Rabu pagi, 28 Agustus 2019, tepat pukul 07.30 Wita, saya sudah parkir di depan Hotel Sinar Tambolaka. Di hotel inilah tempat menginap rombongan Pemerintah Kota Magelang yang melaksanakan kunjungan kerja kehumasan di Kabupaten Sumba Barat Daya dan Kabupaten Sumba Barat.
Rombongan Pemerintah Kota Magelang ini berjumlah 47 orang. Mereka terdiri dari Sekda Pemkot, staf ahli, asisten, ASN Humas, pelaku UMKM dan  20 orang wartawan baik elektronik maupun cetak.
Sehari sebelumnya, Selasa, sepanjang siang, 27 Agustus, mereka telah melakukan kunjungan ke destinasi terkenal di Kabupaten Sumba Barat, yaitu Kampung Adat Praiijing dan Air Terjun Laipopu. Kemudian Selasa malam mereka mengikuti Gala Dinner dengan Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya.
Dalam Gala Dinner ini hadir Bupati Sumba Barat Daya, Markus Dairo Talu bersama ibu. Sesuai rencana, seharusnya Walikota Magelang juga hadir. Namun pesawat yang akan beliau tumpangi batal terbang pada selasa sore karena masalah teknis, maka ia tertahan di Ngurah Rai dan tidak jadi ke Sumba Barat Daya.
Hari Rabu itu, saya mendampingi rombongan Pemkot Magelang untuk mengunjungi tiga destinasi terpopuler di Kabupaten Sumba Barat Daya yaitu Pantai Bawana, Pantai dan Kampung Adat Rate Nggaro, dan Laguna Wekuri. Di bawah cuaca cerah dan juga mulai gerah di pagi itu kami bergerak dengan sebelah unit kendaraan roda empat menuju destinasi yang berada di wilayah Kodi.
Â
Sekitar satu setengah jam perjalanan, setelah melalui jalan aspal yang seperempatnya rusak berat, kami pun tiba di punggung tebing Pantai Bawana di sisi selatan barat daya Desa Kahale, Kecamatan Kodi Balaghar.Â
Di sini kami parkir kendaraan dan kemudian secara perlahan-lahan menuruni tebing curam dengan tangga-tangga kecil yang memacu adrenalin. Itu pun kami harus meminta bantuan jasa warga setempat untuk membimbing kami menuruni tebing tersebut. Jaga-jaga jangan sampai ada yang terpeleset.
Kurang dari sepuluh menit, kaki kami telah menapak pantai berpasir putih basah dan bersih. Inilah pertama kalinya, saya sendiri menginjakkan kaki di Pantai Bawana. Saat kami menoleh ke kiri di sisi timur, tampaklah tanjung batu karang yang berdiri kokoh dan menjorok ke laut dengan lobang di tengahnya yang berbentuk gawang membusur. "Luar biasa. Sangat cantik dan indah. Ini sungguh-sungguh surga tersembunyi," tutur Mbak Retno, salah seorang dari rombongan Pemerintah Kota Magelang.
Sahabat-sahabat dari Jawa Tengah ini tidak bisa lagi menyembunyikan kegembiraan mereka saat di pantai. Mereka dengan penuh semangat mengabadikan keindahan Bawana dari berbagai sudut optik kamera.
Udara di Bawana masih sejuk, karena lingkungan di puncak tebing masih terawat. Pohon-pohon khas pantai masih cukup padat dan hijau.
Lebih dari satu jam, kami menikmati keindahan Bawana. Kami segera menapaki tangga-tangga tebing. Bagi kawan-kawan yang masih muda dan bugar merasa aman-aman saja. Tapi bagi kawan-kawan yang sudah kepala lima dan kondisi fisiknya kurang bugar harus merayap.
Saya sendiri yang sedang dalam kondisi tidak bugar menjadi masalah berat. Harus empat kali istirahat karena kaki kanan saya mengalami kejang.
Dari Bawana, kawan-kawan masih mampir di destinasi Tanjung Mareha untuk mengambil panorama keindahan Pantai Watu Malando dan Pantai Bawana dari jarak jauh. Saya tidak bisa lagi ikut karena kelelahan dan memilih mendahului mereka untuk istirahat di rumah Kepala Desa Walandimu. Di sini, saya bersama tiga orang kawan menunggu mereka untuk menuju Rate Nggaro.
Satu jam kurang lebih saya istirahat di rumah Kades Walandimu. Dari arah jembatan Waiha di sisi selatan tempat saya istirahat sudah terdengar bunyi sirena foreders yang mengawal Rombongan Pemerintah Kota Magelang. Kami berempat pun gegas untuk gabung kembali.
Setengah jam kemudian, kami tiba di bibir Pantai Rate Nggaro, Desa Maliti Bondo Ati, pemekaran baru dari Desa Umbu Ngedo, Kecamatan Kodi Mbangedo. Rombongan turun dari kendaraan dan berhamburan menikmati keindahan pantai.
Di daratan rata bibir pantai ini terdapat batu-batu besar megalit berbentuk dolmen, kuburan para leluhur pertama, warga Kampung Adat Rate Nggaro. Tempat ini pulalah posisi awal Kampung Adat Rate Nggaro.
Mereka tidak habis pikir, bagaimana warga membangun rumat adat berkonstruksi kayu, bambu dan beratap alang-alang dengan joglo yang tinggi. Suatu peradaban dan kebudayaan yang menurut mereka unik dan luar biasa namun masih lestari di era modern seperti saat ini.
Di dalam kampung adat ini mereka juga berfoto ria. Sebagai kenang-kenangan sangat bernilai. Saat sahabat-sahabat ini menikmati keindahan dan keunikan Rate Nggaro, muncul pula rombongan wisatawan manca negara. Lebih kurang satu jam di Rate Nggaro, kami beranjak menuju destinasi terakhir yaitu Laguna Wekuri.
Melalui jalan pesisir pantai barat dan utara, rombongan Pemkot Magelang tiba di lokasi destinasi Laguna Wekuri, Desa Moro Manduyo, Kecamatan Kodi Utara. Waktu tempuhnya kurang dari satu jam. Saat kami tiba sudah ada beberapa wisatawan manca negara yang berenang dengan pakaian a'la kadarnya.
Kawan-kawan saya sangat terpesona dengan keindahan Wekuri yang merupakan laguna air laut murni. Sumbernya dari lautan samudera yang dalam dengan arus gelombangnya yang sangat menantang di sisi utaranya, yang mengalirkan air laut ke palungan Wekuri melalui pori-pori tebing batu cadas yang kokoh selebar lebih kurang 20 meter.
Profil wajah Wekuri seperti sebuah kolam pemandian para bidadari dari khayangan. Lingkaran bebatuan yang mengombak sepanjang cincin bibir danau tertata rapih dan meliuk-liuk, unik dan indah, juga seperti terukir oleh sentuhan tangan para dewa alam.Â
Dengan ukuran diameter panjang dan lebarnya hanya rata-rata sekitar 100 meter dan 60 meter, Wekuri terlihat mungil dan manis seperti butiran manik-manik mutiara yang tersungging di bibir laut. Kedalaman airnya tergantung dari kondisi pasang-surut air laut. Jika pasang mencapai rata-rata sekitar 2 meter dan surut sekitar 1 meter.
Tampilan profil Wekuri ini terus terang sangat menggoda. Tidak terlampau berlebihan jika para wisatawan menjulukinya dengan beragam predikat. Bagaikan cermin raksasa yang terpampang di bibir samudera, menantikan para bidadari untuk bersolek. Ibarat aquarium alam yang terselip di antara karang. Juga disejajarkan dengan Blue Lake New Zealand.
Sungguh Wekuri memang tidak sekadar dapat memanjakan mata dan mendamaikan hati, akan tetapi juga mengundang hasrat untuk menyegarkan raga. Beberapa kawan tidak bisa menahan diri lagi dan langsung mandi di Wekuri.
Di saat kawan-kawan sedang menikmati kemolekan Wekuri, datang pula rombongan wisatawan manca negara. Membuat suasana Wekuri saat itu makin ramai. Lebih dari satu jam kami Wekuri. Kemudian kami meninggalkan Wekuri menuju Tambolaka saat menjelang sore.
Saat di Wekuri, wartawan Suara Jarmas, Okta Talu sempat mewawancarai Kepala Bagian Humas Pemkot Magelang, Idris. "Apa pendapat Bapak dengan destinasi Sumba Barat Daya," tanya Okta kepada Idris.
"Pariwisata Sumba Barat Daya memang kelas dunia," tutur Idris. Namun, lanjut Idris, tinggal membenahi infrastrukturnya, seperti jalan raya. Disamping itu, kata Idris, masih perlu ditata pengelolaannya. "Tadi di Bawana dan Rate Nggaro, kita masih harus nego untuk bisa masuk lokasi destinasi," jelasnya.
Terima kasih atas kunjungan dan masukannya Pak Idris. Mudah-mudahan tidak kapok datang lagi di Sumba Barat Daya.
Selamat jalan.
Tambolaka, 30 Agustus 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H