Korupsi merupakan permasalahan akut dan sistematik yang dapat membahayakan bagi negara Indonesia. Korupsi tidak hanya memberikan ancaman terhadap keuangan dan perekonomian negara, pada kenyataannya perbuatan korupsi juga mengancam dan merusak sistem hukum, politik, sosial, hak-hak asasi manusia, lingkungan hidup, dan kesejahteraan masyarakat. Korupsi telah menjadi virus kekuasaan yang dapat ditemukan di berbagai negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Selama ada kekuasaan, maka akan berpotensi terjadi tindak pidana korupsi seperti yang telah diungkapkan Lord Anton dalam Laode M Syarif “power trends to corrupt and absolute power corrupt absolutely (kekuasaan itu cenderung akan korup dan kekuasaan absolut sudah pasti korup).”
Sejak tahun 1998, Pemerintah negara Indonesia telah mengeluarkan berbagai peraturan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Dikeluarkannya Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih, dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme telah menetapkan supaya penyelenggara negara jujur, adil, terbuka, dan terpercaya serta membebaskan diri dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Selanjutnya, pada masa pemerintahan Presiden B.J Habibie, lahirnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menjadi dasar hukum pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia.
Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengalami beberapa perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menambahkan beberapa ketentuan yang menjelaskan tindak pidana korupsi. Hingga pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, dibentuk lembaga penanganan korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga independen yang khusus menangani perkara tindak pidana korupsi dikarenakan peran Kepolisian dan Kejaksaan selaku penegak hukum dianggap belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Berbagai kebijakan dan regulasi yang telah dikeluarkan pemerintah Indonesia pada faktanya belum dapat mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi secara menyeluruh. Tindak pidana korupsi di negara Indonesia masih sangat mengkhawatirkan. Data indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2022 berada pada skor 34/100 dan berada pada peringkat 110 dari negara 180 negara yang di survei dalam IPK. Hal ini menunjukkan bahwa angka korupsi di negara Indonesia masih relatif tinggi.
Selain itu, Data Global Corruption Barometer pada tahun 2020 yang dirilis oleh Transparency International Indonesia (TII) melalui survei yang mewakili lima pulau Indonesia yaitu Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan, serta Sulawesi dan Maluku menunjukkan persepsi publik hanya 65% terhadap kinerja pemerintah dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi serta dianggap stagnan dari GCB 2017 yaitu sebesar 64%. GCB 2020 juga menunjukkan 90% masyarakat merasa korupsi di tubuh pemerintah merupakan masalah besar, jauh di atas rata-rata Asia yaitu sebesar 74%. Anggota legislatif menjadi lembaga/institusi yang dianggap terkorup di Indonesia, yaitu sebesar 51% disusul oleh Pejabat Pemerintah Daerah (48%), dan Pejabat Pemerintahan (45%).
Baru-baru ini, publik dikejutkan dengan tertangkapnya Pejabat Pemerintahan Daerah yakni Gubernur Provinsi Papua Lukas Enembe oleh KPK atas dugaan suap dan gratifikasi senilai Rp 1 miliar rupiah. Suap dan gratifikasi yang dilakukan oleh Lukas Enembe ini berkaitan dengan pembangunan infrastruktur di Provinsi Papua. Kasus ini berawal dari Rijatono Lakka, Direktur PT. Tabi Bangun Papua yang memberikan suap dan gratifikasi kepada Lukas Enembe agar memilih PT. Tabi Bangun Papua untuk mengerjakan proyek pembangunan infrastruktur di Provinsi Papua.
Lukas Enembe menerima uang suap sebelum dan sesudah memilih PT. Tabi Bangun Papua sebagai pelaksana proyek pembangunan infrastruktur Provinsi Papua. Lukas Enembe berperan aktif dalam pengadaan proyek infrastruktur di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUTR) Pemerintah Provinsi Papua dengan memenangkan perusahaan tertentu, salah satunya PT. Tabi Bangun Papua. KPK mengemukakan Lukas Enembe menerima suap dan gratifikasi pengerjaan proyek Pemerintah Provinsi Papua pada tahun 2021 dari tiga proyek yaitu proyek multi years (kontrak tahun jamak) peningkatan Jalan Entrop Hamadi, proyek multi years rehabilitasi sarana dan prasarana penunjang PAUD integrasi, serta proyek penataan lingkungan venus menembak outdoors Auri.
Lukas Enembe diperiksa pertama kali pada 12 September 2022 oleh KPK sebagai saksi, namun tidak jadi dilaksanakan karena sedang sakit, lalu KPK mengirimkan surat panggilan terhadap Lukas Enembe pada tanggal 26 September 2022 untuk hadir dalam pemeriksaan oleh KPK akan tetapi karena simpatisan atau pendukung Lukas Enembe melakukan perlawanan untuk melindunginya. Selanjutnya, pada 3 November 2022 penyidik KPK menemui Lukas Enembe di Papua untuk memeriksa langsung kondisi kesehatannya.
Lukas Enembe akhirnya pada 28 November 2022 meminta kepada KPK untuk melakukan pengobatan di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura akan tetapi KPK telah meminta Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mencegah Lukas Enembe bepergian ke luar negeri sejak 7 September 2022 sampai dengan 7 Maret 2023. Akhirnya pada 10 Januari 2023, KPK menangkap Lukas Enembe di Abapura, Provinsi Papua dan Lukas Enembe ditetapkan menjadi tersangka kasus korupsi oleh KPK bersama Rijatono Lakka, Direktur PT. Tabi Bangun Papua.
Praktik korupsi yang dilakukan oleh Gubernur Provinsi Papua Lukas Enembe atas penerimaan suap dan gratifikasi dari Direktur PT. Tabi Bangun Papua, Rijatono Lakka untuk mengerjakan tender proyek pembangunan infrastruktur di Provinsi Papua pada 2021 silam memberikan tambahan data kasus korupsi yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan Daerah. Selain itu, Lukas Enembe juga diduga memiliki manajer pencucian uang untuk mengelola hasil korupsinya. Dikutip dari Metrotvnews.com yang menerima informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) modus operandi yang dilakukan Lukas Enembe ialah dengan cara menyamarkan hasil suap dan gratifikasinya sebagai hasil perjudian dari negara Singapura, Filipina dan Malaysia.