Sejak semula, kasus penganiayaan terhadap penyidik KPK Novel Baswedan, sudah diprediksi akan menjadi sebuah kasus besar yang bisa menguncang citra pemerintahan.Pasalnya kasus penganiayaan tersebut terjadi ketika institusi KPK tengah berseteru sengit dengan institusi kepolisian yang kebetulan waktu itu ada pejabat intinya yang menjadi target penyidikan KPK.
Prediksi ini akhirnya terbukti dengan berlarut-larutnya pengungkapan pelaku kejahatan tersebut hingga aparat penegak hukum tidak juga berhasil membongkar para pelaku kriminal yang terlibat di dalamnya.
Bahkan meskipun kasus ini menjadi pusat perhatian khalayak masyarakat umum, namun sepertinya aparat penegak hukum tak berkutik dalam menyidik oknum-oknum yang ada di belakangnya.
Pun penguasa pemerintahan yang dicemarkan citranya oleh kasus ini, terkesan mampu bertebal muka dan telinga untuk mengabaikannya.
Berbagai macam demo yang menuntut penegakan keadilan dan aksi kepedulian terhadap korban Novel Baswedan seperti tidak memiliki dampak apa-apa terhadap kinerja dan perhatian pemerintah terhadap upaya penyelesaian kasus yang diperlukan.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) selaku pemimpin pemerintahan serta Kapolri Tito Karnavian yang seharusnya memiliki peran besar untuk menyelesaikan kasus ini seperti tidak berkutik dan memiliki energi untuk mengupayakan penyelesaian yang diharapkan.
Kecurigaan bahwa pemerintah maupun aparat kepolisian memang tidak menginginkan penyelesaian dan pengungkapan kasus penganiayaan yang menimpa Novel Baswedan tersebut terus berhembus di masyarakat.
Bahkan dibiarkan tetap menjadi duri dan menjadi salah satu janji  Presiden Joko Widodo  hingga dirinya berhasil terpilih kembali menjadi Presiden RI untuk kedua kalinya.
Lucunya ketika Jokowi terpilih kembali untuk melanjutkan periode kedua pemerintahannya, Kapolri Tito Karnavian yang notabene dianggap gagal menjalankan tugasnya terkait pengungkapan kasus penganiayaan Novel Baswedan tersebut justru diberikan kepercayaan untuk menjadi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) pada kabinet Jokowi-Ma'ruf.
Sebagai peredam polemik yang terjadi segera ditunjuk Kapolri baru yang berjanji akan segera menyelesaikan kasus penganiayaan terhadap Novel Baswedan secepat-cepatnya.
Berbeda dengan Tito Karnavian yang selalu gagal mengungkap kasus tersebut, Kapolri baru Idham Azis ternyata bisa segera mewujudkan janji tersebut.
Tak berapa lama dibawah kepemimpinannya, tim penyidik Polri berhasil menangkap dua orang pelaku penganiayaan Novel Baswedan. Dan ternyata benar seperti yang diperkirakan oleh masyarakat, pelakunya adalah oknum anggota Kepolisian itu sendiri.
Namun ternyata penangkapan pelaku ini kurang memuaskan masyarakat. Masalahnya dalam opini publik yang berkembang, khalayak meyakini adanya orang besar atau pejabat tinggi yang bermain dibelakang kasus Novel Baswedan tersebut.
Masyarakat merasakan adanya kejanggalan yang menjadikan penangkapan dua pelaku penganiayaan Novel Baswedan tersebut dianggap sebagai sebuah opera sabun semata.
Sampai akhirnya kecurigaan dan polemik atas kejanggalan penangkapan pelaku tersebut mencapai puncaknya ketika proses pengadilan terhadap pelaku sudah dijalankan.
Seperti menyempurnakan ketidakpercayaan yang melingkupi perasaan masyarakat, tiba-tiba jaksa hanya menuntut pelaku penganiayaan Novel Baswedan dengan tuntutan 1 tahun hukuman penjara.
