Faktor Ratih? Iya. Kali ini aku seperti mengalami déjà vu. Jika empat tahun lalu aku yang terus dipaksa Rere untuk segera menikah, kali ini malah sebaliknya. Rasanya, aku ingin segera menjadi pangeran dari “Putri Salju” yang ketika bertemu tidak hanya dibatasi hingga pukul 12 malam. Melainkan sehari semalam dan seterusnya bersama Ratih secara sah dan tidak sembunyi-sembunyi seperti saat ini.
Malam semakin larut. Sudah dua jam Len memintaku untuk istirahat yang sama sekali tidak kugubris.Akhirnya, dia minta izin untuk segera tidur karena subuh harus bangun untuk menyiapkan susu Rumi dan mengantarkan sekolah Putri.Kentungan yang dipukul petugas ronda di depan kompleks perumahanku berbunyi dua kali.
Aku beranjak menuju kamar. Sebelum menyenderkan tubuh ke ranjang yang dalam beberapa bulan ini terasa dingin, sekilas aku mengamati Len. Kini, tubuhnya kian gemuk. Dulu, aku sering bercanda dengan memanggil “ndut” kepada Len yang menandakan panggilan sayang. Tapi, semua berubah ketika aku mengenal Ratih. Sepertinya, saran seorang ibu yang kutemui di Taman Menteng mengenai kesetiaan itu kian tak berbekas.
Aku menyaksikan sendiri tubuh Len yang kian gendut. Dalam hatiku sempat berpikr, Len seperti itu bukan karena doyan makan apalagi ngemil. Melainkan karena rutinitasnya sehari-hari mengurus buah hati kami. Aku melihat, daster yang dikenakannya mirip dengan yang dipakai asisten rumah tangga kami. Aneh, padahal sebagian besar gajiku kuberikan untuknya. Tapi, sejak kelahiran Rumi, Len memang berkomitmen untuk hidup hemat dengan ditabung. Tujuannya, agar kami bisa menyekolahkan buah hati kami ke jenjang yang lebih baik.
Aku penasaran untuk melongok lemari pakaian kami yang membuatku terbelalak. Karena, pakaian Len tidak pernah berubah sejak dua tahun silam kami beli menjelang Idul Fitri. Aku tidak menemukan gaun mahal dan sebagainya yang dulu kerap dikenakannya.Begitu juga di rak make-up yang tidak ada lagi parfum bermerk bvlgari dan sebagainya. Bedaknya hanya bedak bayi yang membuat wajahnya tidak lagi cerah.
Aku tahu, itu bukan karena dia tidak lagi memakai make-up. Melainkan karena terlampau berat memikirkanku. Keringat dingin mulai bercucuran dari dahiku. Seketika, ingatanku terlintas pada dirinya empat tahun silam yang kurus hingga urat berrna hijau tampak saat aku menyatakan hendak cerai. Kini, malah berbeda. Len terlihat gendut yang tidak wajar yang sempat terlontar aku memanggilnya gendut dengan kasar. Secara tidak langsung, perubahan itu pula yang malah mendekatkanku dengan Ratih.
Tapi, siapa Ratih. Aku mengenalnya belum lama. Sementara, Len adalah orang terdekatku selain orangtua dan keluarga. Len merupakan sosok yang selalu mendukung jika aku mengalami kegagalan dan jatuh bangun dalam berbisnis. Sudah beberapa bulan ini aku menyia-nyiakan pengorbanannya.
Tanpa terasa, di pipiku mengalir cairan lembut. Aku tahu, itu bukan keringat dari dahi. Melainkan air mataku yang menetes murni karena menyaksikan perubahan Len. Seketika, aku teringat pengorbanan seorang nenek terhadap suaminya yang menderita glukoma hingga belasan tahun. Nenek itu sanggup berbakti tanpa mengenal lelah. Masa’ aku yang sehat dan masih muda ini tidak bisa membahagiakan Len, istri sekaligus ibu dari anak-anakku.
Sayup-sayup terdengar ayat-ayat suci dari Putri di kamarnya. Ternyata, anak perempuanku itu sedang berdoa seusai salat subuh demi kebahagiaan kedua orangtuanya, yaitu aku dan Len.Tak kuasa aku berbalik menuju kasur dan mengecup kening istriku. Ingin rasanya cepat-cepat pagi agar mengantarkan Putri sekolah bersama Len dan ditemani Rumi. Aku ingin kembali menjadi ayah sekaligus kepala rumah tangga yang baik. Mungkin, jika aku melakukannya secara konsisten, hidup kami akan bahagia.
Maafkan aku, Ratih.
* * *