Mohon tunggu...
Rodif Bosid
Rodif Bosid Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Sedang menempuh pendidikan tinggi di salah satu PTN Tanah Air. Ingin mencintai Tanah Air ini dengan sepenuh hati.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memorabilia 1998 dah Harapan Luhur Dariku

12 Mei 2013   23:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:40 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Penghuni rumah pun menceritakan tentang mereka (rombongan bersenjata) kepadaku. Rupanya mereka itu adalah aparat yang ditugaskan untuk menangkap warga kampung yang suka membuat masalah. "Wah... Mereka hebat berarti!" Sederhana sekali pikiranku kala itu. Aparat memang hebat, mereka ibarat pahlawan dalam film-film yang bisa menangkap penjahat-penjahat.

"Lalu, kenapa kita harus masuk rumah dan kepana pintunya harus dikunci? Kita ini orang baik, kan?" Bingung merasuki pikiranku.

"Jangan keluar! Karena mereka nanti mau menembak penjahat itu. Makanya biar tidak kena tembak dari penjahat kita harus masuk ke rumah," terang Lek Agus kepadaku. Aku mengiyakan begitu saja.

Namun rupanya tidak hanya kami saja yang masuk rumah. Rumah-rumah lain yang berada di seberang jalan pun sepi. Biasanya siang-siang seperti itu banyak orang berkumpul di sana. Sepertinya mereka juga takut ditembak oleh penjahat itu sehingga mereka lebih memiih masuk ke dalam rumah.

Kala itu jalanan juga tak seramai biasanya. Hanya satu dua motor saja yang melintasi jalan depan rumah. Siang itu sepi suasananya.

Tiba-tiba aku terkaget ketika Lek Agus dan Mas Amir mencoba keluar dari rumah menuju ke segerombolan orang-orang bersenjata itu. Jantungku berdegup kencang. Khawatir kalau-kalau mereka berdua tertembak oleh penjahat. Tapi rupanya mereka malah bercengkerama dengan aparat berseragam lengkap itu. Kulihat obrolan cukup asyik berhasil mereka bangun. Tapi sepertinya ada sebuah raut muka yang tak biasanya dari keduanya, seperti muka orang was-was.

Berita penembakan aparat
Aku sebenarnya masih belum bisa menerima kenyataan yang kulihat. Aku masih bingung dan ingin bertanya tentang keadaan pada masa itu. Tapi aku sedang asyik bermain gambar dengan saudara-saudaraku. Aku jadi lupa saking asyiknya.

Aku masih ingat betul tentang peristiwa ini. Di desa Kranji tahun 1998 kala itu kudengar ada berita kematian seorang pria muda. Kebetulan dia masih ada ikatan keluarga dengan nenek dari bapakku, walaupun cukup jauh. Tapi sama sekali tak kuingat namanya siapa. Yang kuingat berdasarkan berita yang beredar di masyarakat adalah dia mati karena ditembak aparat. Aku juga tak tahu aparat itu polisi atau ABRI. Alasannya apa dia ditembak mati aku tidak tahu dan kala itu aku tidak mau tahu.

Bagiku itu sebuah berita yang cukup meresahkan warga namun bagai angin lalu di pikaranku. Setelah peristiwa tersebut orang-orang kampung jadi rajin membicarakan tentang penembakan pria muda asal Kranji—sebuah desa yang ada di Kecamatan Kedungwuni, Pekalongan—tersebut. Tapi entah kenapa mereka termasuk bapak dan ibuku dalam berbicara tentang hal terebut tidak seperti bicara biasanya, agak diam-diam.

Benar-benar keadaan yang mencekam kurasakan kala itu meskipun aku belum begitu mengerti. Namun peristiwa ini tak mengganggu aktivitas belajarku di TK.

Minta pulang tengah malam
Aku yang waktu itu masih berusia 6 tahun tinggal bersama keluarga besarku di sebuah rumah kecil. Di situ dihuni kakek dan nenek dari ibu, aku dan keluarga kecilku, dan kakak adiknya ibuku. Meskipun hanya di sebuah rumah kecil yang tak indah, kami hidup dalam suasana penuh kasih sayang dan kebersamaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun