Mohon tunggu...
Rodif Bosid
Rodif Bosid Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Sedang menempuh pendidikan tinggi di salah satu PTN Tanah Air. Ingin mencintai Tanah Air ini dengan sepenuh hati.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memorabilia 1998 dah Harapan Luhur Dariku

12 Mei 2013   23:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:40 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ayunan dari ban mobil yang diikatkan pada cabang pohon jambu air yang cukup besar di halaman rumah itu selalu menjadi mainanku bersama adik-adik dan saudara-saudaraku lainnya. Kami bergantian menaiki ayunan tersebut, satu naik dan lainnya mengayunkan. Berebut ayunan itu sudah biasa bagi kami, namanya juga anak kecil, bertengkar adalah hal yang wajar.

Setiap sepulang sekolah di TK—kadang masih berseragam lengkap—kami selalu ke situ. Kadang ketika pohonnya sedang berbuah, dengan 'gantar' yang sudah diberi pengait kucoba untuk memetik buahnya. Pohon yang cukup besar itu tidak gampang untuk kupanjat sehingga perlu alat bantu.

Daun-daun yang berguguran setiap harinya selalu berserakan di halaman. Wak Am, sebutan akrabku kepada kakak perempuannya ibu, selalu menyapu halaman setiap pagi dan sore agar halaman terlihat bersih. "Pasti capek setiap hari nyapu, tapi ini memang rumahnya jadi harus dibersihkan," pikirku kala itu.

Masih di TK
Tahun 1998 kala itu aku masih duduk di bangku TK. Harusnya memang aku ini sudah lulus sejak setahun sebelumnya namun karena di tahun 1997 tangis dan amarahku yang begitu tak terbendung bagaikan sedang dirasuki oleh makhluk selain manusia sehingga menolak untuk lulus dari TK dan masuk ke MI (Madrasah Ibtidaiyah).

Itu memang kisah yang sangat menggelikan dalam hidupku. Dengan alasan yang cengeng, waktu itu aku berkeras hati menolak untuk berpisah dengan ibuku yang notabene menjadi guru di TK belakang rumah. Ya, aku masih ingin bersama ibu menikmati hari-hari yang penuh keriangan, nyanyian, dan teriakan bocah-bocah kampungku di TK.

Ijazah TK yang sebenarnya sudah dikeluarkan sejak tahun 1997 pun kusobek-sobek tanpa peduli bahwa di luar sana banyak yang menganggap pentingnya selembar kertas berstempel Departemen Agama tersebut. Aku telah menyobeknya dengan penuh amarah dan sama sekali tak ada kekecewaan sedikitpun dariku. Lupakan saja kisah itu.

Orang-orang bersenjata lengkap datang
Siang itu kala kami sedang bermain ayunan di bawah rindangnya pohon jambu air. Aku yang waktu itu sedang duduk menikmati semilir angin sesekali terganggu oleh dedaunan yang gugur. Adikku kadang berbuat jahil, ia sengaja mengambil selembar daun kering yang baru saja terjun bebas ke tanah untuk ditaruh di atas kepalaku. Sembari tertawa ia terus saja mengulangi perbuatannya. Tak sadar bahwa sesungguhnya aku ini hendak memarahinya.

Suara kendaraan besar yang lebih halus dari suara truk pasir yang biasa melintasi jalan Kranji-Sidodadi tiba-tiba terdengar. Sontak Wak Am dan kakak sepupuku berteriak menyuruh kami untuk masuk ke dalam rumah. Raut muka mereka tidak biasa, mereka ketakutan sepertinya. Kami pun langsung berlari meninggalkan ayunan yang terus saja mengayun menuju ke dalam rumah. Pintu rumah pun ditutup rapat-rapat.

Aku bingung tapi tidak tahu apa yang dibingungkan. Aku ikut saja apa yang mereka (para orang tua) katakan. Melompong mendengarkan pembicaraan mereka, sepertinya memang itu pembicaraan orang dewasa yang bagi anak seusiaku tidak perlu untuk dianggap penting layaknya aku mendengarkan bisikan temanku yang menjadi kiper ketika di lapangan. Tak peduli, aku pun sibuk bercengkerama dengan mereka yang seusia denganku. Ini jauh lebih menyenangkan tentunya.

Namun sesekali aku masih saja penasaran tentang apa yang mereka perbincangkan. Akhirnya kucoba mengintip dari sebuah jendela. Kulihat truk yang berisi orang-orang dengan berpakaian seperti pakaian yang kupakai ketika ada festival di alun-alun, ya, mereka berpakaian loreng-loreng hijau hitam. Mereka ABRI!

Dalam satu kompi truk tersebut kulihat ada banyak pasukan yang memegang senjata. Pikirku, "apakah mereka ini mau perang melawan penjajah, ya?"

Penghuni rumah pun menceritakan tentang mereka (rombongan bersenjata) kepadaku. Rupanya mereka itu adalah aparat yang ditugaskan untuk menangkap warga kampung yang suka membuat masalah. "Wah... Mereka hebat berarti!" Sederhana sekali pikiranku kala itu. Aparat memang hebat, mereka ibarat pahlawan dalam film-film yang bisa menangkap penjahat-penjahat.

"Lalu, kenapa kita harus masuk rumah dan kepana pintunya harus dikunci? Kita ini orang baik, kan?" Bingung merasuki pikiranku.

"Jangan keluar! Karena mereka nanti mau menembak penjahat itu. Makanya biar tidak kena tembak dari penjahat kita harus masuk ke rumah," terang Lek Agus kepadaku. Aku mengiyakan begitu saja.

Namun rupanya tidak hanya kami saja yang masuk rumah. Rumah-rumah lain yang berada di seberang jalan pun sepi. Biasanya siang-siang seperti itu banyak orang berkumpul di sana. Sepertinya mereka juga takut ditembak oleh penjahat itu sehingga mereka lebih memiih masuk ke dalam rumah.

Kala itu jalanan juga tak seramai biasanya. Hanya satu dua motor saja yang melintasi jalan depan rumah. Siang itu sepi suasananya.

Tiba-tiba aku terkaget ketika Lek Agus dan Mas Amir mencoba keluar dari rumah menuju ke segerombolan orang-orang bersenjata itu. Jantungku berdegup kencang. Khawatir kalau-kalau mereka berdua tertembak oleh penjahat. Tapi rupanya mereka malah bercengkerama dengan aparat berseragam lengkap itu. Kulihat obrolan cukup asyik berhasil mereka bangun. Tapi sepertinya ada sebuah raut muka yang tak biasanya dari keduanya, seperti muka orang was-was.

Berita penembakan aparat
Aku sebenarnya masih belum bisa menerima kenyataan yang kulihat. Aku masih bingung dan ingin bertanya tentang keadaan pada masa itu. Tapi aku sedang asyik bermain gambar dengan saudara-saudaraku. Aku jadi lupa saking asyiknya.

Aku masih ingat betul tentang peristiwa ini. Di desa Kranji tahun 1998 kala itu kudengar ada berita kematian seorang pria muda. Kebetulan dia masih ada ikatan keluarga dengan nenek dari bapakku, walaupun cukup jauh. Tapi sama sekali tak kuingat namanya siapa. Yang kuingat berdasarkan berita yang beredar di masyarakat adalah dia mati karena ditembak aparat. Aku juga tak tahu aparat itu polisi atau ABRI. Alasannya apa dia ditembak mati aku tidak tahu dan kala itu aku tidak mau tahu.

Bagiku itu sebuah berita yang cukup meresahkan warga namun bagai angin lalu di pikaranku. Setelah peristiwa tersebut orang-orang kampung jadi rajin membicarakan tentang penembakan pria muda asal Kranji—sebuah desa yang ada di Kecamatan Kedungwuni, Pekalongan—tersebut. Tapi entah kenapa mereka termasuk bapak dan ibuku dalam berbicara tentang hal terebut tidak seperti bicara biasanya, agak diam-diam.

Benar-benar keadaan yang mencekam kurasakan kala itu meskipun aku belum begitu mengerti. Namun peristiwa ini tak mengganggu aktivitas belajarku di TK.

Minta pulang tengah malam
Aku yang waktu itu masih berusia 6 tahun tinggal bersama keluarga besarku di sebuah rumah kecil. Di situ dihuni kakek dan nenek dari ibu, aku dan keluarga kecilku, dan kakak adiknya ibuku. Meskipun hanya di sebuah rumah kecil yang tak indah, kami hidup dalam suasana penuh kasih sayang dan kebersamaan.

Masih di tahun 1998—entah bulan apa yang jelas itu sebelum aku masuk ke MI—setiap setelah maghrib aku sering sekali minta kepada bapak untuk mengantarkanku ke rumah nenek (ibunya bapak). Dengan alasan aku ingin tidur di sana menemani nenekku. Bapak pun bersedia mengantarkanku ke sana. Rumah keluarga ibu dan keluarga bapak cukup dekat. Ibu di desa Sidodadi dan bapak di desa Kranji.

Jam menunjukkan pukul 21.00 WIB. Aku pun menuju ke kamar nenek untuk tidur. Ditemani nenek dengan cerita-cerita sejarah nabi membuat tidurku terasa indah. Sekarang di usiaku yang telah memasuki 22 tahun aku merindukan momen-momen seperti ini. Kini nenek telah tiada.

Namun yang membuatku bingung adalah kenapa setiap lewat pukul 24.00 WIB aku selalu terbangun dan merengek meminta nenek untuk mengantarkanku pulang ke rumah ibu. Aneh.

Sekitar pukul 02.00 WIB aku selalu minta nenek untuk mengantarkanku pulang ke rumah ibu. Ada sesuatu yang membuatku tak nyaman kala itu. Aku memaksa nenek dan terus memaksa hingga akhirnya nenek pun mau mengantarkanku pulang.

Kejadian ini berulang-ulang. Setiap aku tidur di rumah nenek pasti terus seperti ini. Nenek dan bapak pasti bingung dan bosan atas ulahku.

Kejadian itu belum lama setelah berita tentang penembakan yang dilakukan aparat yang menewaskan salah seorang warga desa Kranji. Sehingga muncul ketakutan pada diri nenek. Ia selalu berkata kepadaku ketika aku merengek minta pulang. "Ojo mulih jam semene. Simbah wedi. Soale ning dalan ono ABRI." (Jangan pulang jam segini. Simbah takut. Soalnya di jalan ada ABRI."

Aku mengerti apa yang dikatakan nenek. Maklum waktu itu baru saja ada yang tertembak oleh aparat. Namun aku tidak mau tahu, aku tetap minta diantarkan pulang. Akhirnya dan selalu nenek mengantarkanku pulang dengan kondisi yang tentunya masih sangat mengantuk.

15 tahun setelah rezim otoriter
Kini 15 tahun sudah peristiwa itu terjadi. Aku semakin menyadari bahwa ternyata kala itu orang-orang telah dibuat takut oleh seorang diktator. Rezim tangan besi yang telah merenggut HAM di mana-mana. Menggunakan kekuasaannya dengan semena-semena untuk menjarah martabat hidup masyarakat. Membunuh siapapun yang berani bersuara tentang ketidakadilan di masa itu.

Berbagai media yang kubaca memang ternyata memberikan informasi yang begitu masif tentang sebuah situasi yang di mana kala itu rakyat benar-benar disudutkan dan dipermainkan haknya untuk sebuah dinasti yang dibangun oleh si rezim tangan besi yang begitu kejam.

Tragedi Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 menjadi bukti bahwa betapa otoriternya rezim orde baru (orba) yang dipimpin oleh Soeharto. Tragedi tentang penembakan yang dilakukan oleh aparat terhadap mahasiswa terebut terjadi pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta, serta puluhan lainnya luka.

Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977-1998), Hafidin Royan (1976-1998), dan Hendriawan Sie (1975-1988). Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada.

Selain itu banyak orang hilang akibat pemerintahan Soeharto yang dengan kesewenang-wenangannya merenggut hak hidup dan hak bersuara masyarakat masa itu. Dan hingga kini kasus-kasus tersebut nyatanya belum bisa diungkap secra gamblang oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kini masih menjabat sebagai RI-1.

Reformasi telah bergulir sejak lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan. Namun masih banyak hak-hak masyarakat yang hingga detik ini belum bisa terpenuhi. Berbagai konflik justru semakin menghiasi media akhir-akhir ini. Korupsi terus terjadi dan belum bisa dibongkar dan dihilangkan dari muka bumi pertiwi ini.

Tentu kita dan khususnya saya yang kini menjadi aktivis pergerakan mahasiswa di Kota Solo menginginkan cita-cita luhur bangsa Indonesia yang telah terukir dalam pembukaan UUD 1945 agar tercapai. Program-program yang benar-benar mengindikasikan untuk meraih cita-cita luhur itu pun nampaknya belum bisa dirasakan. Sekalipun itu MDG's (Millenium Development Goals), karena saya pikir itu hanyalah proyek globalisasi yang kian membuat Indonesia tidak stabil.

Saat ini yang dibutuhkan adalah stabilitas kehidupan dalam segala aspeknya. Tanggung jawab besar akan terwujudnya cita-cita ini nyatanya belum mampu dilaksanakan dengan baik oleh SBY selama hampir 10 tahun ini.

Dan menuju 15 tahun reformasi bergulir serta pemilu tahun 2014 tentu kita menginginkan tatanan Indonesia baru tanpa embel-embel orba yang begitu otoriter. Indonesia dengan pemerintahannya yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darahnya. Indonesia yang mampu  memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Semoga cita-cita luhur itu bukan sebuah utopis belaka namun bisa menjadi cahaya yang mampu menerangi Indonesia dari lubang kegelapan. Indonesia menolak lupa! Merdeka!

Tulisan ini juga saya terbitkan di rodivbosid.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun