"Saya tidak ada teman ke sana. Ayo temani dong. Sekalian kamu ketemu Tari Mbuku to!" ajak Rehi Bula.
"Minta maaf teman, kali ini saya belum bisa temani. Kamu jalan sendiri saja atau ajak teman yang lain," balas Rangga Mone.
"Kalau kamu tidak mau temani, ya saya juga jadi pemalas. Tunggu esok pagi saja baru mampir di asrama putri," kata Rehi Bula. Ia memang hanya mau menggoda sahabatnya.
Asrama putri dimaksud berada di sisi selatan SMA mereka, tepatnya di sisi selatan rumah pastoran atau sisi utara mes-mes guru atau di sisi timur gereja paroki. Asrama berdikari ini di bawah pengawasan pastor paroki, namun sehari-hari di bawah bimbingan seorang ibu janda tua, yang disapa dengan nama Nenek Guru. Ibu ini layaknya seorang biarawati. Disiplin dan rajin urus gereja.
*****
Dengan penuh semangat empat lima, seperti takut terlambat, pagi-pagi Rangga Mone dan beberapa calon siswa baru sudah menuju SMA. Ketika memasuki pintu gerbang sekolah, di depan gereja paroki, mereka melihat beberapa calon siswi baru yang ditemani oleh kakak-kakak mereka dari asrama putri masih sedang berdiri di depan pastoran.
Rangga Mone dan teman-temannya segera menghampiri mereka. "Selamat pagi," sapa Rangga Mone.
"Selamat pagi juga," balas siswi-siswi terserbut menyapa. Dari gestur tubuhnya, sepertinya Tari Mbuku tidak begitu respek dengan kehadiran Rangga Mone. Tapi bisa juga ia sedang malu-malu kucing. Rangga Mone mengabaikannya.
"Kapan kamu tiba," kata Rangga Mone ketika sedang menjabat tangan Tari Mbuku.
Dengan nada yang dingin, Tari Mbuku menjawab, "kemarin sore kak."
"Lalu sekarang mau urus apa?" sambung Rangga Mone.