Mohon tunggu...
Choirul Huda
Choirul Huda Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasianer sejak 2010

Pencinta wayang, Juventini, Blogger. @roelly87 (www.roelly87.com)

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Insiden Membokongi Piza

27 Januari 2025   05:56 Diperbarui: 27 Januari 2025   08:26 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Insiden Membokongi Piza

"SORE pak/bu, untuk pesanan sudah sesuai aplikasi ya?"

"Iya mas. Jangan dibatalin ya. Saya sudah nunggu hampir dua jam di-cancel terus."

"Siap, pak/bu. Saya menuju resto. Mohin ditunggu."

Demikian percakapan saya dengan customer via chat di salah satu aplikasi ojek online (ojol), pertengahan posyamasa lalu.

Tidak ada yang aneh. Normal saja.

Kendati, orderannya cukup banyak. Terdiri dari lima loyang piza berukuran besar dan dua sedang.

Namun, berdasarkan kalkulasi, baik itu dari segi dimensi dan berat, ga terlalu. Ya, bawa piza tujuh tumpuk masih tergolong normal.

Secara, sebagai ojol, saya sering bawa orderan yang lebih besar. Bahkan, jumbo.

Baik makanan atau barang. Khususnya, saat pandemi Covid 19 lalu.

Saat itu, saya ga pantang untuk bawa kulkas dua pintu, tv 40+ inch, AC, guci, lilin raksasa, pot tanah liat, oven, sayur serta daging, dan sebagainya yang mungkin melebihi ketentuan ojol.

Berat? Pasti.

Ukurannya besar? Tentu.

Bisa dipahami mengingat ketika itu, pilihannya hanya dua:

1. Pulang bawa uang meski orderan antar barangnya besar-besar.

Atau:

2. Idealis, menolak orderan tersebut tapi pulang ke rumah dengan tangan hampa.

Maklum, pada pandemi lalu, perputaran ekonomi melemah akibat serangan virus yang merenggut banyak korban jiwa. Ditambah dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Semua pun kena imbas. Termasuk, ojol yang masuk dalam sektor jasa informal.

Terlebih, pada tiga bulan awal pandemi, ojol dilarang bawa penumpang. Pada saat yang sama, mayoritas resto dan mal tutup.

Bahkan, beberapa harus gulung tikar akibat tidak ada pemasukan. Kecuali yang modal besar atau pinggir jalan dan rumahan.

Alhasil, saya dan ribuan ojol lainnya cuma bisa mengharapkan dari layanan antarbarang. Hanya, pasar atau pusat perbelanjaan pakaian, elektronik, listrik,  komputer, hp, dan sebagainya juga banyak yang tutup.

Misalnya, di kawasan Tanah Abang, Asemka, Asemreges, Glodok, Mangga Dua, Senen, hingga Kenari. Yang buka hanya toko-toko atau ruko independen di pinggir jalan.

Itu mengapa, setiap bunyi orderan, tanpa mikir lama, langsung saya cocol. Apa pun itu barangnya, baik berat, besar, hingga jumbo pun, tancap gas!

*       *       *

KECUALI, satu. Yaitu, kue ulang tahun.

Sumpah, sebutuh apa pun saya, sejauh ini masih memegang teguh mengabaikan orderan tersebut. Bukan bermaksud untuk menolak rezeki.

Hanya, saya enggan mengambil risiko. Pendapatan hanya Rp 8.000 hingga maksimal 50.000, tapi berisiko harus ganti rugi mencapai ratusan ribu.

Sebab, bawanya susah, harus dipegang satu tangan. Kalo taruh di atas jok belakang riskan penyok.

Saya berkaca pada pengalaman 2019 silam saat baru jadi ojol. Ada rekan driver yang mendapat orderan mengantar kue ulang tahun di toko kawasan Gambir.

Sampai di rumah customer, kue tersebut penyok dikit. Ya, sedikit.

Alias secuil. Ujungnya.

Mungkin kepentok. Atau kegeser-geser dalam perjalanan.

Customer itu enggan menerima. Sebab, kue ulang tahun harus sempurna.

Alhasil, rekan ojol itu harus ganti rugi. Nominalnya, sekitar Rp 500.000!

Doi udah lapor ke aplikasi. Namun, pihak aplikator lepas tangan karena sudah risiko ojol.

Akhirnya, driver itu ganti rugi ke customer. Membongkar celengan di rumah.

Harusnya untung malah buntung!

Konon, kue ulang tahunnya itu hingga saya ketemu lagi pertengahan 2024 lalu, katanya masih disimpan di para-para gentengnya.

Alias ga dimakan sama rekan ojol tersebut. Justru, dijadikan monumen baginya agar kapok bawa kue ulang tahun lagi.

Duh... Saya turut simpati.

Itu mengapa, saya ogah bawa kue ulang tahun. Sejauh ini, masih idealis untuk menolak orderan seperti itu.

*       *       *

"BENTAR ya, pak/bu. Masih antre. Estimasi kata kasirnya 15-30 menitan lagi," ujar saya memberi info.

Tak lupa, saya foto situasi di resto piza ternama itu yang sangat ramai. Baik makan di tempat, bawa pulang, atau via orderan ojol.

"Ga apa-apa mas. Yang penting jangan di-cancel ya. Saya udah capek nunggu dari tadi dibatalin terus. Ada kali lima ojol mem-php."

"Siap, pak/bu. Untuk alamat udah sesuai ya? Komplek Planet Namek, No 18?"

"Iya, betul mas. Sesuai titik di aplikasi. Terima kasih."

Usai sepertanakan nasi, pesanan pun selesai. Lima piza besar dan dua sedang ditumpuk dengan diselimuti plastik yang saya minta dari kasirnya untuk jaga-jaga jika turun hujan.

Memasuki bulan berakhiran Ber-Ber-Ber memang rawan hujan. Bahkan, bisa tiba-tiba.

Pagi cerah, siang terik, sore mendung, malam hujan. Kadang drastis, dengan siang yang panas banget, ga lama langsung air mengucur deras.

Sebagai ojol, tentu saya harus adaptif. Secara, di Indonesia hanya ada dua musim.

Kalo ga kemarau ya hujan. Itu mengapa, saya selalu membawa peralatan tempur.

Masing-masing dua helm dan jas hujan untuk saya serta penumpang. Tidak ketinggalan satu dus hair cap untuk customer yang kerap menolak helm dengan alasan bekas dipakai orang lain.

*       *       *

"PERMISI, saya mau antar makanan untuk pak/ibu X," ucap saya di depan pagar rumah bernuansa Mediterania usai memencet bel.

Dari luar tampak megah. Namun, sangat teduh dengan dikelilingi pohon yang rindang.

Duh, dalam hati jadi semangat ingin ngumpulin uang biar bisa kebeli rumah seperti itu. Meski tampak mustahil, mengingat di kawasan elite jantung ibu kota itu, harga rumahnya mencapai puluhan M.

Ya, puluhan milyar!

Mungkin, mayoritas penghuninya old money. Entah itu pengusaha, pejabat aktif, pensiunan jenderal, hingga calon penguasa...

Kawasan itu masuk kategori hot berdampingan dengan Menteng, Pondok Indah, Kemang, Kebayoran Baru, Pantai Mutiara, PIK, hingga Kelapa Gading.

"Oh iya, pak. Ini tip dari ibu. Beliau titip dan mengucapkan terima kasih," jawab ibu-ibu yang menyapu di halaman memberi sesuatu saat saya sedang membuka ikatan piza di jok motor.

"Semua bu? Banyak banget. Ga salah?"

"Iya, dari ibu X. Katanya buat ganti udah nunggu lama pesanan piza."

"Terima kasih ya bu."

Saya merasa terbang ke langit ketujuh. Wow!

Maklum, tipnya dua lembar merah. Alias, 10 kali lipat ongkos di aplikasi.

Sebagai ojol, tentu saya girang. Banget malah.

Di kolong langit ini, siapa sih yang ga demen duit?

He... He... He...

Hanya, saat sedang melepas tali terakhir yang mengikat piza, tiba-tiba dari dalam muncul wanita yang memandang saya. Tatapannya tampak ganjil.

"Mas, ini pizanya ditaruh belakang ya?"

"Iya, ka."

"Kenapa taruh belakang?"

"Memang seperti ini biasanya, ka..."

Entah kenapa, jawaban yang terlontar ini, saya merasa aneh. Padahal, memang kalo bawa piza taruhnya di jok belakang.

Namun, kali ini beda. Saya pun bingung mencerna ucapan dari customer ini.

"Saya X yang pesan piza ini. Harusnya jangan ditaruh belakang dong. Ini kan makanan? Tidak pantas ditaruh di belakang bokong."

Sontak, bulir-bulir keringat sebesar biji jagung pun berebutan meluncur deras dari dahi saya. Sumpah, saat itu saya berasa jadi terdakwa yang mendapat vonis berat di hadapan hakim tanpa tahu salahnya apa.

"Maaf, ka. Biasanya kami, para ojol membawa piza memang ditaruh di jok belakang," jawab saya dengan gamang.

"Jangan dibiasain ya mas. Ini makanan. Ga pantas dipantatin."

"I... Iya, ka. Maaf ya," lanjut saya masih keheranan di depan wanita sekitar 30-40 tahunan ini.

Serius, saat itu saya bingung. Jawab apa pun pasti salah.

Padahal, saya dan ribuan ojol lainnya, kalo bawa piza memang taruh belakang jok. Ga mungkin ditenteng pakai tangan kiri sambil menjalankan motor.

Kan bahaya. Apalagi kalo orderannya banyak seperti yang saya alami dengan lima loyang besar dan dua sedang.

Beda cerita jika memesan langsung via resto. Alias, bukan lewat aplikasi ojol.

Mayoritas resto piza atau fastfood punya motor sendiri yang dibelakang jok diberi box berukuran besar.

Sementara, kalo ojol ya seperti itu. Diikat dengan tali di jok belakang.

Ga mungkin kami, para ojol turut menyematkan box besar di motor. Secara, selain makanan dan barang, saya juga biasa membawa penumpang.

Bisa-bisa ntar mau duduk di mana penumpangnya?

*       *       *

CUSTOMER itu menarik napas panjang. Lalu, masuk ke dalam.

Sementara, saya dan ibu yang selesai menyapu itu pun terdiam. Kami sama-sama jadi patung.

Mungkin, ibu itu udah tahu kalo ojol bawa piza memang taruh di belakang jok. Sementara, customer menyangka ojol seperti kurir dari resto piza yang motornya ada box besar.

Ya, ga salah sih. Meski aneh.

Usai memberikan piza kepada ibu tersebut yang entah itu keluarga atau siapa, saya pun pamit. Tak lupa, mengucapkan terima kasih atas tip dari customer yang sangat besar dan minta maaf atas insiden itu.

Di jalan, saya benar-benar ga konsentrasi. Saya langsung non aktifkan aplikasi.

Cari tempat neduh di emperan ruko kosong. Nyender sejenak untuk menenangkan pikiran.

Saya merekonstruksi percakapan dengan customer tadi. Masih mikir apa yang salah.

Hanya, salahnya dimana? Hingga tegukan terakhir kopi hitam, saya masih belum tahu apa kesalahan menaruh piza di belakang jok motor.

Saya pun bergegas untuk cari orderan lagi. Bagaimana pun, hidup harus terus berjalan.

Sempat khawatir jika customer kasih rating buruk. Misal, bintang satu akibat pelayanan ojol kurang memuaskan.

Bahkan, laporan langsung ke aplikator. Ini bisa jadi preseden buruk dalam karier saya sebagai ojol.

Namun, saya kuatkan hati. Ga mungkin juga pihak aplikator menelan mentah-mentah laporan customer.

Secara, saya bukan merusak atau menggelapkan makanan. Melainkan, sebatas menaruhnya di jok belakang yang memang sudah lumrah dilakukan ojol mana pun.

Beruntung, hingga beberapa purnama berselang sejak orderan tersebut, tidak terjadi apa-apa pada akun di aplikasi ojol saya. Orderan normal.

Pun demikian saat mengantar pesanan piza ke setiap customer lainnya. Biasa saja.

Ga ada yang complain. Memang kalo bawa piza biasanya ditaruh di jok belakang.

Hanya, hingga kini, insiden itu masih membekas. Entah sampai kapan...

*       *       *

- Jakarta, 27 Januari 2025

*       *       *

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun