Dari waktu yang sudah ada tersebut terdapat beberapa tahapan yang mengalami kemunduran. Tahap pendaftaran dimulai pada tanggal 16 Juli -- 4 Agustus 1999. Kemudian tahap kampanye tiga hari sebelum jajak pendapat, dari tanggal 11 sampai 27 Agustus 1999. Sedangkan pelaksanaan jajak pendapat pada tanggal 30 Agustus 1999. Dan pengumuman hasil jajak pendapat pada tanggal 4 September 1999 (Cunino, 2015).
Pemungutan suara tak hanya dilakukan di Timor-Timur saja tetapi dilakukan di kota-kota besar Indonesia seperti Ujungpandang, Denpasar, Surabaya, Yogyakarta dan Jakarta. Dan juga dilakukan di ibu kota negara-negara di dunia seperti New York, Melbourne, Sidney, Darwin, Perth, Mapotu, Macau dan Lisbon serta beberapa kota lainnya. Hasil jajak pendapat diumumkan 4 September 1999, tiga hari lebih cepat dari jadwal semula bertempat di Dili (Cunino, 2015).
Presiden BJ Habibie menyampaikan pidatonya pada tanggal 30 Agustus 1999 untuk memberikan ajakan kepada setiap rakyat Timor-Timur dalam berpartisipasi memilih pilihan yang tepat. Serta sekjen PBB memberikan ucapan selamat atas terlaksananya jejak pendapat kepada rakyat Timor Timur (Sembiring et al., 2013).
Hitungan suara hasil jejak pendapat memenangkan kelompok pro kemerdekaan. Rincian dalam surat suara jejak pendapat Timor-Timur berjumlah 446.953; dengan jumlah suara yang sah 438.968 atau 98,2% dan jumlah suara yang tidak sah sebanyak 7.985 atau 1,8%. Hasil jejak pendapat menginginkan adanya otonomi secara luas dalam Kesatuan Republik Indonesia sebanyak 94.388 suara atau 21,5%, sedangkan lainnya memilih untuk merdeka dengan jumlah suara 344.580 atau 78,5% (Cunino, 2015). Sehingga saat itu Timor-Timur secara resmi melepaskan diri dari kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Fikri, 2013).
Setelah Timor Timur dinyatakan merdeka, kekerasan terus meningkat di seluruh wilayah Timor Timur dalam bentuk penculikan, pembunuhan, perusakan, pemerkosaan, penjarahan harta benda dan rumah, pembakaran dan penghancuran instalasi militer, kantor dan rumah penduduk dengan kekerasan. Situasi ini mendorong PBB untuk bertindak dengan mengeluarkan Resolusi No. 1264 pada tanggal 15 September 1999, dimana pemerintah Indonesia secara tegas menuntut agar para pihak yang terlibat diadili (Saptohadi, 2013).
4. Pemisahan TNI dan PolriÂ
Pada tahun 1999 juga dikenalkan kebijakan pemisahan ABRI, memisahkan TNI dari Polri sesuai dengan misinya, yaitu TNI dari sektor pertahanan dan Polri dari sektor keamanan (Devina, 2022). Pada bulan Agustus tahun 1998, elit militer Indonesia mempertimbangkan kembali terkait adanya dwifungsi ABRI. Rapat yang dilakukan sejumlah Direksi ABRI saat itu menghasilkan sebuah keputusan dimana dwifungsi ABRI tidak lagi digunakan. Langkah ini sangat fenomenal karena sudah digunakan selama pemerintahan Soeharto berkuasa 32 tahun. Pada saat yang sama, Polri memisahkan diri dari ABRI. Pemisahan ini dilaksanakan melalui Ketetapan MPR VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri. Kemudian diperkuat dengan Ketetapan MPR VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri. Sejak itu Polri berdikari dan nama resmi TNI kembali menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) (Supriatma, 2019).
5. Pelaksanaan Pemilu 1999Â
Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1999 tak terlepas dari UndangUndang No 3 Tahun 1999 bentukan DPR RI periode 1997-1999 bersama Presiden BJ Habibie. Dalam hal penyusunannya terdapat perbedaan diantara empunya kebijakan itu. Perbedaan itu lebih mengarah kepada penerapan sistem pemilu yang akan diterapkan. Pihak pemerintah mengusulkan untuk menggunakan sistem distrik yang dikombinasikan dengan sistem proporsional dengan alasan paling akuntabel dan bisa dipertanggungjawabkan secara teori dan praktek. Sedangkan pihak DPR sangat menginginkan sistem yang sudah diterapkan pada masa Orde Baru yaitu sistem proporsional tertutup dengan alasan masyarakat belum terbiasa dengan sistem distrik dan kondisi geopolitik di Indonesia yang tersebar ke berbagai pulau (Pahlevi, 2014).
Dalam hal jumlah partisipasi partai politik sebagai peserta pemilu tahun 1999 memiliki perbedaan dengan masa Orde Baru karena menerapkan sistem multipartai. Langkah yang dilakukan pemerintah untuk memverifikasi partai politik peserta pemilu dengan menyusun Panitia Persiapan Pembentukan Komisi Pemilihan Umum (P3KPU) atau tim sebelas. Terdapat enam puluh partai politik yang terdaftar secara administrative. Tetapi setelah tim sebelas melakukan verifikasi hanya tercatat ada empat puluh delapan partai politik yang terdaftar sebagai peserta pemilu tahun 1999 dan dua belas partai politik gagal lulus verifikasi (Reiza et al., 2001). Banyaknya jumlah peserta pemilu menjadikan masyarakat terdapat banyak pilihan dalam memilih partai politik yang sesuai dengan keinginannya- meskipun di lain sisi terdapat kebingungan (Pahlevi, 2014).
Sejak pemilu 1971, untuk pertama kalinya pada pemilu 1999 tidak meletakkan pemerintah sebagai pelaksana melainkan Menteri Dalam Negeri yang ditunjuk sebagai ketua pemilihan umum. Dan dengan Keppres No. 77/M/1999 tanggal 10 Maret 1999, yang memuat pengangkatan lima wakil dari pemerintah dan empat puluh delapan wakil dari partai politik sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sehingga berakhir pula tugas Lembaga Pemilihan Umum (LPU) (Reiza et al., 2001). Menurut KPU, 306 kabupaten/kota administratif, 4.029 kecamatan, 61.668 kelurahan/desa dan sekitar 200.000 Tempat Pemungutan Suara (TPS) terdaftar saat itu (Arinanto, 2017).