Mohon tunggu...
Rochmy Aisiyah
Rochmy Aisiyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ilmu Administrasi Negara

Seorang mahasiswa Ilmu Administrasi Negara yang suka membaca dan mereview berbagai macam bacaan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

BJ Habibie: Peletak Reformasi, Kebijakan, dan Program Mengawal Era Baru Indonesia

22 Mei 2024   14:44 Diperbarui: 22 Mei 2024   14:54 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bacharuddin Jusuf Habibie, lebih dikenal sebagai BJ Habibie, adalah Presiden ketiga Indonesia yang menjabat dari Mei 1998 hingga Oktober 1999. Ia memainkan peran kunci dalam sejarah Indonesia modern dan dikenal sebagai "Bapak Demokrasi" karena komitmennya terhadap demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia. BJ Habibie lahir pada 25 Juni 1936 di Pare-Pare, Sulawesi Selatan, dan memiliki latar belakang keluarga yang solid. Ia menempuh pendidikan di Jerman, meraih gelar sarjana teknik mesin, dan kemudian mendapatkan gelar Doktor Ingenieur (Doktor Teknik) dengan indeks prestasi summa cumlaude.

Sebelum menjadi Presiden, BJ Habibie memiliki karier yang solid di bidang teknologi, terutama dalam desain dan konstruksi pesawat terbang. Ia juga pernah menjadi Wakil Presiden RI ke-7. Setelah Soeharto lengser pada tahun 1998, BJ Habibie menjadi Presiden ke-3 Republik Indonesia dan melakukan berbagai reformasi penting, termasuk memberikan kebebasan pers dan memulai desentralisasi pemerintahan. Reformasi tersebut menjadi fondasi penting bagi demokrasi di Indonesia.

BJ Habibie dikenang sebagai salah satu putra terbaik bangsa yang mengabdikan hidupnya untuk kemajuan Indonesia, baik dalam bidang teknologi maupun politik. Ia meninggal dunia pada 11 September 2019 dan dimakamkan di samping makam istrinya, Hasri Ainun Besari di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 12 September 2019. BJ Habibie meninggalkan warisan yang sangat signifikan dalam sejarah Indonesia, terutama dalam upayanya memulihkan demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia.

Program BJ Habibie Dalam Mengawal Reformasi di Indonesia

Program BJ Habibie dalam mengawal reformasi di Indonesia pada masa pemerintahannya (1998-1999) melibatkan beberapa kebijakan yang signifikan. Beberapa kebijakan tersebut di Bidang Ekonomi, Politik, dan Hukum.

A. Kebijakan Ekonomi 

Usaha-usaha di bidang ekonomi antara lain misalnya: konsolidasi bank dan penurunan inflasi, rekonstruksi dalam perekonomian nasional, likuidasi bank-bank yang sakit, pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional, dan menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hingga di bawah 10.000 rupiah. BJ Habibie mengeluarkan UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli atau Persaingan Usaha Tidak Sehat dan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Pradono et al., 2018). Isu penting pemerintahan Habibie di bidang perbankan adalah pembekuan bank-bank bermasalah. Kebijakan ekonomi BJ Habibie berujung pada kebijakan pembekuan bank ketika banyak bank yang buka pada saat itu tetapi tidak beroperasi karena kekurangan nasabah. Selain itu, terdapat beberapa bank yang kurang handal dan dapat merugikan nasabah. Dari permasalahan tersebutlah lahir kebijakan ekonomi Habibie (Afiyah, 2021; Devina, 2022).

Kontribusi pemerintahan Habibie adalah meningkatkan kekuatan Bank Indonesia. Di tahun 1998, Habibie merestrukturisasi sektor perbankan yang ada di Indonesia dan memutuskan bahwa Bank Indonesia (BI) harus dipisahkan dari pemerintah agar tetap objektif dan tidak terpengaruh oleh politik. Penghapusan Bank Indonesia dari pemerintah diatur dalam UU No. 23. Tahun 1999. Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia dengan tujuan mampu bertahan dari krisis mata uang yang melanda Indonesia pada tahun 1998, menaikkan suku bunga sebesar 70% dan menerbitkan obligasi sebanyak Rp 650 triliun untuk menyelamatkan perbankan (Afiyah, 2021; Utami, 2022).

B. Kebijakan Politik 

Berikut kebijakan habibie dalam bidang politik: Pemulihan legitimasi politik, kebebasan pers, memberikan kesempatan berupa jejak pendapat terkait persengketaan wilayah Timor-Timur, pemisahan TNI dan Polri, Pelaksanaan Pemilu 1999, dan Proses Amandemen Pertama UUD 1945.

1. Pemulihan Legitimasi Politik

            Kebijakan Pemulihan Legitimasi Politik yang dilakukan oleh Presiden BJ. Habibie selama masa pemerintahannya adalah salah satu dari beberapa kebijakan yang signifikan dalam proses demokratisasi di Indonesia. Pemulihan legitimasi politik ini dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik Indonesia yang telah dirusak oleh rezim otoriter sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Presiden Soeharto.

Kebijakan ini termasuk dalam upaya BJ. Habibie untuk mengubah gaya kepemimpinan yang otoriter menjadi lebih demokratis. Ia membuka keran kebebasan yang sebelumnya ditutup rapat-rapat di era Soeharto dan membebaskan tahanan politik era Orba. Kebijakan ini juga mencakup penghapusan larangan pers dan memberikan kesempatan berupa jejak pendapat terkait persengketaan wilayah Timor-Timur.

Pemulihan legitimasi politik BJ. Habibie juga melibatkan penghapusan beberapa undang-undang yang dianggap tidak demokratis dan menggantinya dengan undang-undang yang lebih demokratis. Contohnya, undang-undang partai politik yang dikeluarkan BJ. Habibie membuka peluang berdirinya partai-partai politik yang baru dan menyediakan penyelenggaraan pemilihan umum yang terbuka dan demokratis.

Dalam konteks kebijakan luar negeri, BJ. Habibie juga berupaya untuk meningkatkan legitimasi politik Indonesia dengan cara meningkatkan interaksi diplomatik dan kerjasama internasional. Ia berupaya untuk meningkatkan citra Indonesia di kancah internasional dengan cara meningkatkan partisipasi Indonesia dalam organisasi internasional dan meningkatkan kerjasama dengan negara-negara lain.

Dalam sintesis, kebijakan pemulihan legitimasi politik BJ. Habibie adalah bagian dari upaya yang lebih luas untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik Indonesia dan meningkatkan demokratisasi di Indonesia. Kebijakan ini mencakup berbagai aspek, termasuk kebebasan pers, pemilu yang bebas dan demokratis, serta penghapusan larangan pers dan memberikan kesempatan berupa jejak pendapat terkait persengketaan wilayah Timor-Timur.

2. Kebebasan Pers 

Pada masa rezim sebelumnya, pers mendapat pembungkaman dan dipaksa untuk dapat mengikuti opini pemerintah, sehingga ketika pers melakukan penentangan akan diberikan hukuman. Menurut laporan Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia, lahirnya UU Pers No. 40 Tahun 1999 pada masa Habibie memberikan ruang pers untuk dijadikan sebagai bentuk kedaulatan Indonesia. Oleh karena itu, undang-undang ini merupakan landasan kebebasan pers Indonesia yang sering dilarang di bawah rezim sebelumnya (Fallderama, 2019; Utami, 2022). Kebijakan ini juga dilakukan melalui pencabutan izin pers atau SIUPP untuk memeriksa pers. Jadi kita lihat acara TV, koran, atau radio mana yang bagus. Jika isinya dianggap tidak baik, maka SIUPP akan dihentikan (Devina, 2022).

3. Pelaksanaan Referendum Timor-Timur 

Pada 27 Januari 1999, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan opsi dalam penyelesaian Timor Timur. Pemerintah memiliki dua opsi untuk masa depan terkait wilayah Timor Timur, termasuk menerima atau menolak adanya otonomi khusus. Konsekuensi dari dua opsi tersebut, tercapainya perjanjian segitiga di New York yang dihadiri pemerintah Indonesia, Portugal dan PBB, membahas referendum di Timor Timur dan pemeliharaan perdamaian dan keamanan di Timor Timur (Saptohadi, 2013).

Referendum dibagi menjadi tujuh tahapan. Yang pertama adalah tahap perencanaan dan pelaksanaan dari tanggal 10 Mei sampai dengan 15 Juni 1999. Yang kedua adalah tahap sosialisasi/informasi publik dari tanggal 10 Mei sampai dengan 15 Agustus 1999. Yang ketiga adalah tahap persiapan dan pendaftaran dari tanggal 13 Juni sampai dengan 17 Juli 1999. Tahap keempat adalah tahap pengajuan keberatan terhadap daftar peserta jajak pendapat 18 sampai 23 Juli 1999. Tahap kelima adalah tahap kampanye politik dari 20 Juli sampai 5 Agustus 1999. Keenam masa tenang, 6 sampai 7 Agustus 1999. Dan ketujuh masa pemilu, 8 Agustus 1999 (Andrianto, 2013).

Dari waktu yang sudah ada tersebut terdapat beberapa tahapan yang mengalami kemunduran. Tahap pendaftaran dimulai pada tanggal 16 Juli -- 4 Agustus 1999. Kemudian tahap kampanye tiga hari sebelum jajak pendapat, dari tanggal 11 sampai 27 Agustus 1999. Sedangkan pelaksanaan jajak pendapat pada tanggal 30 Agustus 1999. Dan pengumuman hasil jajak pendapat pada tanggal 4 September 1999 (Cunino, 2015).

Pemungutan suara tak hanya dilakukan di Timor-Timur saja tetapi dilakukan di kota-kota besar Indonesia seperti Ujungpandang, Denpasar, Surabaya, Yogyakarta dan Jakarta. Dan juga dilakukan di ibu kota negara-negara di dunia seperti New York, Melbourne, Sidney, Darwin, Perth, Mapotu, Macau dan Lisbon serta beberapa kota lainnya. Hasil jajak pendapat diumumkan 4 September 1999, tiga hari lebih cepat dari jadwal semula bertempat di Dili (Cunino, 2015).

Presiden BJ Habibie menyampaikan pidatonya pada tanggal 30 Agustus 1999 untuk memberikan ajakan kepada setiap rakyat Timor-Timur dalam berpartisipasi memilih pilihan yang tepat. Serta sekjen PBB memberikan ucapan selamat atas terlaksananya jejak pendapat kepada rakyat Timor Timur (Sembiring et al., 2013).

Hitungan suara hasil jejak pendapat memenangkan kelompok pro kemerdekaan. Rincian dalam surat suara jejak pendapat Timor-Timur berjumlah 446.953; dengan jumlah suara yang sah 438.968 atau 98,2% dan jumlah suara yang tidak sah sebanyak 7.985 atau 1,8%. Hasil jejak pendapat menginginkan adanya otonomi secara luas dalam Kesatuan Republik Indonesia sebanyak 94.388 suara atau 21,5%, sedangkan lainnya memilih untuk merdeka dengan jumlah suara 344.580 atau 78,5% (Cunino, 2015). Sehingga saat itu Timor-Timur secara resmi melepaskan diri dari kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Fikri, 2013).

Setelah Timor Timur dinyatakan merdeka, kekerasan terus meningkat di seluruh wilayah Timor Timur dalam bentuk penculikan, pembunuhan, perusakan, pemerkosaan, penjarahan harta benda dan rumah, pembakaran dan penghancuran instalasi militer, kantor dan rumah penduduk dengan kekerasan. Situasi ini mendorong PBB untuk bertindak dengan mengeluarkan Resolusi No. 1264 pada tanggal 15 September 1999, dimana pemerintah Indonesia secara tegas menuntut agar para pihak yang terlibat diadili (Saptohadi, 2013).

4. Pemisahan TNI dan Polri 

Pada tahun 1999 juga dikenalkan kebijakan pemisahan ABRI, memisahkan TNI dari Polri sesuai dengan misinya, yaitu TNI dari sektor pertahanan dan Polri dari sektor keamanan (Devina, 2022). Pada bulan Agustus tahun 1998, elit militer Indonesia mempertimbangkan kembali terkait adanya dwifungsi ABRI. Rapat yang dilakukan sejumlah Direksi ABRI saat itu menghasilkan sebuah keputusan dimana dwifungsi ABRI tidak lagi digunakan. Langkah ini sangat fenomenal karena sudah digunakan selama pemerintahan Soeharto berkuasa 32 tahun. Pada saat yang sama, Polri memisahkan diri dari ABRI. Pemisahan ini dilaksanakan melalui Ketetapan MPR VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri. Kemudian diperkuat dengan Ketetapan MPR VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri. Sejak itu Polri berdikari dan nama resmi TNI kembali menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) (Supriatma, 2019).

5. Pelaksanaan Pemilu 1999 

Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1999 tak terlepas dari UndangUndang No 3 Tahun 1999 bentukan DPR RI periode 1997-1999 bersama Presiden BJ Habibie. Dalam hal penyusunannya terdapat perbedaan diantara empunya kebijakan itu. Perbedaan itu lebih mengarah kepada penerapan sistem pemilu yang akan diterapkan. Pihak pemerintah mengusulkan untuk menggunakan sistem distrik yang dikombinasikan dengan sistem proporsional dengan alasan paling akuntabel dan bisa dipertanggungjawabkan secara teori dan praktek. Sedangkan pihak DPR sangat menginginkan sistem yang sudah diterapkan pada masa Orde Baru yaitu sistem proporsional tertutup dengan alasan masyarakat belum terbiasa dengan sistem distrik dan kondisi geopolitik di Indonesia yang tersebar ke berbagai pulau (Pahlevi, 2014).

Dalam hal jumlah partisipasi partai politik sebagai peserta pemilu tahun 1999 memiliki perbedaan dengan masa Orde Baru karena menerapkan sistem multipartai. Langkah yang dilakukan pemerintah untuk memverifikasi partai politik peserta pemilu dengan menyusun Panitia Persiapan Pembentukan Komisi Pemilihan Umum (P3KPU) atau tim sebelas. Terdapat enam puluh partai politik yang terdaftar secara administrative. Tetapi setelah tim sebelas melakukan verifikasi hanya tercatat ada empat puluh delapan partai politik yang terdaftar sebagai peserta pemilu tahun 1999 dan dua belas partai politik gagal lulus verifikasi (Reiza et al., 2001). Banyaknya jumlah peserta pemilu menjadikan masyarakat terdapat banyak pilihan dalam memilih partai politik yang sesuai dengan keinginannya- meskipun di lain sisi terdapat kebingungan (Pahlevi, 2014).

Sejak pemilu 1971, untuk pertama kalinya pada pemilu 1999 tidak meletakkan pemerintah sebagai pelaksana melainkan Menteri Dalam Negeri yang ditunjuk sebagai ketua pemilihan umum. Dan dengan Keppres No. 77/M/1999 tanggal 10 Maret 1999, yang memuat pengangkatan lima wakil dari pemerintah dan empat puluh delapan wakil dari partai politik sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sehingga berakhir pula tugas Lembaga Pemilihan Umum (LPU) (Reiza et al., 2001). Menurut KPU, 306 kabupaten/kota administratif, 4.029 kecamatan, 61.668 kelurahan/desa dan sekitar 200.000 Tempat Pemungutan Suara (TPS) terdaftar saat itu (Arinanto, 2017).

Asas yang digunakan dalam pemilu tahun 1999 yaitu Luber Jurdil. Langsung, yaitu setiap pemilih mempunyai hak dalam memilih secara langsung menyesuaikan hati nuraninya, tanpa adanya pihak lain atau perantara. Secara umum, ketika sudah berusia 17 tahun dan diatas 21 tahun sudah memiliki hak dalam memilih. Bebas yaitu setiap orang mempunyai hak dalam memilih tanpa adanya intervensi ataupun paksaan oleh pihak manapun. Rahasia yaitu setiap warga negara dijamin pilihannya bahwa tidak ada yang mengetahuinya sama sekali. Jujur yaitu setiap orang yang terlibat dalam pemilu harus bertindak dan bertindak jujur sesuai dengan ketentuan yang ada. Dan adil yaitu orang yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu mendapat perlakuan yang sama (Wijaya & Permatasari, 2018).

Pemilu tahun 1999 menyebabkan penentuan jumlah anggota yang ada di DPR dan MPR. Akibatnya, MPR harus menggelar sidang umum yang berlangsung dari tanggal 1 sampai 21 Oktober 1999. Pada sidang ini, yang terpilih sebagai ketua MPR yaitu Amien Rais dan ketua DPR, Akbar Tanjung. Dan di Sidang Paripurna MPR keXII, MPR menolak laporan Presiden BJ Habibie. Mekanisme penolakan dengan pemungutan suara (322 diterima, 355 ditolak, 9 suara kosong dan 4 suara tidak sah). Akibat adanya penolakan ini, BJ Habibie tidak dapat menjadi calon presiden. Ada tiga calon presiden dari Fraksi MPR yaitu Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri dan Yusril Ihza Mahendra (Wijaya & Permatasari, 2018).

Sebanyak 105.846.177 pemilih dari 117.817.405 orang yang memiliki hak pilih. Kalkulasinya sebesar 89,84% jumlah penduduk yang memiliki hak pilih berpartisipasi dalam pemilu tertanggal 7 Juni 1999. Hasil akhir ditandatangani pada 26 Juli 1999 oleh tujuh belas dari empat puluh delapan partai dan lima perwakilan pemerintah. Partai yang menolak menandatangani hasil pemilu dikarenakan pemilu belum terlaksana dengan jujur dan adil dengan mengajukan keberatan ketika rapat pleno. Setelah itu hasil pleno diberikan presiden kepada Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Dan keputusan Panwaslu menyatakan hasil pemilu sah karena partai yang mengajukan penolakan tidak menyertai data tertulis untuk menguatkan persoalannya (Sembiring et al., 2013).

Untuk mengukuhkan keabsahan hasil pemilu, Presiden BJ Habibie mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 92 Tahun 1999 pada tanggal 7 Juni 1999 sebagai dasar hukum pengukuhan hasil pemilu. Dan Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) yang diketuai Jacob Tobin menyebut hanya 21 partai di DPR RI yang boleh mengisi kursi, antara lain PDI Perjuangan dengan total 153 kursi, Golkar 120 kursi, PPP 58 kursi, PKB 51 kursi, PAN 34 kursi, PBB 13 kursi, PK 7 kursi, PNU 5 kursi, PDKB 5 kursi, PKP 4 kursi, dan PDI 2 kursi. Sedangkan PKD, PBI, PPII, PSII, PNI Massa Marhaen, Masyumi, PDR, IPKI, PP dan PKU yang masing-masing mempunyai raihan satu kursi (Sembiring et al., 2013). Pemilu legislatif tahun 1999 menjadi peletak dasar pertama pemilu yang paling bebas dan demokratis sejak pemilu tahun 1955 (Utami, 2022).

6. Proses Amandemen Pertama UUD 1945

Proses Amandemen Pertama UUD 1945 terjadi pada masa pemerintahannya setelah jatuhnya Orde Baru. Kebijakan ini dilakukan sebagai bagian dari reformasi pasca-Orde Baru, yang ditandai oleh krisis kepercayaan dan krisis moneter tahun 1997. Tujuan dari amandemen ini adalah untuk memberikan payung hukum bagi perubahan yang akan terjadi dan untuk memberikan lebih banyak kekuasaan kepada legislatif.

Pada 14-21 Oktober 1999, dalam Sidang Umum MPR 1999, amandemen pertama UUD 1945 dilakukan. Amandemen ini meliputi 9 pasal dan 16 ayat, dengan tujuan untuk memperbaiki sistem konstitusi yang masih bersifat sarat eksekutif. Kebijakan ini mencakup beberapa perubahan, seperti memisahkan Jaksa Agung dan Bank Indonesia dari jajaran kabinet untuk meningkatkan independensi kedua lembaga tersebut. Selain itu, rencana memisahkan jabatan Menhankam dengan Panglima ABRI juga diusulkan, dengan tujuan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan.

Percepatan Pemilu juga menjadi bagian dari kebijakan B.J. Habibie dalam Proses Amandemen Pertama UUD 1945. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi dan untuk memastikan kestabilan politik di Indonesia. Dengan demikian, kebijakan B.J. Habibie dalam Proses Amandemen Pertama UUD 1945 dapat dilihat sebagai langkah penting dalam meningkatkan demokrasi dan mengembangkan sistem konstitusi yang lebih seimbang di Indonesia.

C. Kebijakan Hukum

Ide Otonomi Daerah adalah gagasan hukum yang menonjol pada masa pemerintahan Habibie. Luasnya wilayah Indonesia memiliki karakteristik dan budaya yang berbeda membuat otonomi daerah perlu diwujudkan. Maka presiden Habibie mengeluarkan Undang-undang Nomor 22 tentang Pemerintahan Daerah tahun 1999 (Utami, 2022). Ia menghilangkan ciri sentralisasi pada masa Orde Baru. Dengan digantikannya UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah dengan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah (Utomo, 2021). Kedua undang-undang ini sangat mewakili semangat demokrasi dan konsekuensinya dapat kita rasakan saat ini.

Kesimpulan

Dalam masa pemerintahannya yang terbilang singkat, Habibie layak menjadi bapak demokrasi Indonesia. Pemerintahan Habibie merupakan pemerintahan yang tidak terlalu dikenal dalam ingatan masyarakat Indonesia, namun ia berhasil menghilangkan otoritarianisme Orde Baru. Prinsip panduan BJ Habibie melakukan transformasi pemerintahan Indonesia dengan adanya jaminan terhadap kesetaraan dan kebebasan. Tanpa kesetaraan dan kebebasan, dan demokrasi yang berlaku di masyarakat hanyalah sebuah penipuan. Tampaknya Habibie belajar dari kelamnya era sosio-politik yang dialami Jerman pada masa perang dunia kedua, sehingga ingin merekontruksi kembali masyarakat Indonesia yang humanis-demokratis. Oleh karena itu, Habibie hidup sesuai dengan nilai-nilai demokrasi pada masa pemerintahannya untuk memulai sejarah baru dalam masyarakat Indonesia.

DAFTAR REFERENSI

Rangkuti, M. (2023, November 18). Biografi BJ Habibie: Presiden Ketiga Indonesia. Retrieved from https://fahum.umsu.ac.id:https://fahum.umsu.ac.id/biografi-bj-habibie-presiden-ketiga-indonesia/

Achidsti, S. A. (2016). Kepemimpinan Negara Krisis: (Kajian Langkah dan Kebijakan Pemerintah BJ. Habibi dalam Konteks Masa Transisi 1998-1999). UniversitasGajah Mada.

Yafi, R. A. Kebijakan Historis BJ Habibie Berdampak Transformasi Menuju Demokrasi. Jurnal Paradigma: Jurnal Multidisipliner Mahasiswa Pascasarjana Indonesia, 4(2), 64-73.

Kurniawan, A. D., Sukriono, D., & Al Atok, R. BJ Habibie's Political Thought in Democratization in Indonesia Pemikiran Politik Bj. Habibie dalam Demokratisasi di Indonesia.

Devina, V. (2022). Daftar Presiden Era Reformasi dan Kebijakannya -- Materi Sejarah Kelas 12. Zenius.Net.www.zenius.net:https://www.zenius.net/blog/presidenkebijakan-reformasi

Wijaya, J. H., & Permatasari, I. A. (2018). Capaian Masa Pemerintahan Presiden BJ. Habibie dan Megawati di Indonesia. Cakrawala Jurnal Litbang Kebijakan, 12(2)

AUTHOR :

  • Nabila Cautsar Gitara_nabila.23452@mhs.unesa.ac.id
  • Rochmy Aisiyah_rochmy.23455@mhs.unesa.ac.id
  • Widi Ayu Hapsari_widi.23456@mhs.unesa.ac.id
  • Sebastian Leon Arlen_sebastian.23463@mhs.unesa.ac.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun