"Ha ha ha... Sotoy luh. Udah deh, apaan?"
"Lha, namanya kado ultah kan buat surprise. Ini kamu kok maksa sih?"
Tanpa sengaja aku memberi jawaban yang membuat merah Alena di hadapan pengunjung kantin lainnya. Semenjak itu, sore harinya dia tidak mau bertegur sapa lagi. Bahkan, ketika kami samprokan di ruang meeting pun, Alena tetap tidak melirikku. Padahal, selama ini, justru dia yang selalu menggoda ketika diriku sedang melakukan presentasi atau menerangkan soal pekerjaan di hadapan karyawan lainnya.
Ya, berawal dari ketidak sengajaan perkataan diriku itu mungkin telah membuat Alena tersinggung. Atau, bahkan kecewa, karena disebut "memaksa" di depan umum. Tapi, aku pribadi tidak terlalu mempermasalahkannya. Itu mengingat selama ini aku menganggapnya hanya sebatas kawan kerja. Meski, beredar kabar dari rekan-rekan lainnya bahwa Alena ada hati kepadaku. Dan, harus kuakui di dalam relung hati yang paling dalam bahwa aku pun sejujurnya menyukainya.
Bagi kebanyakan orang, Alena merupakan gadis yang perfect. Dia merupakan putri dari salah satu pengusaha terkaya di negeri ini. Alasan dia bekerja di perusahaan yang sama denganku dan enggan menjadi ahli waris keluarganya, karena Alena memang ingin mandiri. Alias tidak mau bergantung kepada kekayaan keluarganya yang mungkin tujuh turunan tidak akan habis.
Apalagi, sebagai gadis berdarah keturunan, dia sangat supel. Mudah bergaul dengan siapa saja. Dari mulai narasumber kelas kakap seperti pengusaha atau sekelas menteri, hingga office boy di kantor. Fakta itu yang membuat Alena dikagumi banyak pihak selain parasnya yang memang sangat memesona dengan alis mata yang lentik disertai lesung pipinya yang indah.
* Â Â Â * *
Lima hari berlalu setelah insiden di kantin. Kini, diriku dan dirinya bagai magnet yang saling bertolak. Namun, sebagai manusia yang memiliki liangsim. Bagaimanapun, aku tidak bisa menyembunyikan rasa ingin tahu terhadap Alena. Sebab, biasanya kami nyaris selalu bersama baik itu saat liputan, bertemu narasumber, hingga presentasi untuk event. Tapi, kini semua sudah lenyap.
Jangankan berbincang, saat bertemu pun Alena seperti membuang muka. Aku pernah mencoba untuk membuka komunikasi, namun dia hanya melengos begitu saja. Hingga ketika sedang bersantai di basement kantor, aku melihat pemandangan yang tak lazim. Saat itu, Alena diantar oleh seorang pria!
Sebagai orang yang sudah mengenalnya dalam empat tahun terakhir, jelas aku tahu siapa Alena. Dia anak tunggal yang tidak mau merepotkan siapa saja -kecuali diriku dulu- untuk melakukan sesuatu. Biasanya, Alena pergi ke kantor dengan menumpang busway. Dan, pria yang kulihat dari kejauhan itu bukanlah tukang ojek. Lantaran, Alena sempat melambaikan tangan dengan mesranya ketika hendak masuk ke kantor. Dug!!!
Lupakan saja diriku
Bila itu bisa membuatmu
Kembali bersinar dan berpijar
Seperti dulu kala