Cuaca malam itu cerah tanpa secuil noktah awan. Nun jauh di atas sana, Â berjuta-juta bintang penghuni langit terlihat tersenyum. Â Manis rupawan. Seperti sedang bahagia menikmati kabar yang beredar di dalam ruang makan Asrama Bukit Pewarta Injil malam itu.
Dari meja ke meja yang dibicarakan adalah tentang kedatangan siswa-siswi dari wilayah barat bumi Sandalwood yang sudah tamat SMP. Para siswa-siswi akan menjadi calon siswa-siswi baru di SMA mereka.
Kabar tersebut menjadi surprice bagi kebanyakan warga asrama. Bagi Rangga Mone dianggapnya sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja.Â
"Mengapa kamu tenang-tenang saja mendengar kabar itu? Padahal Tari Mbuku akan datang ke sini juga," kata Julens Rehi Bula. Karena memperhatikan sahabatnya tidak nimbrung sama sekali untuk sekadar komentar.
"Untuk apa juga saya komentar. Toh sudah begitu memang adanya sejak SMA kita berdiri. Apalagi SMA kita sekolah favorit. Mana ada siswa-siswi yang menjadi bintang pelajar di SMP-nya yang tidak mau sekolah di sini. Belum lagi ada fasilitas asramanya, sehingga orang tua mereka merasa nyaman untuk menyekolahkan anak-anak mereka," begitu komentar Rangga Mone, seolah-olah memberi penjelasan kepada sahabatnya.
Saat itu Julens Rehi Bula merasa maklum-maklum saja. Ia uga sedang tidak berniat untuk mencandai sahabatnya. Sehingga mereka lebih memilih menikmati kabar yang sedang dibincangkan oleh teman-teman mereka.
*****
Sampai dengan masa pertengahan 1980-an, sekitar tiga puluh tahun setelah Indonesia merdeka, masih langka SMA dan SMP di bumi Sandalwood. Beruntung ada Gereja di pulau ini, sehingga ada satu dua sekolah berstatus swasta yang berdiri. Artinya, gerejalah yang berjasa merintis kehadiran sekolah untuk mencerdaskan masyarakat di daerah ini.
SMA tempat Rangga Mone dan teman-temannya sekolah adalah milik sebuah yayasan katolik di bawah keuskupan setempat. SMA ini sudah berdiri sejak awal tahun 1970-an. Yayasan katolik ini juga mendirikan SPG (Sekolah Pendidikan Guru) di wilayah barat dan sejumlah SMP dan SD yang tersebar di wilayah timur, barat, utara dan selatan bumi Sandalwood.
Rangga Mone masuk di SMA tersebut, karena sekolah itu favorit. Bahkan sudah cukup lama tercatat sebagai salah satu dari tiga sekolah swasta katolik terfavorit dalam skala wilayah provinsi. Dua buah SMA yang lainnya ada di dua pulau yang berbeda. Satu di nusa bunga, tempat pengasingan Sang Proklamator, dan satu lagi di bumi karang, kota provinsi.
SMA tersebut favorit karena penerapan disiplinnya yang tinggi, kurikulumnya selalu up-date dan mutu proses belajar mengajarnya yang terjamin, dan guru-gurunya rata-rata lulusan fakultas keguruan dari kota pelajar terkemuka tanah air. Di samping itu, juga rata-rata siswa-siswi yang masuk di SMA ini, adalah para bintang belajar dari SMP katolik/kristen dalam satu pulau. Juga ada beberapa siswa-siswi yang berasal dari pulau tetangga.
Baik SMA tempat Rangga Mone dan teman-temannya sekolah maupun SPG dan SMP katolik lainnya di daerah itu, diperlengkapi pula dengan asrama oleh keuskupan. Ada asrama khusus laki-laki di bawah bimbingan pastor dan ada asrama putri di bawah bimbingan suster. Asrama-asrama ini ada yang bersifat "jaminan" dan ada juga yang bersifat "berdikari".
Asrama jaminan menyediakan seluruh kebutuhan siswa-siswi, kecuali pakaian, sabun, bantal dan tikar. Orang tua mereka tinggal membayar biaya yang ditetapkan oleh asrama. Sedangkan asrama berdikari hanya menyediakan fasilitas tempat tidur saja, tanpa bantal dan tikar. Semua kebutuhan siswa-siswi diurus sendiri oleh siswa-siswi yang bersangkutan.
Asrama bukit pewarta injil, tempat tinggal Rangga Mone dan teman-temannya bersifat jaminan dan semi seminari. Aktivitas di asrama ini mirip-mirip komunitas seminari menengah. Semuanya terjadwal dengan teratur dan wajib dilaksanakan secara disiplin.
Sebagai asrama semi seminari, maka di tempat ini selalu ada bimbingan atau pembinaan rohani secara kontinyu dan intensif, seperti doa, misa, baca kitab suci, latihan ajuda, retret dan sesekali ziarah rohani. Tujuannya jelas, untuk meningkatkan kualitas iman dan dengan harapan supaya bisa muncul calon-calon frater dan pastor dari asrama. Faktanya, memang sudah cukup banyak pastor yang pernah tinggal di asrama ini.
Di samping itu, di asrama ini juga dibimbing untuk latihan musik, diskusi melalui forum konferensi, berbahasa inggris, bertani, beternak, berorganisasi dan olah raga seperti tenis meja, sepak bola, bola volli dan bulu tangkis.
*****
Suatu siang, beberapa hari kemudian setelah beredar kabar di ruang makan asrama, tibalah siswa-siswa calon siswa baru SMA dan sekaligus calon penghuni baru asrama. Beberapa diantaranya adalah adik kelas Rangga Mone di SMP-nya. Dari mereka inilah, Rangga Mone memperoleh informasi pasti bahwa gadis pujaan hatinya sudah hadir juga di kota timur bumi Sandalwood.
"Teman, sebentar sore saya mau ke asrama putri. Â Apakah kamu tidak ingin ikut?" kata Rehi Bula dalam nada tanya kepada Rangga Mone saat mereka mau istirahat siang.
"Ada apa di sana sahabat?" jawab Rangga Mone sekenanya saja. Sesungguhnya ia paham maksud Rehi Bula, hanya sekadar menggodanya saja.
"Ada kiriman dari orang tua saya. Mereka kirim melalui Tari Mbuku," kata Rehi Bula.
"Mudah-mudahan om dan tante kirim daging. Jangan lama-lama di sana ya. Supaya sebentar malam kita bisa makan enak," komentar Rangga Mone.
"Saya tidak ada teman ke sana. Ayo temani dong. Sekalian kamu ketemu Tari Mbuku to!" ajak Rehi Bula.
"Minta maaf teman, kali ini saya belum bisa temani. Kamu jalan sendiri saja atau ajak teman yang lain," balas Rangga Mone.
"Kalau kamu tidak mau temani, ya saya juga jadi pemalas. Tunggu esok pagi saja baru mampir di asrama putri," kata Rehi Bula. Ia memang hanya mau menggoda sahabatnya.
Asrama putri dimaksud berada di sisi selatan SMA mereka, tepatnya di sisi selatan rumah pastoran atau sisi utara mes-mes guru atau di sisi timur gereja paroki. Asrama berdikari ini di bawah pengawasan pastor paroki, namun sehari-hari di bawah bimbingan seorang ibu janda tua, yang disapa dengan nama Nenek Guru. Ibu ini layaknya seorang biarawati. Disiplin dan rajin urus gereja.
*****
Dengan penuh semangat empat lima, seperti takut terlambat, pagi-pagi Rangga Mone dan beberapa calon siswa baru sudah menuju SMA. Ketika memasuki pintu gerbang sekolah, di depan gereja paroki, mereka melihat beberapa calon siswi baru yang ditemani oleh kakak-kakak mereka dari asrama putri masih sedang berdiri di depan pastoran.
Rangga Mone dan teman-temannya segera menghampiri mereka. "Selamat pagi," sapa Rangga Mone.
"Selamat pagi juga," balas siswi-siswi terserbut menyapa. Dari gestur tubuhnya, sepertinya Tari Mbuku tidak begitu respek dengan kehadiran Rangga Mone. Tapi bisa juga ia sedang malu-malu kucing. Rangga Mone mengabaikannya.
"Kapan kamu tiba," kata Rangga Mone ketika sedang menjabat tangan Tari Mbuku.
Dengan nada yang dingin, Tari Mbuku menjawab, "kemarin sore kak."
"Lalu sekarang mau urus apa?" sambung Rangga Mone.
"Mau daftar kak," jawab Tari Mbuku seperlunya.
"Kalau begitu, ayo ikut saya ke sekretariat sekolah," ajak Rangga Mone.
Mereka pun bersama-sama melangkah menuju sekolah. Pagi itu urusan administrasi pendaftaran calon siswa-siswi baru SMA tuntas. Lalu mereka pulang ke asrama masing-masing.
*****
Tahun ajaran baru sudah berlangsung. Rangga Mone sudah kelas II SMA dan masuk program A2 (IPA), kumpulan siswa-siswi yang pandai secara akademik. Sementara Tari Mbuku baru kelas I SMA dan duduk di kelas A, kumpulan siswa-siswi bintang pelajar dari SMP asal mereka.
Sekitar dua setengah bulan kemudian, entah karena sering ketemu muka dengan Tari Mbuku di sekolah atau karena sering diganggu oleh teman-temannya tentang adanya perasaan khususnya terhadap Tari Mbuku, maka hati Rangga Mone kembali menggebu-gebu untuk menyatakan rasa cintanya kepada Tari Mbuku.
Rangga Mone pun menulis surat cinta kepada Tari Mbuku. Surat cintanya yang ketiga ini dititipkan melalui "jembatan atau perantara", teman seangkatannya dari SMP asal yang sama namun masuk program A3 (IPS) di SMA tersebut. Dengi Walu, nama temannya ini, satu asrama dengan Tari Mbuku.
Satu bulan berlalu belum ada juga kabar surat balasan dari Tari Mbuku. Waktu penantian yang sangat lama bagi siapa pun yang sedang jatuh cinta. Bukan main rasa gelisah dan penasaran Rangga Mone waktu itu.
Suatu waktu, mungkin sudah lebih dari dua bulan, saat Rangga Mone sudah mampu berdamai dengan kondisi hatinya dan tidak peduli lagi dengan perjalanan nasib surat cintanya, datanglah kabar dari jembatannya.
"Ada pesan dari Tari Mbuku. Kalau ada waktu, dia minta kamu menemuinya di asrama putri. Ada sesuatu yang ingin disampaikannya secara langsung," bisik Dewi Walu kepada Rangga Mone, pada saat jam istirahat di sekolah.
"Kapan?" tanya Rangga Mone singkat.
"Bagaimana kalau besok malam minggu setelah keluar misa sore? Saya akan beritahu dia," balas Dengi Walu.
"Baik, saya akan usahakan untuk datang ke asrama putri," Â kata Rangga Mone.
Tipikal pribadi yang disiplin dan tidak mau dianggap ingkar janji, Â Rangga Mone memilih ikut misa sabtu sore di gereja paroki. Setelah misa, ia langsung menuju asrama putri.
"Selamat malam semua," sapa Rangga Mone kepada beberapa gadis warga asrama yang sedang duduk di emper.
"Selamat malam juga kakak ganteng," balas mereka hampir serentak. Gadis-gadis ini mengenal baik Rangga Mone, bintang pelajar di SMA mereka.
Belum lagi Rangga Mone menyampaikan maksud kedatangannya, salah satu gadis sudah memanggil-manggil seseorang yang ingin ditemui Rangga Mone.
"Kakak cantik ... kakak cantik ... kakak cantik ... !!! Ada kakak ganteng yang cari," demikian panggilnya beberapa kali. "Ya, baik. Sabar sedikit," demikian suara balasan dari dalam asrama. Suara yang tidak asing lagi di telinga Rangga Mone.
Hanya sebentar saja, Tari Mbuku sudah keluar dan menemui Rangga Mone. Ia mengambil posisi duduk di samping kiri Rangga Mone. Ia tidak seperti biasanya merasa canggung bertemu muka dengan Rangga Mone, setelah Rangga Mone menyatakan cinta kepadanya. Saat itu ia tampak akrab-akrab saja dengan Rangga Mone, seperti sedia kala sebelum Rangga Mone menyuratinya.
Hati dan perasaan Rangga Mone mulai tersanjung. Lalu ingin segera tahu apa yang akan disampaikan oleh Tari Mbuku.
"Adi minta kakak ke sini, kira-kira apa yang mau disampaikan?" tanya Rangga Mone dengan suara agak bergetar.
Tari Mbuku tidak langsung memberi jawaban. Ia masih berusaha menguasai dirinya supaya tidak menyinggung perasaan Rangga Mone. Lalu sesekali tersenyum tipis melirik wajah gelisah Rangga Mone, yang sedang mengharapkan cintanya bersambut gembira.
"Begini kak ...," suaranya bergetar, "saya sudah pikirkan baik-baik," suaranya mulai perlahan, "untuk kebaikan kita bersama," suaranya mulai bergetar lagi, "saya belum berpikir untuk pacaran," suaranya berhenti sebentar, "sebaiknya kita bersaudara saja, seperti kakak dan adik,"suaranya masih bergetar,"bukannya saya menolak cinta kakak," suaranya bergetar lebih cepat, "mohon maaf kak, jangan marah sama saya ya," tutur Tari Mbuku. Lalu terdiam, tapi tampaknya ia merasa tidak tenang. Mungkin ia ingin segera masuk ke dalam asrama.
Entah mau menunjukkan sikap berjiwa besar atau khawatir dinilai sebagai orang yang mengemis-ngemis cinta, maka tanpa pikir panjang lagi, Rangga Mone segera meresponnya, "Kalau adi sudah bilang begitu, lalu saya mau bilang apalagi. Terima kasih karena adi sudah mengatakannya secara jujur. Saya ikut saja apa yang adi inginkan. Saya juga tidak apa-apa dan tidak marah." Suara Rangga Mone saat itu juga bergetar dan perlahan sekali.
Kemudian mereka sama-sama terdiam. Suasana menjadi beku. Merasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, maka Rangga Mone segera pamit. Langkah kakinya lenting saat melangkah. Tari Mbuku masih mengawasinya saat Rangga Mone sudah di pintu pagar asrama putri itu.
*****
Selepas pertemuan di asrama putri malam minggu itu, Rangga Mone berusaha untuk melepaskan perasaan hatinya secara khusus terhadap Tari Mbuku. Seiring dengan perjalanan waktu, Rangga Mone memang berhasil menyisihkan perasaan cintanya terhadap Tari Mbuku.
Namun demikian, foto bersamanya dengan Tari Mbuku di bawah bunga di emper SMP mereka, masih terus terselip di dompetnya. Bukan karena masih ada apa-apanya dihatinya, akan tetapi karena apa adanya saja, terlupakan begitu saja. Foto ini terus bersemayam di dalam dompet Rangga Mone sampai ia tamat dari SMA tersebut. ***
Tambolaka, 16 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H