Mohon tunggu...
Muhammad Rodinal Khair Khasri
Muhammad Rodinal Khair Khasri Mohon Tunggu... Dosen - Penulis Lepas

Peneliti di Collective Academia/ Co-Founder/ Koordinator Bidang Religious dan Cultural Studies; Alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada; sekarang berdomisili di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Relasi Pemikiran Jean-Jacques Rousseau, Immanuel Kant, dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel

4 September 2019   17:27 Diperbarui: 4 September 2019   17:34 2752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

C. Georg Wilhelm Friedrich Hegel

Hegel (1770-1831) ialah puncak gerakan filsafat Jerman yang berawal dari Kant; walaupun ia sering mengkritiknya, system filsafatnya tidak akan pernah muncul kalua tidak ada Kant. Sama seperti sang guru, Hegel juga merupakan filsuf yang sangat berpengaruh di dunia barat. Pada akhir abad kesembilanbelas, para filsuf akademik terkemuka, baik di Amerika maupun Britania Raya, sangat bercorak Hegelian. Di luar filsafat murni, banyak teolog Protestan mengadopsi doktrin-doktrinnya, dan filsafatnya tentang sejarah mempengaruhi teori politik secara mendalam. (Russell, 2007:951

1. Pemikiran Hegel tentang Metafisika

Perlu diperhatikan bahwa Hegel menaruh perhatian mendalam pada tema alienasi dan penemuan kembali atas kesatuan yang hilang. Dalam waktu yang bersamaan, ia mengkomparasikan serta mengkontraskan alam piker Kristen dengan Yunani. Hal ini ia lakukan karena ketidakpuasannya atas penjelasan keagamaan tentang hakikat kenyataan yang sepenuhnya dikontrol oleh yang transendental. (Copleston, 1971:164)

Dari minat awalnya terhadap mistisisme, ia mempertahankan keyakinan kepada ketidaknyataan bagian. Dunia, dalam pandangannya bukan kumpulan unit-unit yang keras, entah atom entah jiwa, yang masing-masing sepenuhnya berdiri-sendiri. Kemandirian benda-benda terbatas. Yang tampak oleh mata dipandangnya sebagai ilusi. Menurut Hegel, tidak ada yang benar-benar nyata kecuali "keseluruhan" (the whole). "Keseluruhan" itu bukan merupakan substansi sederhana, melainkan sebagai suatu hal yang rumit, yang lebih baik disebut sebagai "organisme". Benda-benda dunia yang tampak jelas terpisah yang menyusun dunia ini bukanlah sekadar ilusi. Masing-masing memiliki tingkat realitas yang lebih besar atau lebih kecil, dan realitasnya tercapai lantaran suatu aspek dari keseluruhan, yang akan terlibat bila dipandang dengan benar. Karenanya, dengan pandangan semacam ini biasanya ketidakpercayaan terhadap realitas ruang dan waktu seperti itu, jika diterima sebagai sungguh-sungguh nyata, melibatkan keterpisahan dan keserbaragaman. (Russell, 2007:952)

  • Tentang Spirit (Ruh)

Terma Spirit (ruh) merupakan terma sentral yang kemudian melandasi bangunan kefilsafatannya. Pertanyaan yang muncul seputar terma Spirit adalah apakah dimungkinkan bagi kita dengan berdasarkan pemikiran konseptual dapat menyatukan hal yang tak terbatas (infinite) dengan hal yang terbatas (finite), di mana tidak ada dari keduanya yang dapat melebur atau menyatu di dalam yang lain, sedangkan pada waktu yang bersamaan keduanya benar-benar dalam satu kesatuan. Dan di dalam pecahan dari sistem (fragment of a system), Hegel menegaskan bahwa penyatuan dua hal di atas adalah hal yang tidak mungkin. Selanjutnya, untuk mendamaikan antara infinite dengan finite dalam lingkup pemikiran konseptual, mau tidak mau bertendensi untuk menggabungkannya tanpa pembedaan atau distingsi, atau juga tanpa mereduksi yang satu untuk yang lain. Oleh sebab itu, ketika di satu sisi terdapat afirmasi mengenai kebersatuan dua hal tersebut, maka di sisi lain mau tidak mau harus menolak distingsi. (Copleston, 1971:165)  

  • Yang Nyata dan Tidak Nyata

Hegel menegaskan bahwa yang nyata adalah rasional, dan yang rasional adalah nyata. Namun ketika ia mengatakan hal ini tidak nyata, tidaklah sama dengan bagaimana kaum empirisisme memandang kenyataan. Ia juga menegaskan bahwa apa yang bagi kaum empirisis dijustifikasi sebagai fakta dan pasti merupakan hal yang sebenarnya tidak rasional. Ia menjadi terlihat nyata, karena fakta tersbeut dijelmakan dengan memandang karakter-karakter itu sebagai aspek-aspek dari keseluruhan sehingga terlihat rasional. (Russell, 2007:952-953)

  • Tentang Logika

Logika, menurut pemahaman Hegel, dinyatakan sebagai hal yang sama dengan metafisika; ini berbeda dengan apa yang biasanya disebut logika. Pandangannya adalah bahwa segala predikat biasa, jika diterima sebagai sesuatu yang memungkinkan keutuhan realitas akan menghasilkan kontradiksi-diri. Untuk contoh kasar, kita bisa mengambil teori Parmenides bahwa Yang Esa, yang Dia sendirian adalah nyata. Pernyataan itu bersifat bulat. Tidak ada yang bersifat bulat kecuali yang memiliki garis batas, dan tidak ada yang memiliki garis batas kecuali ada sesuatu (atau sekurang-kurangnya ruang hampa) di luarnya. Oleh sebab itu, menganggap alam semesta sebagai keseluruhan yang bulat adalah kontradiksi-diri. (Russell, 2007:953)

2. Relevansi dan Pengaruh Pemikiran Immanuel Kant Terhadap Pemikiran Hegel

Pengaruh pemikiran Kant yang paling terlihat jelas dalam bangunan kefilsafatan Hegel adalah distingsi mengenai noumenon dan fenomenon, dimana kedua terma tersebut dihasilkan dalam serangkaian pemikiran epistemologinya. Relasi antara subjek dengan objek menjadi pemantik bagi penelusuran Kant yang pada akhirnya mengasilkan distingsi tersebut. Menurut Kant, realitas itu hanya bisa ditangkap bagian fenomenanya saja. Fenomena merupakan akibat dari keberadaan noumenon. Noumenon adalah hakikat dari sesuatu (substansi). Ia sama sekali tak tersentuh oleh pengalaman manusia. Dengan demikian, esensi dari noumenon yang termanifestasi melalui fenomena-fenomena-lah yang dapat ditangkap oleh kesadaran manusia.

Pemikiran Kant tentang noumenon dan fenomenon sangat relevan dengan pemikiran Hegel bahwa menganggap alam semesta merupakan kesatuan yang utuh adalah sebuah hal yang kontradiktif. Mungkin kedua tokoh ini bisa dikategorikan ke dalam pemikiran yang dualis, karena keduanya sama-sama menyentuh hal-hal dengan distingsi gaya dualisme. Sebagaimana Kant dengan noumenon dan fenomenon, Hegel dalam menjelaskan konsepsinya tentang spirit juga menggunakan terma dualis yaitu yang tak terbatas (infinite) dan yang terbatas (finite). Dapat dikatakan bahwa dualism tersebut adalah pengaruh dari Kant.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun