A. Jean-Jacques Rousseau
1. Latar Belakang Pemikiran
Rousseau merupakan salah seorang filsuf yang mempengaruhi pemikiran-pemikiran Immanuele Kant, terutama pemikirannya tentang moral yang dimana poin terpentingnya adalah pada konsepsinya tentang kehendak baik sebagai satu-satunya yang baik. Kehendak baik itulah yang disebut oleh Kant sebagai imperative kategoris.
Jean Jacques Rousseau lahir di Geneva pada tanggal 28 Juni 1712. Ia adalah putra dari seorang pembuat jam. Pada tahun 1725, ia sempat bekerja selama lima tahun pada seorang pengukir, namun beberapa saat setelah itu dia berhenti. Semasa hidupnya, ia juga dikenal sebagai seorang katolik, dan di tahun 1728, ia bergabung dengan sebuah gereja di kota Turin. Dari hal itulah ia mendapatkan pengalaman yang sangat berharga dalam keimanan katoliknya. (Copleston,1968:59)
Pada tahun 1756 sampai dengan 1762, ia menghabiskan waktu pensiunnya di sebuah perumahan yang terletak di Montmorency. Inilah periode yang paling produktif bagi Rosseau dalam menghasilkan karya-karya monumental. Di tahun 1758, ia menulis sebuah karya yang berjudul Lettre Alembert sur les spectacles. Karya ini ia tulis merujuk pada sebuah artikel di Geneva, dimana artikel tersebut berjudul Encyclopaedia, sebuah artikel yang berisi kritikan d'Alembert terhadap larangan pertunjukan teater di Geneva. Pada tahun 1761, ia juga mempublikasikan novelnya yang berjudul La Nouvelle Hlose. Puncak dari tahun-tahun produktifnya yaitu pada tahun 1762, dimana pada tahun tersebut ia merilis karyanya tentang kontrak sosial (Du contrat social) dan karya lainnya yang membahas tentang pendidikan yang berjudul mile. Selain dua karya besar tersebut, sebenarnya ada sebuah karya lain yang ia rangkum dalam Lettres morales, namun karya tersebut dapat dipublikasikan pada tahun 1861. Karena karya Du contrat social dan mile, Rosseau harus mengungsi ke Switzerland. (Copleston,1968:60-61)
Pemikiran Rosseau dipicu oleh reaksinya terhadap realitas sosial di sekitarnya. Ia benar-benar serius dalam membangun sebuah "retorika serangan" yang ditujukan pada masyarakat yang disebut dengan istilah civilized society. Rousseau menaruh perhatian khusus pada aspek artifisial dalam kehidupan sosial masyarakat. Semenjak masyarakat (society) sebagai sebuah institusi dibentuk, human nature secara fundamental tidak dapat terimplementasi secara maksimal. Rosseau menjelaskan bahwa pada saat itu atau mungkin masih berlaku sampai sekarang, bahwa kita tidak lagi berani untuk menunjukkan siapa sebenarnya kita, akan tetapi malah berbohong di bawah kendali yang abadi. Perilaku setiap individu di dalam masyarakat menjadi sama, sejauh ada motif-motif powerful yang mengintervensi, dan sejauh ada motif-motif kuasa yang mengintervensi. (Copleston, 1968:62)
2. Konsepsinya tentang Keadaan Alamiah Manusia
Manusia alamiah, yaitu manusia yang dilahirkan dari kandungan alam, adalah manusia yang baik, yang senantiasa berbuat sesuai dengan asas-asas yang tetap, yang tidak berubah. Tetapi manusia seperti yang telah dihasilkan oleh hidup bermasyarakat adalah jahat. Oleh karena itu, Rousseau tidak setuju dengan Hobbes yang mengajarkan bahwa perang adalah gambaran riil dari keadaan alamiah manusia. Oleh Rousseau dibantah karena menurutnya keadaan perang itu bukanlah keadaan alamiah manusia, melainkan adalah hasil dari kehidupan bermasyarakat. Di dalam keadaan alamiah, manusia hidup atas dasar dirinya sendiri, kesepian, sendirian di tengah-tengah hutan-hutan yang lebat, serta sadar betul dengan otonominya sebagai manusia yang memiliki kehendak bebas, terlabih dalam menentukan arah hidup dalam trek kebaikan. (Hadiwijono, 1980:59-60)
Kemudian berakhirlah keadaan bahagia itu. Hal ini disebabkan oleh keadaan-keadaan yang bersifat kebetulan saja, yaitu tahun yang gersang, musim dingin yang berlebihan, musim panas yang terlalu kering, dan lain-lainnya. Semuanya itu memaksa orang untuk saling berhubungan dan bekerja sama untuk dapat bertahan hidup. Dalam keadaan demikian mereka merasa memerlukan adanya kerjasama yang tetap. Namun, keadaan baru ini menimbulkan persoalan baru, karena akan menimbulkan persaingan, percekcokan, dan lain-lain. Oleh karena itu, perlu menciptakan aturan-aturan guna melindungi milik pribadi. Maka pada saat ini timbul hak milik pribadi. (Hadiwijono, 1980:60)
3. Kritiknya Terhadap Konstruksi Sosial dalam Masyarakat yang Bertentangan dengan Keadaan Alamiah
Rousseau menunjuk kepada nilai batin dan perasaan serta meninggikan arti kepribadian manusia. Sebenarnya sukar sekali untuk menilai teori-teori yang dikemukakan oleh Rousseau, sebab ajarannya tidak tampak sebagai suatu totalitas, ada banyak hal yang saling bertentangan. Menurut Rousseau, kebudayaan bertentangan dengan alam, sebab kebudayaan merusak manusia. (Yang dimaksud adalah kebudayaan yang berlebih-lebihan tanpa terkendali dan serba semu, seperti yang tampak di Perancis pada abad ke-18 itu). Manusia alamiah yang masih "biadab" lebih tinggi martabatnya dibanding dengan orang Perancis yang "beradab". Bangsa Skit dan bangsa Jerman kuno lebih baik daripada bangsa Eropa sekarang. Kesusilaan Sparta lebih tinggi daripada Athena, dsb. Banyaknya kesengsaraan yang diderita orang waktu itu dipandang sebagai hukuman sorga atas umat manusia, karena usaha mereka untuk membebaskan diri dari keadaan alamiah yang bahagia itu. (Hadiwijono, 1980:59)
Dalam menyelesaikan permasalahan yang dipermasalahkannya, Rousseau menghadirkan sebuah teori kontrak sosial yang berbeda dengan teori kontrak sosial Hobbes dan Locke. Rousseau tidka ingin melacak sosialitas berdasarkan perintah atau paksaan tertentu, karena hal itu sangat tidak relevan dengan kondisi alamiah manusia beserta hak-hak alamiahnya. Paksaan merupakan kekuasaan fisik (physical power). Hal ini membuat Copleston sebagai pembaca Hegel agak sedikit kesusahan dalam melacak efek moral di dalam teori kontrak sosial yang didasarkan kepada sebuah pola piker bahwa manusia itu harus dikekang dengan serangkaian aturan-aturan yang memaksa. Kehadiran aturan-aturan yang memaksa dan mengekang di bawah otoritas dalam masyarakat sejatinya membuat keadaan alamiah manusia tidak dapat termanifestasi secara maksimal.