Siapa tidak ternganga begitu mendengarnya. Kasus rumit yang upaya pengungkapannya membutuhkan waktu 3 tahun, pelakunya hanya dituntut hukuman 1 tahun penjara.Padahal  korbannya juga harus menderita cacat berat seumur hidup karena kejahatan tersebut.
Yang menggelikan adalah alasan jaksa ketika memberikan tuntutan tersebut adalah karena pelaku tidak sengaja melakukan penganiayaan tersebut kepada Novel Baswedan.
Bagaimana mungkin jaksa bisa menyatakan bahwa tindakan pelaku bangun subuh, mengendarai motor, membawa air keras dan kemudian menyiramkannya ke muka Novel Baswedan sebagai ketidaksengajaan?
Tentu saja aebagai orang normal yang tak memerlukan kecerdasan di atas rata-rata tuntutan dan alasan jaksa tersebut tidak masuk akal.
Secara normal tidak mungkin sang jaksa penuntut tidak merasakan kejanggalan dari tuntutan yang dibuatnya tersebut.
Bahkan sudah bisa diprediksi bahwa tindakan jaksa penuntut tersebut akan mengundang reaksi keras dan negatif dari berbagai kalangan.
Tentu saja banyak yang kaget dan kecewa, tiga tahun penyidikan kasus yang berkepanjangan hanya mendapatkan tuntutan setahun hukuman karena ketidaksengajaan.
Pelaku yang menyebabkan korban  cacat berat dan permanen seumur hidupnya hanya dituntut ganjaran setahun hukuman?
Tentunya tuntutan ini tidak mungkin dilakukan sang jaksa tanpa kesengajaan. Pasti dirinya sadar akan ketidakmasukakalan tuntutannya yang sangat kontroversial.
Bisa diterima akal, namun bukanlah hal yang tepat jika kemudian banyak cibiran, sebutan kebodohan, serta berbagai macam bully dilontarkan publik terhadap sang jaksa.
Daripada mem-bully sang jaksa secara membabi buta mungkin sebaiknya kita mencari tahu apa alasannya sang jaksa melakukan hal tersebut.
Jangan-jangan bukan karena kebodohan, tekanan atau konspirasi yang membuatnya harus memberikan tuntutan konyol tersebut, melainkan justru sang jaksa sengaja memberikan tuntutan kontroversial yang notabene akan mencuri banyak perhatian sebagai upaya menunjukkan kebobrokan sistem dan aparat hukum yang terkait dengan masalah ini.
Bagaimana pun juga dengan tertangkapnya tersangka pelaku penganiayaan Novel Baswedan tersebut, Pemerintah dan Kepolisian telah berhasil memenuhi janji mereka.
Meskipun kepastian akan pelaku sebenarnya masih banyak menyisakan pertanyaan, namun yang pasti bola sudah tidak ditangan mereka.
Bola telah dioper ke institusi kejaksaan. Pemerintah dan kepolisian bisa segera lepas dan cuci tangan. Sekarang beban ada di tangan kejaksaan.
Karena itu jangan-jangan ada motif dibalik tuntutan sangat ringan dan tak masuk akal terhadap para pelaku tersebut merupakan upaya kejaksaan untuk membuka mata publik bahwa kasus ini belum selesau dengan baik.
Dibalik kedok kebodohan tuntutan yang dilontarkan tersebut, jangan-jangan secara sengaja sang jaksa ingin menarik perhatian bahwa masih banyak ketidakberesan dalam kasus tersebut.
Nah bagaimana jika dibalik tuntutan yang dianggap bodoh dari sang jaksa tersebut, justru ada strategi pintar untuk mengorbankan dirinya demi terbongkarnya kebusukan yang melingkupi kasus ini.
Tentu saja ini hanyalah opini pribadi. Benar salahnya mungkin hanya Tuhan yang tahu, atau nanti waktu akan mengungkapkannya sendiri. Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H