Udara di Bawana masih sejuk, karena lingkungan di puncak tebing masih terawat. Pohon-pohon khas pantai masih cukup padat dan hijau.
Lebih dari satu jam, kami menikmati keindahan Bawana. Kami segera menapaki tangga-tangga tebing. Bagi kawan-kawan yang masih muda dan bugar merasa aman-aman saja. Tapi bagi kawan-kawan yang sudah kepala lima dan kondisi fisiknya kurang bugar harus merayap.
Saya sendiri yang sedang dalam kondisi tidak bugar menjadi masalah berat. Harus empat kali istirahat karena kaki kanan saya mengalami kejang.
Dari Bawana, kawan-kawan masih mampir di destinasi Tanjung Mareha untuk mengambil panorama keindahan Pantai Watu Malando dan Pantai Bawana dari jarak jauh. Saya tidak bisa lagi ikut karena kelelahan dan memilih mendahului mereka untuk istirahat di rumah Kepala Desa Walandimu. Di sini, saya bersama tiga orang kawan menunggu mereka untuk menuju Rate Nggaro.
Satu jam kurang lebih saya istirahat di rumah Kades Walandimu. Dari arah jembatan Waiha di sisi selatan tempat saya istirahat sudah terdengar bunyi sirena foreders yang mengawal Rombongan Pemerintah Kota Magelang. Kami berempat pun gegas untuk gabung kembali.
Setengah jam kemudian, kami tiba di bibir Pantai Rate Nggaro, Desa Maliti Bondo Ati, pemekaran baru dari Desa Umbu Ngedo, Kecamatan Kodi Mbangedo. Rombongan turun dari kendaraan dan berhamburan menikmati keindahan pantai.
Di daratan rata bibir pantai ini terdapat batu-batu besar megalit berbentuk dolmen, kuburan para leluhur pertama, warga Kampung Adat Rate Nggaro. Tempat ini pulalah posisi awal Kampung Adat Rate Nggaro.
Mereka tidak habis pikir, bagaimana warga membangun rumat adat berkonstruksi kayu, bambu dan beratap alang-alang dengan joglo yang tinggi. Suatu peradaban dan kebudayaan yang menurut mereka unik dan luar biasa namun masih lestari di era modern seperti saat ini.