Membangun citra positif bagi pejabat pemerintahan dan politisi merupakan kebutuhan yang penting. Pasalnya hanya dengan melalui citra yang positiflah mereka akan mampu menjaga popularitas, likeabilitas dan elektabilitas.Â
Hanya saja pembangunan citra positif tersebut tentunya harus dilakukan secara strategis, taktis, dan etis. Jika salah satunya terabaikan maka pencitraan yang dilakukan bisa sia-sia bahkan menjadi blunder yang menghancurkan.
Boleh jadi itulah yang terjadi pada Bupati Klaten, Sri Mulyani kali ini. Bupati yang sekaligus juga menjabat sebagai Ketua DPC PDIP Kabupaten Klaten tersebut tiba-tiba dituduh telah menyalahgunakan bantuan penanganan wabah Covid-19 dengan memanfaatkannya sebagai media kampanye pencitraan dirinya.
Bahkan bukan hanya di ranah lokal semata, tudingan negatif tersebut telah merebak secara nasional dan sempat menjadi trending topik platform sosial media twitter. Hal itu terjadi setelah ada warganet yang memposting foto bantuan hand sanitizer dari kementerian sosial yang ditimpa dengan stiker wajah sang bupati. Sontak Bupati Sri Mulyani langsung menjadi tenar seperti yang diharapkan.
Untuk keperluan itu, Sri Mulyani telah melakukan kampanye pencitraan yang cukup masif dan intensif. Begitu intensifnya sampai-sampai masyarakat menjadi sensitif. Akibatnya, ketika ada pemicu yang tersulut, maka ketidaknyamanan masyarakat atas pencitraan intensif yang dilakukan Sri Mulyani pun menjadi terbakar dan meledak tak karuan.
Kritik-kritik pedas dari masyarakat terlontar begitu liar, sehingga membuat tabungan pencitraan yang telah dibangun selama ini menjadi porak poranda tak karuan. Kok bisa overdosis?
Memang apa saja kampanye pencitraan yang dilakukan oleh Sri Mulyani selama ini?Â
Berdasarkan ghibah warganet yang meruak di dunia sosial media, ada banyak rekam jejak kampanya pencitraan yang dilakukan Ketua DPC PDIP Klaten ini yang dirasa keterlaluan. Di antaranya adalah branding foto Sri Mulyani pada produk beras yang diproduksi oleh Agro Techno Park (ATP) Klaten dari hasil kerjasama dengan Batan. Kasus branding ini dianggap masyarakat sangat tidak pantas karena itu adalah produksi pemerintah yang seharusnya tak bisa dibranding secara pribadi.Â