamnya yang obyektif sebagai norma-norma yang positif, serta ditegaskan dalam wujud kesepakatan kontraktual yang konkret antara warga masyarakat atau wakil-wakilnya. Disini hukum bukan lagi dikonsepsikan sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna menjamin kepastian mengenai apa yang terbilang hukum, dan apa pula yang sekalipun normative harus dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum.
Dalam menjawab persoalan itu, sebagai negara yang menganut aliran positivisme, mau tidak mau cara berpikir aliran positivisme itulah yang harus diterapkan. Inilah yang disebut dengan tertib berpikir. Dengan kata lain, terlepas dari serba keburukan-keburukan yang melekat pada aliran hukum positivisme ini, cara memandang persoalannya harus dengan kacamata positivisme. Bukan dengan dasar filosofis lainnya.
Dalam perspektif positivisme hukum, hukum harus secara tegas memisahkan antara hukum dan moral. Sehingga hakim harus meletakkan undang-undang atau peraturan sebagai dasar utama penafsiran dalam putusan. Dalam perkara diatas, hakim secara positif memberikan putusan bersalah kepada Amsira (33) bahwa terdakwa terbukti secara bersalah melakukan tindak pidana pencurian. Dimana secara logis yuridis, adanya kausalitas antara suatu perbuatan hukum dengan akibat hukum (kerugian yang diderita majikan).
Kasus Amsira (33) menurut aliran positivis adalah sebuah perbuatan yang harus dihukum, tanpa menghiraukan besar kecil yang dicurinya. Penegakan hukum terhadap Amsira (33) harus dilepaskan dari unsur-unsur sosial serta moralitas, karena menurut kaca mata aliran ini tujuan hukum adalah kepastian, tanpa adanya kepastian hukum tujuan hukum tidak akan tercapai walaupun harus mengenyampingkan rasa keadilan.