Di dalam bukunya "Contract Social" cita-citanya diuraikan lebih lanjut. Rousseau bukan mengingatkan supaya masyarakat yang telah ada ditiadakan, tetapi ia menerima bahwa hidup bermasyarakat adalah perlu sekali. Sekarang orang tidak mungkin bisa hidup tanpa pertolongan dari orang lain. Akan tetapi keuntungan-keuntungan yang terdapat dalam keadaan alamiah itu harus sedapat mungkin tetap dipelihara. Harus ditemukan suatu bentuk persekutuan di mana kebebasan  dan kesamaan, yang dinikmati orang pada zaman alamiah, tetap dipertahankan, sejauh kehidupan bermasyarakat memungkinkannya. Dalam keadaan alamiah orang hidup dalam kebebasan, karena hidup orang hanya tergantung kepada barang-barang, bukan kepada sesamanya. Kebebasan itu harus diambil alih dengan cara demikian, bahwa hidup perorangan hanya digantungkan kepada undang-undang semata-mata, sebagai pengungkapan asali dari "kehendak umum". Untuk itu hubungan, yang menjadikan seseorang tergantung dengan orang lain, haruslah ditiadakan. Pengertian "kehendak umum" harus dibedakan dengan "kehendak semua orang". Yang dimaksud dengan "kehendak semua orang" ialah kehendak sebagai hasil keputusan suara terbanyak, yang belum tentu mencerminkan kehendak umum. Kehendak umum ditujukan kepada kepentingan umum, yang tidak dapat tersesat, karena senantiasa mengikuti hal-hal yang benar. Kehendak umum ini dapat menjadi kekuatan yang memaksa, jikalau terjadi karena suatu perjanjian, yaitu perjanjian kemasyarakatan (Contract Social). Hanya dengan demikian segala rintangan yang terdiri dari egoisme dan kepentingan sendiri dapat ditiadakan. (Hadiwijono, 1980:60-61)
1. Etika Deontologi Moral atau Etika Kewajiban Immanuel Kant
Sebagai pengantar dalam pembahasan etika, perlu diketahui tentang definisi akal budi menurut Immanuel Kant. Akal budi adalah kemampuan untuk mengatasi medan pancaindra, medan alam. Akal budi itu adalah murni apabila, atau karena, ia bekerja tanpa penentuan oleh unsur-unsur empiris dari medan pancaindra. Jadi, akal budi tidak bergantung pada pengalaman dan faktor-faktor empiris. (Suseno, 1997:142)
Oleh Franz Magnis Suseno dipertegas bahwa gaya berfilsafat Immanuel Kant adalah murni deduktif, tanpa memperhatikan unsur-unsur pengalaman empiris. Menurut Kant, prinsip-prinsip moralitas sama sekali tidak tergantung pada pengalaman. (Suseno, 1997:142)
Akal budi yang berhubungan dengan pengertian adalah akal budi teoretis, sedangkan yang berhubungan dengan tindakan adalah akal budi praktis. Oleh karena itu, Kant membedakan akal budi ke dalam dua kategori, yakni akal budi teoretis murni (yang dikritik dalam Kritik Akal Budi Murni) dan akal budi praktis murni (yang dikritik dalam Kritik Akal Budi Praktis). (Suseno, 1997:142)
Ada perbedaan besar antara dua akal budi murni yang diutarakan oleh Kant di atas. Kant menolak akal budi teoretis murni, karena menurut Kant tidak ada pengertian teoretis sah yang tidak berdasarkan pengertian indrawi. Sebaliknya, dalam tindakan hanyalah akal budi praktis murni. Jadi, Kant menyimpulkan bahwa akal budi yang tidak bersyarat atau bergantung pada  data-data empiris lah yang dapat menjadi rujukan dalam penemuan prinsip-prinsip moral. (Suseno, 1997: 142)
- Tentang Moralitas
Apa itu moralitas? Pertanyaan yang sangat menarik sekaligus sebagai pembuka dari pembahasan mengenai deontologi moral Immanuel Kant.
Moralitas menyangkut hal baik dan buruk, tetapi bukan sembarang baik dan buruk dalam pengertian awam, melainkan dalam pengertiannya Kant menyebutnya sebagai apa yang baik pada dirinya sendiri, yaitu yang baik tanpa pembatasan sama sekali. Kebaikan moral adalah yang baik dalam segala segi, tanpa adanya pembatasan sedikitpun. Maka, yang baik adalah baik secara mutlak. Itulah penjelasan awal Kant tentang moralitas.
Selanjutnya, untuk mencapai pengertian yang lebih mendalam mengenai moralitas, Kant memulai penyelidikannya dengan sebuah pernyataan tentang apa yang baik tanpa pembatasan sama sekali. Yang baik tanpa pembatasan sama sekali hanyalah satu, yakni "Kehendak Baik" atau Good Will. Sejauh seseorang berkehendak baik, maka ia baik, tanpa bembatasan. Kehendak baik itu selalu baik dan dalam kebaikannya tidak tergantung pada sesuatu yang berada di luarnya. (Suseno, 1997:143)
Lain halnya dengan ssemua yang baik. Berkat rohani, ciri perangai, sifat-sifat watak seseorang, dan semua hal-hal lahiriah tidaklah baik pada dirinya sendiri, melainkan ia akan bernilai baik hanya jika diabdikan kepada kehendak baik; kehendak yang menentukan apakah watak orang dipakai untuk tujuan yang baik atau buruk. (Suseno, 1997:143)
Lalu bagaimana kehendak baik menyatakan diri? Jawabannya adalah bahwa kehendak baik adalah kehendak yang mau melakukan "Kewajiban". Suatu pengada yang murni rohani (roh absolut), yang semata-mata ditentukan oleh akal budi, tidak memerlukan paham kewajiban. Ia dengan sendirinya akan bertindak sesuai dengan akal budi. Namun, karena manusia bukanlah roh murni, maka ia tidaklah terlepas dari nafsu-nafsu, emosi, kecenderungan dan dorongan-dorongan batin, kebutuhan fisik dan psikis. Jadi, tindakan rasional -- tindakan menurut tuntutan akal budi -- ada saingannya, yaitu tindakan yang menyesuaikan diri dengan segala macam kondisi indrawi-alami. Manusia tidak hanya tertarik untuk berbuat yang baik, melainkan juga untuk berbuat jahat. (Suseno, 1997:144)
Selain itu, Kant juga berpendapat bahwa kehendak baik itu menuntun sesorang untuk sealalu terdorong mengerjakan hal-hal yang baik, karena secara alamiah ia sadar dengan suatu hal yang benar-benar baik. Atau dalam kata lain, berbuat baik karena kewajiban, dan kewajiban itu dilakukan demi kewajiban. Melakukan kewajiban karena mau memenuhi kewajiban, maka itulah yang disebut sebagai kehendak baik tanpa pembatasan (Suseno, 1997:144).
 2. Imperatif Kategoris
Apabila kewajiban merupakan paham apriori akal budi praktis murni? Lalu bagaimana kita dapat mengetahui apa yang menjadi kewajiban kita? Apakah kriteria kewajiban moral? Maka Kant menjawab bahwa kriteria itu adalah "Imperatif Kategoris". (Suseno, 1997:145)
Imperatif kategoris secara sederhana merupakan sebuah seruan yang berbunyi "Bertindaklah secara moral!" Ada dua hal yang perlu kita perhatikan pada imperatif kategoris, yaitu yang pertama bahwa ia berupa perintah; lalu kedua bahwa perintah itu berbentuk kategori. Sebagai perintah, imperatif kategoris bukan sembarang perintah. Kant memakai kata imperatif atau perintah bukan berarti perintah atau komando dalam pengertian orang awam, melainkan untuk mengungkapkan sebuah keharusan (Sollen) yang disadari dengan sepenuh hati. Perintah dalam arti ini adalah rasional. Perintah yang dimaksud oleh Kant adalah perintah yang berdasar kepada suatu keharusan objektif, yang tidak disertai dengan paksaan, melainkan pertimbangan yang meyakinkan untuk membuat kita taat. Keharusan untuk berbuat baik yang dimaksudkan oleh Kant adalah kewajiban-kewajiban dalam bertindak yang berlaku bagi siapa saja dan tidak berdasarkan yang asal enak saja. (Suseno, 1997:145-146)
3. Relevansi dan Pengaruh Pemikiran Rousseau Terhadap Pemikiran Immanuel Kant
Pemikiran Filsafat Rousseau yang relevan sekaligus mempengaruhi pemikiran Immanuele Kant adalah pada konsepsinya tentang keadaan alamiah. Kita tahu bersama bahwa Kant dalam pemikirannya tentang moralitas, menggunakan istilah utama yaitu imperatif kategoris, dimana setiap manusia sejatinya adalah bebas, dan dalam kaitannya dengan kebaikan yaitu kehendak untuk berbuat baik yang berupa dorongan dari dalam diri yang seolah-olah memerintah untuk berbuat baik. Namun perintah semacam itu tidaklah bersifat memaksa.
Konsep kehendak baik dalam imperatif kategoris sangat relevan dengan pemikiran Rousseau tentang keadaan alamiah manusia yang sejatinya baik. Kebaikan itu lahir dari alam. Begitupun dengan keadaan alamiah manusia yaitu cerminan dari alam, di mana keharmonisan di dalam alam membimbing manusia dalam bertindak. Jadi, keadaan alamiah manusia dapat terlihat dari keberlangsungan alamiah yang terjadi di alam.
Jika melihat pernyataan Kant tentang imperative kategoris, ia menegaskan bahwa konsepsi moral bukanlah monopoli dari agama, masyarakat, ataupun institusi-institusi sosial lainnya melainkan murni dating dari dalam diri manusia. Perasaan tentang yang baik dating dari dalam diri manusia sebagai diri yang otonom. Kehendaknya akan yang baik adalah inti dari keberadaan eksistensial manusia di dunia, karena manusia adalah makluk yang senantiasa ingin melampaui pencapaiannya dalam konteks ruang dan waktu. Temporalitas kesadarannya tentang dunia merupakan bukti bahwa manusia dalam hubungannya dengan dunia hanya bisa menangkap fenomena yang terikat dalam ruang dan waktu. Sedangkan hakikat substansi (noumenon) adalah hal yang samasekali tak tersentuh.
C. Georg Wilhelm Friedrich Hegel
Hegel (1770-1831) ialah puncak gerakan filsafat Jerman yang berawal dari Kant; walaupun ia sering mengkritiknya, system filsafatnya tidak akan pernah muncul kalua tidak ada Kant. Sama seperti sang guru, Hegel juga merupakan filsuf yang sangat berpengaruh di dunia barat. Pada akhir abad kesembilanbelas, para filsuf akademik terkemuka, baik di Amerika maupun Britania Raya, sangat bercorak Hegelian. Di luar filsafat murni, banyak teolog Protestan mengadopsi doktrin-doktrinnya, dan filsafatnya tentang sejarah mempengaruhi teori politik secara mendalam. (Russell, 2007:951
1. Pemikiran Hegel tentang Metafisika
Perlu diperhatikan bahwa Hegel menaruh perhatian mendalam pada tema alienasi dan penemuan kembali atas kesatuan yang hilang. Dalam waktu yang bersamaan, ia mengkomparasikan serta mengkontraskan alam piker Kristen dengan Yunani. Hal ini ia lakukan karena ketidakpuasannya atas penjelasan keagamaan tentang hakikat kenyataan yang sepenuhnya dikontrol oleh yang transendental. (Copleston, 1971:164)
Dari minat awalnya terhadap mistisisme, ia mempertahankan keyakinan kepada ketidaknyataan bagian. Dunia, dalam pandangannya bukan kumpulan unit-unit yang keras, entah atom entah jiwa, yang masing-masing sepenuhnya berdiri-sendiri. Kemandirian benda-benda terbatas. Yang tampak oleh mata dipandangnya sebagai ilusi. Menurut Hegel, tidak ada yang benar-benar nyata kecuali "keseluruhan" (the whole). "Keseluruhan" itu bukan merupakan substansi sederhana, melainkan sebagai suatu hal yang rumit, yang lebih baik disebut sebagai "organisme". Benda-benda dunia yang tampak jelas terpisah yang menyusun dunia ini bukanlah sekadar ilusi. Masing-masing memiliki tingkat realitas yang lebih besar atau lebih kecil, dan realitasnya tercapai lantaran suatu aspek dari keseluruhan, yang akan terlibat bila dipandang dengan benar. Karenanya, dengan pandangan semacam ini biasanya ketidakpercayaan terhadap realitas ruang dan waktu seperti itu, jika diterima sebagai sungguh-sungguh nyata, melibatkan keterpisahan dan keserbaragaman. (Russell, 2007:952)
- Tentang Spirit (Ruh)
Terma Spirit (ruh) merupakan terma sentral yang kemudian melandasi bangunan kefilsafatannya. Pertanyaan yang muncul seputar terma Spirit adalah apakah dimungkinkan bagi kita dengan berdasarkan pemikiran konseptual dapat menyatukan hal yang tak terbatas (infinite) dengan hal yang terbatas (finite), di mana tidak ada dari keduanya yang dapat melebur atau menyatu di dalam yang lain, sedangkan pada waktu yang bersamaan keduanya benar-benar dalam satu kesatuan. Dan di dalam pecahan dari sistem (fragment of a system), Hegel menegaskan bahwa penyatuan dua hal di atas adalah hal yang tidak mungkin. Selanjutnya, untuk mendamaikan antara infinite dengan finite dalam lingkup pemikiran konseptual, mau tidak mau bertendensi untuk menggabungkannya tanpa pembedaan atau distingsi, atau juga tanpa mereduksi yang satu untuk yang lain. Oleh sebab itu, ketika di satu sisi terdapat afirmasi mengenai kebersatuan dua hal tersebut, maka di sisi lain mau tidak mau harus menolak distingsi. (Copleston, 1971:165) Â
- Yang Nyata dan Tidak Nyata
Hegel menegaskan bahwa yang nyata adalah rasional, dan yang rasional adalah nyata. Namun ketika ia mengatakan hal ini tidak nyata, tidaklah sama dengan bagaimana kaum empirisisme memandang kenyataan. Ia juga menegaskan bahwa apa yang bagi kaum empirisis dijustifikasi sebagai fakta dan pasti merupakan hal yang sebenarnya tidak rasional. Ia menjadi terlihat nyata, karena fakta tersbeut dijelmakan dengan memandang karakter-karakter itu sebagai aspek-aspek dari keseluruhan sehingga terlihat rasional. (Russell, 2007:952-953)
- Tentang Logika
Logika, menurut pemahaman Hegel, dinyatakan sebagai hal yang sama dengan metafisika; ini berbeda dengan apa yang biasanya disebut logika. Pandangannya adalah bahwa segala predikat biasa, jika diterima sebagai sesuatu yang memungkinkan keutuhan realitas akan menghasilkan kontradiksi-diri. Untuk contoh kasar, kita bisa mengambil teori Parmenides bahwa Yang Esa, yang Dia sendirian adalah nyata. Pernyataan itu bersifat bulat. Tidak ada yang bersifat bulat kecuali yang memiliki garis batas, dan tidak ada yang memiliki garis batas kecuali ada sesuatu (atau sekurang-kurangnya ruang hampa) di luarnya. Oleh sebab itu, menganggap alam semesta sebagai keseluruhan yang bulat adalah kontradiksi-diri. (Russell, 2007:953)
2. Relevansi dan Pengaruh Pemikiran Immanuel Kant Terhadap Pemikiran Hegel
Pengaruh pemikiran Kant yang paling terlihat jelas dalam bangunan kefilsafatan Hegel adalah distingsi mengenai noumenon dan fenomenon, dimana kedua terma tersebut dihasilkan dalam serangkaian pemikiran epistemologinya. Relasi antara subjek dengan objek menjadi pemantik bagi penelusuran Kant yang pada akhirnya mengasilkan distingsi tersebut. Menurut Kant, realitas itu hanya bisa ditangkap bagian fenomenanya saja. Fenomena merupakan akibat dari keberadaan noumenon. Noumenon adalah hakikat dari sesuatu (substansi). Ia sama sekali tak tersentuh oleh pengalaman manusia. Dengan demikian, esensi dari noumenon yang termanifestasi melalui fenomena-fenomena-lah yang dapat ditangkap oleh kesadaran manusia.
Pemikiran Kant tentang noumenon dan fenomenon sangat relevan dengan pemikiran Hegel bahwa menganggap alam semesta merupakan kesatuan yang utuh adalah sebuah hal yang kontradiktif. Mungkin kedua tokoh ini bisa dikategorikan ke dalam pemikiran yang dualis, karena keduanya sama-sama menyentuh hal-hal dengan distingsi gaya dualisme. Sebagaimana Kant dengan noumenon dan fenomenon, Hegel dalam menjelaskan konsepsinya tentang spirit juga menggunakan terma dualis yaitu yang tak terbatas (infinite) dan yang terbatas (finite). Dapat dikatakan bahwa dualism tersebut adalah pengaruh dari Kant.
Hegel menegaskan bahwa yang nyata adalah yang rasional, sehingga didapat kesimpulan bahwa yang rasional adalah nyata. Ini relevan dengan ajaran Kant tentang noumenon, dimana secara empiris ia tidak dapat dicapai, namun melalui pengetahuan deduktif noumenon itu dapat ternyatakan. Mungkin kita pernah mendengar istilah kesadaran virtual, yakni kesadaran yang tetap ada walaupun tidak secara aktif dirasakan dan dialami oleh subjek. Dalam hal ini, yang nyata yang dimaksudkan oleh Hegel adalah yang dapat teridentifikasi oleh rasio. Yang nyata bagi hegel tidaklah sama dengan realisme naif ataupun kenyataan dalam pemahaman kaum empirisis.
Â
Refferensi
Copleston, Frederick. 1968. A History of Pholosophy. London: Burns and Oates Limited.
Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta:Kanisius
Russell, Bertrand. 2007. Sejarah Filsafat Barat. Terjemahan Sigit Jatmiko dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H