"Begini kak ...," suaranya bergetar, "saya sudah pikirkan baik-baik," suaranya mulai perlahan, "untuk kebaikan kita bersama," suaranya mulai bergetar lagi, "saya belum berpikir untuk pacaran," suaranya berhenti sebentar, "sebaiknya kita bersaudara saja, seperti kakak dan adik,"suaranya masih bergetar,"bukannya saya menolak cinta kakak," suaranya bergetar lebih cepat, "mohon maaf kak, jangan marah sama saya ya," tutur Tari Mbuku. Lalu terdiam, tapi tampaknya ia merasa tidak tenang. Mungkin ia ingin segera masuk ke dalam asrama.
Entah mau menunjukkan sikap berjiwa besar atau khawatir dinilai sebagai orang yang mengemis-ngemis cinta, maka tanpa pikir panjang lagi, Rangga Mone segera meresponnya, "Kalau adi sudah bilang begitu, lalu saya mau bilang apalagi. Terima kasih karena adi sudah mengatakannya secara jujur. Saya ikut saja apa yang adi inginkan. Saya juga tidak apa-apa dan tidak marah." Suara Rangga Mone saat itu juga bergetar dan perlahan sekali.
Kemudian mereka sama-sama terdiam. Suasana menjadi beku. Merasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, maka Rangga Mone segera pamit. Langkah kakinya lenting saat melangkah. Tari Mbuku masih mengawasinya saat Rangga Mone sudah di pintu pagar asrama putri itu.
*****
Selepas pertemuan di asrama putri malam minggu itu, Rangga Mone berusaha untuk melepaskan perasaan hatinya secara khusus terhadap Tari Mbuku. Seiring dengan perjalanan waktu, Rangga Mone memang berhasil menyisihkan perasaan cintanya terhadap Tari Mbuku.
Namun demikian, foto bersamanya dengan Tari Mbuku di bawah bunga di emper SMP mereka, masih terus terselip di dompetnya. Bukan karena masih ada apa-apanya dihatinya, akan tetapi karena apa adanya saja, terlupakan begitu saja. Foto ini terus bersemayam di dalam dompet Rangga Mone sampai ia tamat dari SMA tersebut. ***
Tambolaka, 16 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H