Asas yang digunakan dalam pemilu tahun 1999 yaitu Luber Jurdil. Langsung, yaitu setiap pemilih mempunyai hak dalam memilih secara langsung menyesuaikan hati nuraninya, tanpa adanya pihak lain atau perantara. Secara umum, ketika sudah berusia 17 tahun dan diatas 21 tahun sudah memiliki hak dalam memilih. Bebas yaitu setiap orang mempunyai hak dalam memilih tanpa adanya intervensi ataupun paksaan oleh pihak manapun. Rahasia yaitu setiap warga negara dijamin pilihannya bahwa tidak ada yang mengetahuinya sama sekali. Jujur yaitu setiap orang yang terlibat dalam pemilu harus bertindak dan bertindak jujur sesuai dengan ketentuan yang ada. Dan adil yaitu orang yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu mendapat perlakuan yang sama (Wijaya & Permatasari, 2018).
Pemilu tahun 1999 menyebabkan penentuan jumlah anggota yang ada di DPR dan MPR. Akibatnya, MPR harus menggelar sidang umum yang berlangsung dari tanggal 1 sampai 21 Oktober 1999. Pada sidang ini, yang terpilih sebagai ketua MPR yaitu Amien Rais dan ketua DPR, Akbar Tanjung. Dan di Sidang Paripurna MPR keXII, MPR menolak laporan Presiden BJ Habibie. Mekanisme penolakan dengan pemungutan suara (322 diterima, 355 ditolak, 9 suara kosong dan 4 suara tidak sah). Akibat adanya penolakan ini, BJ Habibie tidak dapat menjadi calon presiden. Ada tiga calon presiden dari Fraksi MPR yaitu Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri dan Yusril Ihza Mahendra (Wijaya & Permatasari, 2018).
Sebanyak 105.846.177 pemilih dari 117.817.405 orang yang memiliki hak pilih. Kalkulasinya sebesar 89,84% jumlah penduduk yang memiliki hak pilih berpartisipasi dalam pemilu tertanggal 7 Juni 1999. Hasil akhir ditandatangani pada 26 Juli 1999 oleh tujuh belas dari empat puluh delapan partai dan lima perwakilan pemerintah. Partai yang menolak menandatangani hasil pemilu dikarenakan pemilu belum terlaksana dengan jujur dan adil dengan mengajukan keberatan ketika rapat pleno. Setelah itu hasil pleno diberikan presiden kepada Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Dan keputusan Panwaslu menyatakan hasil pemilu sah karena partai yang mengajukan penolakan tidak menyertai data tertulis untuk menguatkan persoalannya (Sembiring et al., 2013).
Untuk mengukuhkan keabsahan hasil pemilu, Presiden BJ Habibie mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 92 Tahun 1999 pada tanggal 7 Juni 1999 sebagai dasar hukum pengukuhan hasil pemilu. Dan Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) yang diketuai Jacob Tobin menyebut hanya 21 partai di DPR RI yang boleh mengisi kursi, antara lain PDI Perjuangan dengan total 153 kursi, Golkar 120 kursi, PPP 58 kursi, PKB 51 kursi, PAN 34 kursi, PBB 13 kursi, PK 7 kursi, PNU 5 kursi, PDKB 5 kursi, PKP 4 kursi, dan PDI 2 kursi. Sedangkan PKD, PBI, PPII, PSII, PNI Massa Marhaen, Masyumi, PDR, IPKI, PP dan PKU yang masing-masing mempunyai raihan satu kursi (Sembiring et al., 2013). Pemilu legislatif tahun 1999 menjadi peletak dasar pertama pemilu yang paling bebas dan demokratis sejak pemilu tahun 1955 (Utami, 2022).
6. Proses Amandemen Pertama UUD 1945
Proses Amandemen Pertama UUD 1945 terjadi pada masa pemerintahannya setelah jatuhnya Orde Baru. Kebijakan ini dilakukan sebagai bagian dari reformasi pasca-Orde Baru, yang ditandai oleh krisis kepercayaan dan krisis moneter tahun 1997. Tujuan dari amandemen ini adalah untuk memberikan payung hukum bagi perubahan yang akan terjadi dan untuk memberikan lebih banyak kekuasaan kepada legislatif.
Pada 14-21 Oktober 1999, dalam Sidang Umum MPR 1999, amandemen pertama UUD 1945 dilakukan. Amandemen ini meliputi 9 pasal dan 16 ayat, dengan tujuan untuk memperbaiki sistem konstitusi yang masih bersifat sarat eksekutif. Kebijakan ini mencakup beberapa perubahan, seperti memisahkan Jaksa Agung dan Bank Indonesia dari jajaran kabinet untuk meningkatkan independensi kedua lembaga tersebut. Selain itu, rencana memisahkan jabatan Menhankam dengan Panglima ABRI juga diusulkan, dengan tujuan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan.
Percepatan Pemilu juga menjadi bagian dari kebijakan B.J. Habibie dalam Proses Amandemen Pertama UUD 1945. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi dan untuk memastikan kestabilan politik di Indonesia. Dengan demikian, kebijakan B.J. Habibie dalam Proses Amandemen Pertama UUD 1945 dapat dilihat sebagai langkah penting dalam meningkatkan demokrasi dan mengembangkan sistem konstitusi yang lebih seimbang di Indonesia.
C. Kebijakan Hukum
Ide Otonomi Daerah adalah gagasan hukum yang menonjol pada masa pemerintahan Habibie. Luasnya wilayah Indonesia memiliki karakteristik dan budaya yang berbeda membuat otonomi daerah perlu diwujudkan. Maka presiden Habibie mengeluarkan Undang-undang Nomor 22 tentang Pemerintahan Daerah tahun 1999 (Utami, 2022). Ia menghilangkan ciri sentralisasi pada masa Orde Baru. Dengan digantikannya UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah dengan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah (Utomo, 2021). Kedua undang-undang ini sangat mewakili semangat demokrasi dan konsekuensinya dapat kita rasakan saat ini.
Kesimpulan