Masih di tahun 1998—entah bulan apa yang jelas itu sebelum aku masuk ke MI—setiap setelah maghrib aku sering sekali minta kepada bapak untuk mengantarkanku ke rumah nenek (ibunya bapak). Dengan alasan aku ingin tidur di sana menemani nenekku. Bapak pun bersedia mengantarkanku ke sana. Rumah keluarga ibu dan keluarga bapak cukup dekat. Ibu di desa Sidodadi dan bapak di desa Kranji.
Jam menunjukkan pukul 21.00 WIB. Aku pun menuju ke kamar nenek untuk tidur. Ditemani nenek dengan cerita-cerita sejarah nabi membuat tidurku terasa indah. Sekarang di usiaku yang telah memasuki 22 tahun aku merindukan momen-momen seperti ini. Kini nenek telah tiada.
Namun yang membuatku bingung adalah kenapa setiap lewat pukul 24.00 WIB aku selalu terbangun dan merengek meminta nenek untuk mengantarkanku pulang ke rumah ibu. Aneh.
Sekitar pukul 02.00 WIB aku selalu minta nenek untuk mengantarkanku pulang ke rumah ibu. Ada sesuatu yang membuatku tak nyaman kala itu. Aku memaksa nenek dan terus memaksa hingga akhirnya nenek pun mau mengantarkanku pulang.
Kejadian ini berulang-ulang. Setiap aku tidur di rumah nenek pasti terus seperti ini. Nenek dan bapak pasti bingung dan bosan atas ulahku.
Kejadian itu belum lama setelah berita tentang penembakan yang dilakukan aparat yang menewaskan salah seorang warga desa Kranji. Sehingga muncul ketakutan pada diri nenek. Ia selalu berkata kepadaku ketika aku merengek minta pulang. "Ojo mulih jam semene. Simbah wedi. Soale ning dalan ono ABRI."Â (Jangan pulang jam segini. Simbah takut. Soalnya di jalan ada ABRI."
Aku mengerti apa yang dikatakan nenek. Maklum waktu itu baru saja ada yang tertembak oleh aparat. Namun aku tidak mau tahu, aku tetap minta diantarkan pulang. Akhirnya dan selalu nenek mengantarkanku pulang dengan kondisi yang tentunya masih sangat mengantuk.
15 tahun setelah rezim otoriter
Kini 15 tahun sudah peristiwa itu terjadi. Aku semakin menyadari bahwa ternyata kala itu orang-orang telah dibuat takut oleh seorang diktator. Rezim tangan besi yang telah merenggut HAM di mana-mana. Menggunakan kekuasaannya dengan semena-semena untuk menjarah martabat hidup masyarakat. Membunuh siapapun yang berani bersuara tentang ketidakadilan di masa itu.
Berbagai media yang kubaca memang ternyata memberikan informasi yang begitu masif tentang sebuah situasi yang di mana kala itu rakyat benar-benar disudutkan dan dipermainkan haknya untuk sebuah dinasti yang dibangun oleh si rezim tangan besi yang begitu kejam.
Tragedi Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 menjadi bukti bahwa betapa otoriternya rezim orde baru (orba) yang dipimpin oleh Soeharto. Tragedi tentang penembakan yang dilakukan oleh aparat terhadap mahasiswa terebut terjadi pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta, serta puluhan lainnya luka.
Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977-1998), Hafidin Royan (1976-1998), dan Hendriawan Sie (1975-1988). Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada.