Mohon tunggu...
Rusdi
Rusdi Mohon Tunggu... Rakyat -

se-enak-enak manusia adalah yang tidak ingin menjadi 'apa-apa'.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Politik Islam Hindia Belanda

13 Juni 2011   23:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:32 4968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

a. Asosiasi Keagamaan

SH yang telah banyak mengetahui tentang Islam, dalam mengusulkan sebuah kebijakan yang melawan ketakutan Belanda terhadap Islam, dengan menilai secara ralitas tempat di dalam masyarakat Indonesia, SH selantunya menawarkan suatu sikap toleransi yang dijabarkan dalam sikap nitral terhadap kehidupan keagamaan. Oleh karena itu, atas penjelan SH pemerintah Belanda memberikan "kebebasan beragama" termasuk dihilangkannya rintangan naik haji ke Mekkah. Meski demikian, SH mengaskan bahwa Islam sama sekali tidak bisa dianggap remeh baik sebagai agama maupu sebagai kekuatan politik.

Akan tetapi, hubungan pemerintah kolonial dengan agama tidaklah bisa dilepaskan dari hubungan antar hubungan umat beragama (umat Islam dan kristen), hal ini terlihat jelas pada hubungan Islam - kristen yang melatar belakangi hubungan Indonesia-Belanda. Kaum elit Belanda yang umumnya beragama kristen ternyata tidak mampu memperlakukan pribumi yang umumnya beragama Islam sama dengan pribumi yang beragama kristen, umat Islam seringkali mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan umat kristen yang dianggapnya bagian dari Eropa.

Perlakuan yang kurang nertal tersebut menimbulkan kritik tajam di kalangan umat Islam, umat Islam memandang pemerintah kolonial melancarkan kertenisgspolitik, yaitu kebijaksanaan kebijaksanaan yang menonjang kristenisasi.[7] hal itulah yang menjadi salah satu sebab umat Islam (Kaum santri) selalu tidak setuju dengan pemerintah, dan menilainya sebagai kafir.

b. Asosiasi kebudayaan

Dalam hal ini, menurut SH pertama, Belanda harus memisahkan antara Islam sebagai agama dan Islam sebagai doktrin politik, karena makin jauh kedua hal tersebut akan mempercepat proses kehancuran Islam. Untuk mencapai maksud teresebut pemerintah harus menghidupkan golongan pemangku adat karena mereka ini akan menentang Islam[8]. Kedua, Belanda juga harus mengadakan kerja sama kebudayaan Indonesia- Belanda, hal ini dapat dicapai dengan memperalat golongan priyai yang selalu berdekatan dengan pemerintah karena kebanyakan dari mereka menjabat sebagai pamog praja. Ketiga, operasi meliter ke daerah pedalaman dan menindak secara kekerasan terhadap para ulama, dan tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk merekrut para santrinya  sebagai pasukan suka rela. Keempat, Terhadap orang awam, pemerintah harus meyakinkan bahwa Belanda tidak memusuhi agama Islam dan bahkan melindungi agama Islam. [9]

c. Asosiasi pendidikan

Dalam bidang pendidikan permerintah Hindia Belanda menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi, sehingga Hindia Belanda menformalasikan pendidikan barat sebagai faktor yang akan mengahancurkan Islam di Indonesia, dalam hal ini SH sangat optimis bahwa Islam tidak akan sanggup bersaing dengan pendidikan barat, dan ia menganngap agama ini beku dan penghalang kemajuan, sehingga harus diimbangi dengan meningkatkan taraf kemajuan primbumi. Akan tetapi pada kenyataannya, ramalan SH tersebut malah terbalik, hal itu disebabkan munculnya ide modernisasi Islam yang menjalar kepada umat Islam. SH ternyata juga belum memperhitungkan kesanggupan Islam menyerap kekuatan dari luar untuk meningkatkan diri.[10] sehingga dengan kebijakan tersebut, muncullah nasionalis Islam yang belajar ilmu barat kemudian menjadi musuh bagi Belanda.

Selain itu, kesadaran bahwa pemerintah 'Hindia Belanda adalah Pemerintah kafir yang menjajah agama mereka (khususnya tertanam di benak para santri) sebagian umat islam indonesia (kaum santri) mengambil sikap anti Belanda.  Pesantren yang pada waktu itu merupakan pusat pendidikan Islam mengharamkan menerima gaji guru dari pemerintah, karena dinilainya haram. Sikap konfrotasi kaum santri tersebut dengan segala kekuarangan dan kelemahannya berhasil mempertahankan identitas keIslaman sehingga mengharuskan Belanda membuat kebijakan kebijakan yang mengekang umat Islam antara lain: Pertama: ordonansi guru, yaitu suatu kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda yang mengharuskan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu utnuk melaksanakan tugasnya sebagai guru agama.[11] Kebijakan ini menibulkan banyak reaksi umat Islam baik dari kaum pribumi maupun dari organisasi Islam seperti Muhammadiyah. Kedua, Ordonansi sekolah liar, kebijakan ini dikeluarkan oleh pihak Belanda karena menjalarnya pendidikan Islam swasta yang dianggapnya mengancam pihak Belanda, dengan begitu Belanda melarang mendirikan sekolah-sekolah tampa izin pemerintah, kebijakan ini ini mendapat kritik keras oleh tokoh pendidikan Ki Hadjar. Partai politik turut mendukung protes tersebut dan memperjuangkanya di Volksraad. Begitu juga dengan surat-surat kabar saat itu. Akhirnya pada 1935, setelah dua tahun mengalami proses alot, ordonansi sekolah liar dihapuskan.[12]

BAB III

PENUTUP

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun