MEMASUKI peralihan musim 2024, hujan masih mengguyur di berbagai titik di Tanah Air. Termasuk Jakarta, yang dalam sebulan terakhir dilanda banjir.
Namun, yang terparah saya catat ada dua. Yaitu, Kamis (29/2) dan Jumat (22/3).
Kebetulan, dua hari tersebut tidak bisa saya lupakan.
Kenapa? Sebab, saya ikut terjebak banjir akibat genangan air di beberapa titik ibu kota.
Akhir bulan lalu, saya terjebak banjir di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Bahkan, harus meminta tiga penumpang untuk jalan kaki.
Sementara, mesin sepeda motor saya matikan dan knalpot ditutup plastik. Tujuannya, agar tidak mogok.
Alhasil, saya pun turut mendorong si kuda besi diikuti penumpang dari belakang.
Kapok dah.
Selama jadi ojek online (ojol) sejak 2019 silam, saya paling khawatir jika motor mogok akibat banjir. Sebab, servisnya memerlukan biaya besar.
Apalagi, motor saya jenis matic. Tanpa sela atau engkolan yang membuat saya hanya bisa pasrah jika mogok. Â
Sejak insiden akhir Februari itu, saya pun jadi lebih selektif dalam memilih order dengan tujuan. Demi menghindari area yang dilanda banjir.
Hanya, sebagai manusia, adakalanya saya lupa. Itu terjadi pada 22 Maret lalu.
* Â Â Â * Â Â Â *
GOOGLE Maps yang saya simak dengan teliti memancarkan warna merah. Pekat kehitaman, yang berarti macet parah di area Jakarta Barat, Utara, dan Kabupaten Tangerang.
Saat itu, saya baru dapat orderan di salah satu aplikasi dengan tujuan Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta. Btw, saya punya 5 aplikasi ojol dan kurir.
Saya cek tarif, lumayan. Selembar biru lebih dengan jarak kurang dari 20 km.
Namun, ada keraguan untuk mengambil orderan tersebut. Sebab, empat rutenya macet parah.
Bahkan, di beberapa grup WA ojol, kurir, dan taksi online, serempak. Mengabarkan, kawasan Barat ibu kota dikepung banjir.
Dari tempat penumpang di Kapuk ke bandara ada empat rute dengan selisih jarak berbeda.
1. Lewat Jalan Kapuk Kayu Besar-Kamal Raya-Benda Raya-Atang Sanjaya-Hussein Sastranegara-Terminal 3.
2. Lewat Jalan Kapuk Kayu Besar-Kamal Raya-Benda Raya-Atang Sanjaya-Hussein Sastranegara-Terminal 3.
3. Lewat Jalan Lingkar Luar Barat-Utama Raya-Utan Jati- Peta Barat-Hussein Sastranegara-Terminal 3.
4. Lewat Jalan Lingkar Luar Barat-Daan Mogot-Peta Selatan-Peta Barat-Hussein Sastranegara-Terminal 3.
Berdasarkan live traffic di Google Maps, saya ambil rute pertama meski tampak merah akibat macet. Pasalnya, lebih dekat ketimbang rute dua atau tiga dan bahkan empat yang harus memutar dan sama-sama macet.
Ya, namanya juga jam pulang kerja. Jumat pula, yang memang jadi puncak hari macet setiap pekannya.
Namun, ketika baru tiga-empat km, feeling saya merasa ada yang aneh. Sebab, arah Tangerang macet hingga ga gerak, sebaliknya arah Kapuk malah lenggang.
Ternyata, di depan suatu pabrik, banjir. Waduh...
Truk, mobil, dan motor, semua tertahan. Beberapa di antaranya pilih putar balik.
Saya tanya warga setempat yang bawa gerobak, katanya banjir hingga setengah meter. Gawat.
Pasti, motor ga bisa lewat. Saya pun inisiatif mutar balik.
Pada saat yang sama, penumpang mengatakan apakah bisa tiba di Bandara sebelum pukul 21.30 WIB. Sebab, pesawatnya berangkat pukul 22.00 WIB.
Belum harus jalan dari Terminal 3 dan boarding pass.
Saat itu, menunjukkan pukul 20.11 WIB. Jika normal, dari Kapuk ke Bandara estimasinya 30-45 menit.
Nah, ini banjir. Ga mungkin terkejar sekitar 1 jam 15 menit.
Penumpang itu pun juga panik. Sebab, dia harus segera terbang ke luar pulau karena ada tugas mendadak.
Pria berusia 40 tahunan ini mengaku tadinya naik taksi online dengan dua kawan. Namun, tol banjir hingga kendaraan terpaksa keluar di Jalan Kayu Besar hingga naik ojol.
Saya pun beralih ke rute kedua. Sekitar 1-2 km, situasi sama seperti rute pertama. Arah Tangerang macet, sebaliknya Kapuk lancar dengan beberapa motor lewat.
Termasuk, yang didorong dengan mematikan mesin.
Saya tanya, banjir sebetis. Alias, sekitar 30 cm. Bisa dilewati, tapi pelan-pelan dan knalpot harus ditutup agar tidak kemasukan air hingga mogok.
Saya pun mengikuti saran tersebut. Menutup knalpot agar aman dari banjir.
Tak lupa, saya izin ke penumpang agar dia jalan kaki. Sementara, saya mendorong motor.
Penumpang itu mengiyakan. Pelan-pelan kami menyusuri jalan yang tergenang bersama beberapa pengendara lain.
Situasi benar-benar mencekam. Sebab, sepanjang jalan gelap akibat listrik padam.
Saya yang awam daerah tersebut pun deg-degan. Takutnya ada lobang atau binatang.
Kekhawatiran saya terbukti. Saat itu ada truk yang melintas hingga menimbulkan riak gelombang.
Meski truk itu jalannya pelan, tapi efek riak airnya membuat stang motor goyang. Nyaris saja saya tersungkur.
Ga bisa dibayangkan jika gagal menahannya, saya dan motor harus terbalik. Apalagi, situasi gelap banget.
Namun, yang lebih mendebarkan lagi saat mendengar bunyi byur dari arah jam 11. Ternyata, penumpang kecebur got!.
Ampun...
Saya mau menolong tapi jalanan ga rata. Motor pun sulit distandar miring atau tengah.
Beruntung, penumpang langsung bangkit. Meski, pakaiannya basah kuyup.
Termasuk, tas ransel di punggung dan bungkusan plastik basah.
Astaghfirullah...
Sumpah, ga tega banget liatnya.
Apalagi pas tahu ranselnya itu berisi laptop, hp, gps, dan perangkat lain. Waduh...
...
* Â Â Â * Â Â Â *
SINGKAT cerita, kami bisa melewati banjir tersebut. Istirahat sejenak di ruko pinggir jalan dengan penerangan temaram tapi cukup aman karena dekat lokasi penduduk.
Penumpang langsung mengecek isi ransel. Alhamdulillah, aman.
Semua bisa berfungsi. Termasuk, hp yang langsung digunakan untuk menelepon koleganya.
Syukurlah...
Saya pun lega. Apalagi, pas tahu laptopnya ga kebasahan karena tertutup tas yang kedap air.
...
Usai seperminuman teh, kami pun tiba di Terminal 3 dengan waktu menunjukkan pukul 21.20 WIB. Dengan selamat dan tak kurang apa pun.
Hanya basah saja. Celana panjang saya hingga sepaha masih belum kering akibat menerobos banjir.
Sementara, penumpang justru basah kuyup. Saya pun jadi ga enak.
Namun, dia memaklumi. Yang penting, katanya sudah tiba di bandara tepat waktu.
Sebelum pamit, tak lupa saya kembali minta maaf atas insiden kecebur itu. Meski, bukan kesalahan langsung dari saya terkait force majeur.
Namun, sebagai ojol yang bergerak di bidang jasa, wajar jika saya harus minta maaf. Penumpang itu menolak.
Menurutnya, itu murni kesalahannya akibat jalanan gelap hingga tidak melihat selokan. Yang terpenting, katanya lagi, dia sudah tiba tepat waktu untuk mengejar pesawat.
Agar bisa terbang ke luar pulau demi tugas. Sebab, jika terlambat, tiketnya hangus dan harus beli baru dengan jadwal siang.
Penumpang itu pun berterima kasih sambil memberi tip yang tentu saya tolak. Bukan maksud nolak rezeki, tapi ga enak aja bikin orang kecebur got.
Namun, usai menyerahkan helm, dia menyelipkan selembar merah ke dashboard motor. Tak lama, langsung berlalu dengan cepat.
Saya panggil untuk mengembalikannya, tapi dia bergeming. Ya sudah, saya pun teriak untuk mengucapkan terima kasih.
Lumayan, tipnya dua kali ongkos ojol. Rezeki menerobos banjir.
* Â Â Â * Â Â Â *
SAYA beristirahat sejenak di Parimeter Utara sambil ngemil bala-bala dan kerupuk mie yang sudah jadi bubuk akibat ketindihan di jok motor. Untung sambal kacangnya masih utuh dan saya cium ga basi.
Langit saat itu masih temaram.
Saya pun menyalakan seluruh aplikasi ojol dan kurir. Berharap ada orderan ke Jakarta.
Dari atas kepala, tampak hilir-mudik pesawat. Sementara, jalanan dari dan menuju bandara cukup ramai.
Tak lama, bunyi orderan di salah satu aplikasi. Hmm...
Ongkosnya lumayan. Jaraknya pun oke.
Hanya, setelah mengecek lebih teliti, ada yang janggal.
Saya seperti mencium bau amis.
...
* Â Â Â * Â Â Â *
-Â Jakarta, 26 Maret 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H