Berbeda dengan Ratih, kawan di dunia maya yang semakin hari kian nyata. Sekilas, sosoknya mengingatkanku pada Rere. Rere? Oh tidak. Aku sudah mengubur kenangan manis dan pahit bersamanya. Kini, dia telah hijrah ke Kanada pascaruntuhnya “kerajaan” bisnis keluarganya sejak pesta demokrasi lalu yang termasuk salah satu taipan tersohor di negeri ini .
Menurutku, Ratih memang tidak semolek Rere yang sempat memikatku. Namun, Ratih memiliki kelebihan yang tak hanya tidak dipunyai Rere, bahkan Len. Yaitu, sikapnya yang sangat simpatik. Tutur bicaranya absah seperti wanita Solo, pelan tapi terdengar jelas.
Tatapan matanya tajam yang sesuai dengan tindakannya, sigap. Selain itu, yang membuatku terpesona adalah senyumnya yang khas dengan dekik di pipi sebelah kirinya. Bagiku, senyum Ratih seolah seperti ingin memamerkan lesung pipinya yang menawan. Wajar, jika dia diberi nama Dewi Kamaratih oleh orangtuanya merujuk dewi tercantik di dunia wayang.
Sejak pertama kali bertemu di jejaring sosial karena dikenalkan rekan sejawat demi mengurus pembagian saham kepada dewan direksi di tempatku bekerja. Setelah itu, aku kian kesengsem dengan Ratih. Apalagi, gayung pun bersambut. Dua bulan setelah perkenalan di jejaring sosial yang dilanjutkan dengan berbagai pertemuan yang rutin, aku mulai mengutarakan perasaanku.
Saat itu Ratih sempat menolak karena mengetahui statusku sebagai kepala rumah tangga. Sementara, dia masih single karena hingga kini belum menemukan sosok yang tepat. Aku bisa memakluminya, sebab Ratih merupakan pekerja keras. Impiannya sangat mulia, menikah dengan pria yang dicintainya tanpa harus merepotkan orangtua dan keluarganya di Surakarta untuk membiayai resepsi.
Namun, dengan sabar aku terus mendekatinya. Hingga, akhirnya kami berinisiatif bertemu di sebuah vila…
* * *
Istri seperti pakaian. Sahabat bagaikan kaki tangan. Pakain robek bisa dijahit. Kaki tangan putus tidak bisa disambung.
Peribahasa itu menguatkanku untuk rencana menceraikan Len setelah empat tahun sebelumnya batal.Aku memang belum membicarakannya langsung. Tapi, aku mengetahuinya, secara tersirat Len pun sudah paham. Hanya, demi Putri dan Rumi, dia enggan menanyakannya langsung kepadaku.
Toh, setiap sepulang kerja, termasuk malam ini, aku tetap menemuinya untuk menonton tv bersama anak-anak. Tak jarang, aku bergantian dengannya mengajak belajar Putri atau bercanda dengan Rumi yang kini sudah lancar berjalan.
Ketika kedua anak kami tidur, aku pun beringsut menuju beranda rumah. Ditemani temaram lampu jalan, aku membaca surat kabar pagi yang terkesan basi di era internet ini, tapi bagiku lebih nyaman ketimbang membacanya melalui komputer. Lagi-lagi, Len dengan setia menyuguhkan kopi yang kalau boleh jujur, meski rasanya enak, tapi hambar. Bukan karena kopi, melainkan akibat aku yang sudah tidak menujuinya lagi.