Tak berapa lama dibawah kepemimpinannya, tim penyidik Polri berhasil menangkap dua orang pelaku penganiayaan Novel Baswedan. Dan ternyata benar seperti yang diperkirakan oleh masyarakat, pelakunya adalah oknum anggota Kepolisian itu sendiri.
Namun ternyata penangkapan pelaku ini kurang memuaskan masyarakat. Masalahnya dalam opini publik yang berkembang, khalayak meyakini adanya orang besar atau pejabat tinggi yang bermain dibelakang kasus Novel Baswedan tersebut.
Masyarakat merasakan adanya kejanggalan yang menjadikan penangkapan dua pelaku penganiayaan Novel Baswedan tersebut dianggap sebagai sebuah opera sabun semata.
Sampai akhirnya kecurigaan dan polemik atas kejanggalan penangkapan pelaku tersebut mencapai puncaknya ketika proses pengadilan terhadap pelaku sudah dijalankan.
Seperti menyempurnakan ketidakpercayaan yang melingkupi perasaan masyarakat, tiba-tiba jaksa hanya menuntut pelaku penganiayaan Novel Baswedan dengan tuntutan 1 tahun hukuman penjara.
Siapa tidak ternganga begitu mendengarnya. Kasus rumit yang upaya pengungkapannya membutuhkan waktu 3 tahun, pelakunya hanya dituntut hukuman 1 tahun penjara.Padahal  korbannya juga harus menderita cacat berat seumur hidup karena kejahatan tersebut.
Yang menggelikan adalah alasan jaksa ketika memberikan tuntutan tersebut adalah karena pelaku tidak sengaja melakukan penganiayaan tersebut kepada Novel Baswedan.
Bagaimana mungkin jaksa bisa menyatakan bahwa tindakan pelaku bangun subuh, mengendarai motor, membawa air keras dan kemudian menyiramkannya ke muka Novel Baswedan sebagai ketidaksengajaan?
Tentu saja aebagai orang normal yang tak memerlukan kecerdasan di atas rata-rata tuntutan dan alasan jaksa tersebut tidak masuk akal.
Secara normal tidak mungkin sang jaksa penuntut tidak merasakan kejanggalan dari tuntutan yang dibuatnya tersebut.
Bahkan sudah bisa diprediksi bahwa tindakan jaksa penuntut tersebut akan mengundang reaksi keras dan negatif dari berbagai kalangan.