"Lihat tuh adek kamu, Danis. Dia masih smp tapi pikirannya lebih normal daripada kamu!"Â
"Mama capek, Mahen. Mama capek!" Teriak Retta diiringi isakan tangisnya.
Mahen mengambil surat yang dilempar Retta barusan dan menggenggamnya erat.
"Mahen juga capek, Ma! Mama selalu bandingin aku sama Danis. Mama gak pernah ngasih aku apresiasi, aku juga pengen diperlakukan sama kayak Danis, Ma. Coba aja Papa masih ada, pasti Mahen gak akan kesepian gini," sahut Mahen.
"Dasar anak gak tau diuntung kamu, kamu pikir Mama kerja buat siapa? Buat kalian berdua, kamu pikir spp kamu gratis? Makan kamu ditanggung pemerintah? Mama yang nanggung semua biaya hidup kamu, Mahen." Teriak Retta dengan emosi kian memuncak.
"Udah cukup buat Mama nangis, Kak." Sahut Danis yang baru pulang bermain.
"Ohh ini kan? Anak kebanggan Mama? Selamat, Bro, lo anak kesayangan lo punya kuasa." Ucap Mahen sambil memainkan rambut Danis dan berlalu pergi.
Luka batin yang dialami Mahen sejak kecil, menjadikan lelaki itu tumbuh menjadi remaja yang tertutup dan introvert. Selain itu, ia juga memiliki sifat yang kaku dan mudah tersulut api amarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H