Mohon tunggu...
Choirul Huda
Choirul Huda Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasianer sejak 2010

Pencinta wayang, Juventini, Blogger. @roelly87 (www.roelly87.com)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Memanggilnya, Ndut...

24 Oktober 2014   13:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:54 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Banyak orang mengatakan, hidup dimulai pada usia 40 tahun. Khususnya bagi pria, ketika merasa sudah cukup mapan dalam materi dan harus menjalani "puber" kedua. Tapi, usiaku belum mencapainya. Sebab, aku baru lewat empat windu. Ya, usia yang menurutku sudah hampir cukup matang. Baik dalam hal bekerja atau mengurus rumah tangga.

Namun, benar kata pepatah, semakin tinggi pohon, angin yang bertiup pun kian kencang. Itu terjadi pada diriku. Empat tahun berselang sejak kejadian yang memilukan itu. Aku telah sadar dan kembali bersama Lenny. Kini, rumah kami semakin ramai sejak kelahiran adik Putri bernama Rumi yang kini sedang imut-imutnya.

Memiliki rumah yang meski tidak disebut mewah tapi lumayan karena berada di kawasan strategis di pusat kota. Lalu,dihuni oleh istri yang cantik dan putra-putri yang imut dan manis. Keluarga, tetangga, rekan kerja, teman sepermainan, menyebut keluarga kami sangat ideal. Bahkan, oleh beberapa orang tua, rumah tangga kami dijadikan barometer keluarga harmonis.

“Tuh lihat, mas Wisnu dan mbak Lenny. Mereka akur terus ga pernah ribut. Kalian contoh dong seperti mereka,” ujar bu Darwis, ketua RT kepada anak dan menantunya yang sepertinya habis bertengkar. Kebetulan, saat itu aku sedang bertandang ke rumahnya untuk mengurus izin ke kelurahan. Dengan santainya yang menurut orang merupakan perkataan bijak, aku pun turut mengomentari sambil tertawa kecil.

“Ah, ga juga bu Dar. Kami sering berantem kok,” tuturku yang dengan melirik Lenny yang mengangguk sambil tersenyum. “Cuma, ya mungkin ga ketahuan tetangga. Lagipula, kita bisa ambil sisi positifnya dari pertengkaran suami istri. Sebab, setelah ribut yang ada malah timbul kangen.”

Bu Darwis hanya bisa menghela nafas mendengarkan penuturanku. Saat melangkah beberapa meter dari rumahnya, terdengar beliau berbicara kepada anak dan menantunya, “Ibu berharap kalian seperti mas Wis sama mbak Len. Sudah ramah dan sopan, mereka tidak sombong.”

*      *      *

Tombak yang terang mudah dielak. Anak panah gelap sukar diterka.

Mungkin, adagium lawas itu tepat menggambarkan kehidupan rumah tangga kami. Mereka, tetangga tahunya kami aman tenteram. Padahal, sudah beberapa bulan terakhir kami dilanda “perang dingin”. Khusunya aku yang sering memarahi Len meski dengan kasus sepele. Entah itu mengenai rasa masakan yang terlalu manis, setrika pakaian yang tidak rapi, atau kopi yang disediakan airnya kurang panas.

Hebatnya, Len tidak pernah membantah perkataanku. Dengan sabar, dia tetap melayani keinginanku. Meski, di tengah kesibukannya mengurusi Putri dan Rumi.Kadang, dalam hatiku berpikir, istri yang kudapatkan dengan cara jatuh bangun ini merupakan sosok yang ideal. Len tak pantas menjadi lampiasan amarahku setiap hari. Maklum, biar bagaimanapun, sebagai manusia aku masih memiliki liangsim.

Namun, hati nuraniku seperti sudah beku. Semakin ke sini, keadaan di rumah malah tambah ruwet. Padahal, dengan setia Len tetap menemaniku untuk minum kopi sambil membaca surat kabar di beranda. Tapi, entahlah. Menurutku itu hambar. Apa yang dilakukan wanita yang dulu kuperebutkan dengan tiga pria mapan itu sepertinya selalu salah.

Berbeda dengan Ratih, kawan di dunia maya yang semakin hari kian nyata. Sekilas, sosoknya mengingatkanku pada Rere. Rere? Oh tidak. Aku sudah mengubur kenangan manis dan pahit bersamanya. Kini, dia telah hijrah ke Kanada pascaruntuhnya “kerajaan” bisnis keluarganya sejak pesta demokrasi lalu yang termasuk salah satu taipan tersohor di negeri ini .

Menurutku, Ratih memang tidak semolek Rere yang sempat memikatku. Namun, Ratih memiliki kelebihan yang tak hanya tidak dipunyai Rere, bahkan Len. Yaitu, sikapnya yang sangat simpatik. Tutur bicaranya absah seperti wanita Solo, pelan tapi terdengar jelas.

Tatapan matanya tajam yang sesuai dengan tindakannya, sigap. Selain itu, yang membuatku terpesona adalah senyumnya yang khas dengan dekik di pipi sebelah kirinya. Bagiku, senyum Ratih seolah seperti ingin memamerkan lesung pipinya yang menawan. Wajar, jika dia diberi nama Dewi Kamaratih oleh orangtuanya merujuk dewi tercantik di dunia wayang.

Sejak pertama kali bertemu di jejaring sosial karena dikenalkan rekan sejawat demi mengurus pembagian saham kepada dewan direksi di tempatku bekerja. Setelah itu, aku kian kesengsem dengan Ratih. Apalagi, gayung pun bersambut. Dua bulan setelah perkenalan di jejaring sosial yang dilanjutkan dengan berbagai pertemuan yang rutin, aku mulai mengutarakan perasaanku.

Saat itu Ratih sempat menolak karena mengetahui statusku sebagai kepala rumah tangga. Sementara, dia masih single karena hingga kini belum menemukan sosok yang tepat. Aku bisa memakluminya, sebab Ratih merupakan pekerja keras. Impiannya sangat mulia, menikah dengan pria yang dicintainya tanpa harus merepotkan orangtua dan keluarganya di Surakarta untuk membiayai resepsi.

Namun, dengan sabar aku terus mendekatinya. Hingga, akhirnya kami berinisiatif bertemu di sebuah vila…

*      *      *

Istri seperti pakaian. Sahabat bagaikan kaki tangan. Pakain robek bisa dijahit. Kaki tangan putus tidak bisa disambung.

Peribahasa itu menguatkanku untuk rencana menceraikan Len setelah empat tahun sebelumnya batal.Aku memang belum membicarakannya langsung. Tapi, aku mengetahuinya, secara tersirat Len pun sudah paham. Hanya, demi Putri dan Rumi, dia enggan menanyakannya langsung kepadaku.

Toh, setiap sepulang kerja, termasuk malam ini, aku tetap menemuinya untuk menonton tv bersama anak-anak. Tak jarang, aku bergantian dengannya mengajak belajar Putri atau bercanda dengan Rumi yang kini sudah lancar berjalan.

Ketika kedua anak kami tidur, aku pun beringsut menuju beranda rumah. Ditemani temaram lampu jalan, aku membaca surat kabar pagi yang terkesan basi di era internet ini, tapi bagiku lebih nyaman ketimbang membacanya melalui komputer. Lagi-lagi, Len dengan setia menyuguhkan kopi yang kalau boleh jujur, meski rasanya enak, tapi hambar. Bukan karena kopi, melainkan akibat aku yang sudah tidak menujuinya lagi.

Faktor Ratih? Iya. Kali ini aku seperti mengalami déjà vu. Jika empat tahun lalu aku yang terus dipaksa Rere untuk segera menikah, kali ini malah sebaliknya. Rasanya, aku ingin segera menjadi pangeran dari “Putri Salju” yang ketika bertemu tidak hanya dibatasi hingga pukul 12 malam. Melainkan sehari semalam dan seterusnya bersama Ratih secara sah dan tidak sembunyi-sembunyi seperti saat ini.

Malam semakin larut. Sudah dua jam Len memintaku untuk istirahat yang sama sekali tidak kugubris.Akhirnya, dia minta izin untuk segera tidur karena subuh harus bangun untuk menyiapkan susu Rumi dan mengantarkan sekolah Putri.Kentungan yang dipukul petugas ronda di depan kompleks perumahanku berbunyi dua kali.

Aku beranjak menuju kamar. Sebelum menyenderkan tubuh ke ranjang yang dalam beberapa bulan ini terasa dingin, sekilas aku mengamati Len. Kini, tubuhnya kian gemuk. Dulu, aku sering bercanda dengan memanggil “ndut” kepada Len yang menandakan panggilan sayang. Tapi, semua berubah ketika aku mengenal Ratih. Sepertinya, saran seorang ibu yang kutemui di Taman Menteng mengenai kesetiaan itu kian tak berbekas.

Aku menyaksikan sendiri tubuh Len yang kian gendut. Dalam hatiku sempat berpikr, Len seperti itu bukan karena doyan makan apalagi ngemil. Melainkan karena rutinitasnya sehari-hari mengurus buah hati kami. Aku melihat, daster yang dikenakannya mirip dengan yang dipakai asisten rumah tangga kami. Aneh, padahal sebagian besar gajiku kuberikan untuknya. Tapi, sejak kelahiran Rumi, Len memang berkomitmen untuk hidup hemat dengan ditabung. Tujuannya, agar kami bisa menyekolahkan buah hati kami ke jenjang yang lebih baik.

Aku penasaran untuk melongok lemari pakaian kami yang membuatku terbelalak. Karena, pakaian Len tidak pernah berubah sejak dua tahun silam kami beli menjelang Idul Fitri. Aku tidak menemukan gaun mahal dan sebagainya yang dulu kerap dikenakannya.Begitu juga di rak make-up yang tidak ada lagi parfum bermerk bvlgari dan sebagainya. Bedaknya hanya bedak bayi yang membuat wajahnya tidak lagi cerah.

Aku tahu, itu bukan karena dia tidak lagi memakai make-up. Melainkan karena terlampau berat memikirkanku. Keringat dingin mulai bercucuran dari dahiku. Seketika, ingatanku terlintas pada dirinya empat tahun silam yang kurus hingga urat berrna hijau tampak saat aku menyatakan hendak cerai. Kini, malah berbeda. Len terlihat gendut yang tidak wajar yang sempat terlontar aku memanggilnya gendut dengan kasar. Secara tidak langsung, perubahan itu pula yang malah mendekatkanku dengan Ratih.

Tapi, siapa Ratih. Aku mengenalnya belum lama. Sementara, Len adalah orang terdekatku selain orangtua dan keluarga. Len merupakan sosok yang selalu mendukung jika aku mengalami kegagalan dan jatuh bangun dalam berbisnis. Sudah beberapa bulan ini aku menyia-nyiakan pengorbanannya.

Tanpa terasa, di pipiku mengalir cairan lembut. Aku tahu, itu bukan keringat dari dahi. Melainkan air mataku yang menetes murni karena menyaksikan perubahan Len. Seketika, aku teringat pengorbanan seorang nenek terhadap suaminya yang menderita glukoma hingga belasan tahun. Nenek itu sanggup berbakti tanpa mengenal lelah. Masa’ aku yang sehat dan masih muda ini tidak bisa membahagiakan Len, istri sekaligus ibu dari anak-anakku.

Sayup-sayup terdengar ayat-ayat suci dari Putri di kamarnya. Ternyata, anak perempuanku itu sedang berdoa seusai salat subuh demi kebahagiaan kedua orangtuanya, yaitu aku dan Len.Tak kuasa aku berbalik menuju kasur dan mengecup kening istriku. Ingin rasanya cepat-cepat pagi agar mengantarkan Putri sekolah bersama Len dan ditemani Rumi. Aku ingin kembali menjadi ayah sekaligus kepala rumah tangga yang baik. Mungkin, jika aku melakukannya secara konsisten, hidup kami akan bahagia.

Maafkan aku, Ratih.

*      *      *

Cerpen sebelumnya:
- Permintaan Terakhir

*      *      *

Cerpen lainnya:

- Gadis dari Perbatasan
- Yang Liu
- Nurani yang Tak Terbeli
- Karma
Madesu
Maaf Cintaku
Ketika Dunia Memusuhiku
Hikayat Sepak Bola
Ketika Hati Nurani Sang Hakim Terketuk
Helena

*      *      *

- Cikini, 24 Oktober 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun