BAB I
Pendahuluan
Sejarah mencatat bahwa jauh sebelum Bangsa Eropa tiba di kepulauan Nusantara Islam telah berkembang luas diwilayah ini dan bahkan bisa dikatakan sudah menjadi agama mayoritas masyarakat nusantara, hal itu bisa dibuktikan bahwa sejak abad ke-13 di pulau Sumatera telah berdiri kerajaan Islam  yaitu kerajaan Samudra Pasai, disusul kemudia kerajaan Aceh Darussalam, sehingga pada awal abad ke-15 Islam telah mampu menguasai malaka (pusat perdagangan asia tenggara).
Sementara di pulau Jawa  Islam baru membentuk kerajaan yaitu pada akhir pertengahan abad ke-15 yang secara berturut-turut mulai kerajaan Demak, Pajang, Mataram, Cirebon dan Banten. Selain itu, muncul juga kerajaan Islam di wilayah lain seperti di Kalimantan, Maluku, dan Sulawesi.
Keberadaan kekerajaan Islam diatas yang secara bergantian di satu wilayah disebabkan oleh berbagai factor, salah satunya ialah karena terjadi konflik internal kerajaan, seperti perebutan kekuasaan, sifat kepeminpinan yang kurang tegas, dll, yang semua itu merangsang pihak-pihak lain untuk membentuk sebuah kerajaan baru.
Akan tetapi, selain factor tersebut, hal yang sangat berpengaruh terhadap melemahnya kerajaan Islam ialah pada abad permulaan abad ke-16 masuk aggressor perdagangan dan agama barat ke wilayah Islam (Asia Tenggara)[1] yaitu orang-orang Portugis, Spanyol, dan Belanda. Kedatangan bangsa Eropa tersebut pertama-tama berupaya untuk melakukan kristenisasi (upaya ini sangat dimaksimalkan oleh portugis), dan menghapus kekuasaan Islam dalam penguasaannya terhadap perdagangan rempah-rempah, serta membentuk sebuah kekuasaan yang kuat. Oleh karena itu, bisa dipastikan bahwa kedatangan bangsa Eropa tersebut sangat mengancam terhadap keberlangsungan kerajaan Islam.
Fakta bahwa sudah sejak abad ke-13 Islam sudah memilik kuasa diwilayah Indonesia, menghaharuskan orang-orang barat yang datang ke Indonesia berhadapan dengan orang Islam, hal itu bisa dilihat bahwa sejak zaman portugis, VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) maupun zaman Nederlands-Indië, hampir semua bentuk perlawanan- baik secara militan maupun kultural- berputar pada tokoh-tokoh Islam.[2] Sehingga, cita-cita bangsa barat tersebut, tidak semuanya terwujud secara maksimal, seperti upaya kristenisasi (khususnya di wilayah yang basisnya Islam)
Diantara Negara Eropa yang pernah singgah (menjajah) Indonesia, Belanda (dengan membutuhkan waktu yang sangat lama) adalah satu-satunya yang berhasil mewujudkan pemerintahan yang kuat di Indonesia, hal tersebut menjadikan Belanda berhasil membuat kebijakan-kebijakan politik. Kebijakan-kebijakan Pemerintah Hindia Belanda itulah yang akan dibahas dalam makalah ini, khususnya kebijakan terhadap umat Islam.
BAB II
Pembahasan
A. Datangnya Belanda Ke Indonesia
Terhitung mulai bulan april tahun 1595, empat aramada kapal Belanda dibawah komandu Corniles Dehoutman berlayar menuju kepulauan Melayu, dan tiba di Jawa barat (pelabuhan Banten) pada bulan juni 1596. Menurut Dr. Muqaddam Khalil M.A mereka sengaja mendarat di Banten, karena daerah tersebut dianggap tidak ada pengaruh portugis[3]. Adapun tujuan mereka datang ke Indonesia ialah untuk mengembangkan usaha perdagangan, yaitu mencari rempah-rempah yang kemudian akan dijual di Negara mereka. Keberhasilan orang Belanda dibawah komando dehoutman membuat orang Belanda makin tertarik untuk mengembangkan dagangannya di Indonesia, maka pada tahun 1598 ankatan kedua dibahwah pimpinan Van Nede Van Haskerck dan Van Warwisk datang ke Indonesia.
Kedatangan Belanda yang bertepatan dengan melemahnya pertahanan maritim dari kesultanan-kesultanan Indonesia yang diakibatkan banyaknya peperangan yang dilakukan oleh kesultanan Indonesia dalam usahanya menutup lautan Indonesia dari perluasan wilayah imprialis Portugis, menjadikan Belanda lebih Mudah menguasai perdagangan di Indonesia. sehingga pada tahun 1599 armada Belanda kembali datang ke Indonesia di bawah pimpinan van der Hagen dan pada tahun 1600 dibawah pimpinan van Neck.[4]
Melihat hasil yang diperoleh begitu besar, pada bulan maret 1602 Pemerintah Belanda memberi hak khusus kepada para perseroan gabungan dan mengesahkannya. Perseroan gabungan tersebut di beri hak penuh untuk berdagang, dan memegang kekuasaan antara tanjung harapan dan kepulauan Solomon, termasuk kepulauan nusantara yang dikenal dengan V.O.C(Vereenedge Oost Indische Compagnie)[5], dan diberi hak untuk melakukan kegiatan politik dalam rangka menunjang usaha perdagangannya, dan sejak itulah Belanda perlahan-lahan menjadi menguasai wilayah Indonesia.
Hak politik itu diberikan bisa jadi merupakan sebuah strategi Belanda untuk memudahkan dan bisa memegang kekuasaan di di wilayah yang didudukinya termasuk Indonesia, oleh karena itu, betul jika dikatakan bahwa sejak petengahan abad -16 Imprialis Belanda berusaha mewujudkan pemerintahan yang kuat di Indonesia yang dapat melindungi transportasi dan perdagangannya. akan tetapi, umat Islam melalui kesultanan-kesultananya dan juga perlawannya berhasil menunda keinginan Belanda tersebut hingga dua abad kemudian,.
Keberhasilan Umat Islam menunda keinginan Belanda untuk mewujudkan sebuah pemerintahan yang utuh banyak disebabkan oleh adanya perlawanan kesultanan-kesultanan Islam di Indonesia, salah satunya ialah yang terjadi pada masa Sultan Agung, yang secara berturut-turut melakukan penyerangan ke Batavia. Selain itu, sifat Sultan Agung Tritayasa yang sangat membenci Belanda adalah sebuah bentuk perlawanan Islam yang juga dapat menunda keinginan Belanda.
Akan tetapi kekuatan militer Belanda yang dilengkapi dengan senjata canggih dapat menggagalkan perlawanan umat Islam, sehingga Belanda berhasil mewujudkan pemerintahan yang utuh, yaitu setelah dibubarkannya VOC pada tahun 1798, yang kemudian dikenal dengan pemerintahan Hindia Belanda. Keberhasilan tersebut membuat Belanda lebih leluasa menentukan sebuah kebijakan politik di Indonesia. dalam hal kebijakannya terhadap umat Islam terdapat tokoh yangat berperan dalam menentukan kebijkan tersebut yaitu Sanough Horgronye.
B. Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda
Setelah VOC jatuh bangkrut pada akhir abad ke-18 pemerintah Belanda mengambil alih kepemilikan VOC pada tahun 1816. Sebuah pemberontakan di Jawa berhasil ditumpas dalam Perang Diponegoro pada tahun 1825-1830. Setelah tahun 1830 sistem tanam paksa yang dikenal sebagai cultuurstelsel dalam bahasa Belanda mulai diterapkan. Dalam sistem ini, para penduduk dipaksa menanam hasil-hasil perkebunan yang menjadi permintaan pasar dunia pada saat itu, seperti teh, kopi dll. Sistem tanam paksa ini adalah salah satu kebijakan yang diterapkan Hindia Belanda kepada masyarakat Indonesia secara umum.
Meskipun di Jawa pemberontakan besar-besaran di bawah panji Islam telah berhenti setelah perang diponogoro, frekuensi pemberontakan petani-petani di bawah pimpinan Islam setempat makin meningkat,[6] sehingga pemerintah Hindia Belanda dengan demikian mengaharuskan membuat arah politik baru tentang masalah-masalah-masalah Islam.
Berdasar latar belakan itulah, pada tahun 1889 seorang negarawan kolonial Belanda "Snouck Hurgronje" (dalam makalah ini dituli SH) yang mengetahui secara mendalam tentang Islam diangkat menjadi penasehat untuk masalah-masalah arab pribumi. Pemahaman Snouck Hurgronje tentang hakikat Islam di Indonesia sangat membantu terhadap keberhasilan Hindia Belanda untuk mengarahkan kebijakan politiknya terhadap Islam.
Semenjak itulah pemerintah Belanda atas nasehat Snouck Hurgronje memiliki kebijakan politik yang jelas terhadap Islam yang dikenal dengan "Islam Politiek" yaitu kebijakan pemerintah kolonial dalam menangani Islam di Indonesia. Kebijakan tersebut antara lain:
a. Asosiasi Keagamaan
SH yang telah banyak mengetahui tentang Islam, dalam mengusulkan sebuah kebijakan yang melawan ketakutan Belanda terhadap Islam, dengan menilai secara ralitas tempat di dalam masyarakat Indonesia, SH selantunya menawarkan suatu sikap toleransi yang dijabarkan dalam sikap nitral terhadap kehidupan keagamaan. Oleh karena itu, atas penjelan SH pemerintah Belanda memberikan "kebebasan beragama" termasuk dihilangkannya rintangan naik haji ke Mekkah. Meski demikian, SH mengaskan bahwa Islam sama sekali tidak bisa dianggap remeh baik sebagai agama maupu sebagai kekuatan politik.
Akan tetapi, hubungan pemerintah kolonial dengan agama tidaklah bisa dilepaskan dari hubungan antar hubungan umat beragama (umat Islam dan kristen), hal ini terlihat jelas pada hubungan Islam - kristen yang melatar belakangi hubungan Indonesia-Belanda. Kaum elit Belanda yang umumnya beragama kristen ternyata tidak mampu memperlakukan pribumi yang umumnya beragama Islam sama dengan pribumi yang beragama kristen, umat Islam seringkali mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan umat kristen yang dianggapnya bagian dari Eropa.
Perlakuan yang kurang nertal tersebut menimbulkan kritik tajam di kalangan umat Islam, umat Islam memandang pemerintah kolonial melancarkan kertenisgspolitik, yaitu kebijaksanaan kebijaksanaan yang menonjang kristenisasi.[7] hal itulah yang menjadi salah satu sebab umat Islam (Kaum santri) selalu tidak setuju dengan pemerintah, dan menilainya sebagai kafir.
b. Asosiasi kebudayaan
Dalam hal ini, menurut SH pertama, Belanda harus memisahkan antara Islam sebagai agama dan Islam sebagai doktrin politik, karena makin jauh kedua hal tersebut akan mempercepat proses kehancuran Islam. Untuk mencapai maksud teresebut pemerintah harus menghidupkan golongan pemangku adat karena mereka ini akan menentang Islam[8]. Kedua, Belanda juga harus mengadakan kerja sama kebudayaan Indonesia- Belanda, hal ini dapat dicapai dengan memperalat golongan priyai yang selalu berdekatan dengan pemerintah karena kebanyakan dari mereka menjabat sebagai pamog praja. Ketiga, operasi meliter ke daerah pedalaman dan menindak secara kekerasan terhadap para ulama, dan tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk merekrut para santrinya sebagai pasukan suka rela. Keempat, Terhadap orang awam, pemerintah harus meyakinkan bahwa Belanda tidak memusuhi agama Islam dan bahkan melindungi agama Islam. [9]
c. Asosiasi pendidikan
Dalam bidang pendidikan permerintah Hindia Belanda menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi, sehingga Hindia Belanda menformalasikan pendidikan barat sebagai faktor yang akan mengahancurkan Islam di Indonesia, dalam hal ini SH sangat optimis bahwa Islam tidak akan sanggup bersaing dengan pendidikan barat, dan ia menganngap agama ini beku dan penghalang kemajuan, sehingga harus diimbangi dengan meningkatkan taraf kemajuan primbumi. Akan tetapi pada kenyataannya, ramalan SH tersebut malah terbalik, hal itu disebabkan munculnya ide modernisasi Islam yang menjalar kepada umat Islam. SH ternyata juga belum memperhitungkan kesanggupan Islam menyerap kekuatan dari luar untuk meningkatkan diri.[10] sehingga dengan kebijakan tersebut, muncullah nasionalis Islam yang belajar ilmu barat kemudian menjadi musuh bagi Belanda.
Selain itu, kesadaran bahwa pemerintah 'Hindia Belanda adalah Pemerintah kafir yang menjajah agama mereka (khususnya tertanam di benak para santri) sebagian umat islam indonesia (kaum santri) mengambil sikap anti Belanda. Pesantren yang pada waktu itu merupakan pusat pendidikan Islam mengharamkan menerima gaji guru dari pemerintah, karena dinilainya haram. Sikap konfrotasi kaum santri tersebut dengan segala kekuarangan dan kelemahannya berhasil mempertahankan identitas keIslaman sehingga mengharuskan Belanda membuat kebijakan kebijakan yang mengekang umat Islam antara lain: Pertama: ordonansi guru, yaitu suatu kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda yang mengharuskan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu utnuk melaksanakan tugasnya sebagai guru agama.[11] Kebijakan ini menibulkan banyak reaksi umat Islam baik dari kaum pribumi maupun dari organisasi Islam seperti Muhammadiyah. Kedua, Ordonansi sekolah liar, kebijakan ini dikeluarkan oleh pihak Belanda karena menjalarnya pendidikan Islam swasta yang dianggapnya mengancam pihak Belanda, dengan begitu Belanda melarang mendirikan sekolah-sekolah tampa izin pemerintah, kebijakan ini ini mendapat kritik keras oleh tokoh pendidikan Ki Hadjar. Partai politik turut mendukung protes tersebut dan memperjuangkanya di Volksraad. Begitu juga dengan surat-surat kabar saat itu. Akhirnya pada 1935, setelah dua tahun mengalami proses alot, ordonansi sekolah liar dihapuskan.[12]
BAB III
PENUTUP
Telah disinggung diatas, bahwa pengetahuan SH tentang umat Islam di Indonesia mebuatnya sangat optimis bahwa "kebijakan-kebijakan" yang diambilnya akan berhasil, akan tetapi ramalan tersebut ternyata tidak sesuai dengan apa yang ia duga. System politik yang pada awalnya diarahkan untuk mematahkan peranan umat Islam dalam bidang politik, ekonomi dan social, ditambah dengan dilancarkannya politik kristenisasi menyebabkan beragam respon pertama umat Islam berupa usaha perbaikan agama, ekonomi, politik dan social. Wujud dari respon tersebut antara lain timbulnya orgainisasi Islam seperti Serikat Islam 1906), Muhammadiyah (1912), Perserikatan Ulama (1916) Persis (1923), NU (1926), kemudian atas prakarsa NU dan MD pada tahun 1937 dibentuk MIAI.
Munculnya organisasi tersebut salah satunya adalah disebabkan oleh ide-ide barat yang diperkenalkan melalui kebijakan-kebijakan Hindia Belanda kepada sebagian umat Islam Indonesia yang pada akhirnya menyebabkan gagalnya "politk Islam" Hindia Belanda itu sendiri, Sehingga dalam hal ini berlakulah istilah "Senjata Makan Tuan".
Selain itu, kegagalan "Islam poitiek" juga disebabkan oleh sikap sebagian umat Islam (kaum santri) yang selalu menolak dan menggunakan kebijakan - kebijakan Hindia Belanda yang dianggapnya "Kafir".
Daftar Rujukan:
Benda, Harry J. (terj), Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa
Pendudukan Jepang, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980
Nata, Abudin, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta :
Rajawali Press, 2007
Negara, Ahmad Mansur Surya, Menemukan Sejarah,
Bandung, Mizan.,1996
Suminto, H. Aqib, Politik Islam Hindia Belanda,
Jakarta: LP3ES, 1996.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.. Lima Puluh Tahun Perkembangan
Pendidikan Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan
Kebudayaan, Depdikbud, 1995.
Jurnal al-Hikmah, Paratai Politik Islam PadaMasa Orla dan Orba,
vol.1/no.2 Mei 2009
Josef H. Wenas, Identitas Politik Islam Hindia Belanda,
dalam Opini kompas.com: 24 February 2011
[1] Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam di Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang : Jakarta 1980Â Pustaka Jaya. Hlm 28
[2] Josef H. Wenas, Identitas Politik Islam Hindia Belanda.dalam Opini kompasia, kompas.com: 24 februari 2011
[3] Jurnal al-Hikmah, Paratai Politik Islam PadaMasa Orla dan Orba, vol.1/no.2 Mei 2009. Hlm.19
[4] Abudin Nata, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakrta : Rajawali Press, 2007., hlm 234
[5]Ibid., hlm 235
[6] Harry J. benda (terj), Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, Jakarta: Pustaka Jaya,1980., hlm 40
[7] H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1996., hlm 23.
[8] Ahmad Mansur Surya Negara, Menemukan Sejarah, Bandung, Mizan., hlm, 140
[9] Ibid., hlm
[10] H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1996., hlm 51
[11] H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1996.,hlm 51
[12] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Depdikbud, hlm. 20-21.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI