Mohon tunggu...
Robi Tri Wahyudi
Robi Tri Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seseorang yang menyukai jingga di kala senja

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Miskonsepsi Pembelajaran Berdiferensiasi: Haruskah Mengelompokkan Peserta Didik Berdasarkan Gaya Belajar?

6 Desember 2023   19:03 Diperbarui: 7 Desember 2023   08:11 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sejak diterapkan Kurikulum Merdeka, guru banyak bertanya-tanya, pembelajaran apa yang sesuai untuk diimplementasikan pada kurikulum baru ini. Kurikulum Merdeka memiliki ciri khas, yaitu bagaimana siswa mampu belajar sesuai dengan kodratnya, artinya pembelajaran yang diterapkan mesti sesuai dengan karakter, minat, dan bakat mereka. Kurikulum Merdeka juga menuntut siswa untuk dapat mengeksplorasi bakat dan keterampilan mereka sesuai dengan perkembangan zaman dan keadaan lingkungan tempat mereka berada. Maka sesuailah bahwa Kurikulum Merdeka membawa marwah pendidikan dari Ki Hajar Dewantara, yakni pembelajaran harus sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zaman.

Salah satu pembelajaran yang menjadi andalan untuk diterapkan pada Kurikulum Merdeka adalah pembelajaran berdiferensiasi. Saking menjadi andalan, banyak sekali para guru konten kreator yang menyuguhkan konten-konten video bagaimana pembelajaran berdiferensiasi diterapkan. Pelatihan-pelatihan tentang pembelajaran berdiferensiasi juga sudah banyak, baik yang diselenggarakan oleh Balai Guru Penggerak maupun oleh lembaga-lembaga pendidikan lain.

Lantas apa itu pembelajaran berdiferensiasi? Pembelajaran berdiferensiasi, sebenarnya bukanlah produk baru di dunia pendidikan. Sudah sejak lama para pakar pendidik menjelaskan dan menginisiasi pembelajaran ini. Namun penulis hanya membicarakan salah satu pendapat dari tokoh  pembelajaran berdiferensiasi, Carol Tolimson (2017), pembelajaran berdiferensiasi adalah peserta didik mengalami proses belajar sesuai dengan kemampuan, apa yang disukai, dan kebutuhan masing-masing agar mereka tidak merasa gagal dalam pengalaman belajar mereka. Artinya, guru perlu menyadari bahwa tidak hanya ada satu  strategi atau metode dalam proses belajar mengajar, guru pun juga harus sadar untuk perlu mempersiapkan bahan ajar, media, kegiatan, dan asesmen yang sesuai dengan keragaman peserta didik.

Adapun menurut Tolimson (2017) keragaman peserta didik yang perlu diperhatikan dalam menyiapkan proses belajar mengajar di kelas, setidaknya ada 3 aspek. Pertama, kesiapan. Maksud dari kesiapan di sini adalah kesiapan peserta didik dalam mengikuti pembelajaran baik mental maupun pengetahuan dan keterampilan. Untuk itu sebelum memulai pembelajaran atau sebelum tahun ajaran baru dimulai, guru perlu menanyakan kesiapan ini ke peserta didik dalam bentuk asesmen diagnostik. Misal untuk kesiapan mental, guru dapat menanyakan tentang pengalaman mereka belajar di sekolah atau di rumah, hal-hal apa yang dapat membantu peserta didik belajar dengan mudah, dan hal-hal apa yang dapat menghambat peserta didik dalam belajar. Untuk kesiapan pengetahuan dan keterampilan, guru dapat membuat semacam asesmen sederhana terkait materi pembelajaran sebelumnya dan pembelajaran yang akan dilaksanakan. Akan tetapi, perlu diingat bahwa selain guru melakukan asesmen yang cenderung berupa pertanyaan, aspek kesiapan ini dapat pula guru peroleh melalui observasi dari keseharian peserta didik atau pada perkembangan mereka di tahun ajaran sebelumnya.

Aspek yang kedua adalah minat. Minat memiliki peran dalam menunjang motivasi peserta didik dalam belajar. Sebagai contoh, jika peserta didik memiliki minat pada sepak bola, maka mereka akan lebih menyukai membaca sebuah teks pembelajaran yang memuat hal tentang sepak bola atau tentang tokoh pemain sepak bola terkenal. Jika peserta didik memiliki minat pada musik, misal musik K-Pop, tentu peserta didik cenderung menyukai hal-hal yang berbau K-Pop, seperti anggota boyband atau girlband terkenal. Ini penting bagi guru untuk mengetahui minat peserta didik, gunanya adalah saat membuat media pembelajaran, guru dapat memuat unsur-unsur yang menjadi minat peserta didik, seperti media gambar, video, contoh kalimat, atau teks tertentu.

Aspek ketiga adalah profil peserta didik. Profil di sini mengacu pada karakter atau cara peserta didik dalam belajar. Misal ada peserta didik yang suka belajar secara individu, ada peserta didik yang menyukai belajar dalam kelompok kecil, dan ada pula peserta didik yang suka belajar dalam kelompok besar. Selain itu, guru juga perlu memperhatikan kondisi dari peserta didik juga, misal peserta didik yang memiliki keterbatasan penglihatan (rabun), maka guru harus memberikan tempat duduk di bangku depan atau jangan sampai media pembelajaran yang ditampilkan baik gambar, teks, dan video terlihat sangat kecil dan kurang jelas.

Dari ketiga aspek tersebut, guru perlu memikirkan dan mengusahakan suatu pembelajaran yang dapat mengakomodir ketiga aspek agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Pembelajaran yang seperti inilah yang dinamakan pembelajaran berdiferensiasi. Pembelajaran berdiferensiasi pun mencakup beberapa elemen. Elemen ini yang menjadi kendali guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas.

Elemen Pembelajaran Berdiferensiasi

Pembelajaran berdiferensiasi yang pertama adalah berdiferensiasi konten. Maksud konten adalah apa yang akan diajarkan oleh guru atau apa yang akan dipelajari oleh peserta didik. Sehingga pembelajaran berdiferensiasi konten, materi pembelajaran mesti menyesuaikan  pada tingkat kesiapan peserta didik dan minat mereka. Disamping itu, guru juga perlu menyesuaikan dengan profil peserta didiknya agar konten yang diajarkan dapat diterima oleh mereka. Konsekuensi dari hal ini adalah, guru perlu menggunakan materi dan media yang bervariasi serta menyajikan materi dengan berbagai moda pembelajaran.

Elemen selanjutnya adalah berdiferensiasi proses. Artinya adalah, aktivitas atau kegiatan - kegiatan yang dilakukan oleh peserta didik.  Tentu kegiatan yang dilakukan adalah kegiatan yang bermakna bukan kegiatan yang tidak memiliki kolerasi terhadap apa yang sedang dipelajari. Kegiatan pembelajaran yang sangat dianjurkan saat di kelas adalah kegiatan yang dapat menumbuhkan motivasi, kepercayaan diri, dan kolaboratif antar peserta didik. Contoh, pada aspek kesiapan, kegiatan yang dapat dilakukan adalah guru dapat memberikan pertanyaan pemantik yang berbeda sesuai dengan level pemahaman peserta didik. Peserta didik juga dapat menerapkan pembelajaran Think-Pair-Share, ataupun melakukan brainstorming sebelum memulai pembelajaran inti. 

Pada elemen minat, peserta didik dapat membahas suatu topik dalam kelompok sesuai dengan kesamaan minat mereka. Misal, peserta didik memiliki minat pada sepak bola, maka mereka membahas teks tentang sepakbola, jika mereka memiliki minat pada bulu tangkis, maka mereka berdiskusi tentang bulu tangkis. Selanjutnya, pada elemen profil belajar, pelaksanaan diskusi atau aktivitas belajar dapat menggunakan berbagai strategi, misal pelaksanaan diskusi dengan media podcast, chatting, atau talk show. Kemudian bisa juga melakukan role play sesuai dengan peran dan topik kesukaan mereka dan penerapan pembelajaran secara berpasangan, kelompok kecil, dan kelompok besar.

Selanjutnya adalah elemen berdiferensiasi produk. Produk merupakan hasil akhir dari pembelajaran untuk menunjukkan pemahaman pengetahuan dan keterampilan peserta didik setelah menyelesaikan pembelajaran. Produk sifatnya sumatif, artinya merupakan hasil akhir setelah peserta didik menyelesaikan  satu unit pembelajaran dan biasanya memerlukan waktu yang lama. Bahkan, seringkali diselesaikan di luar jam sekolah. Contoh dari produk ini seperti pagelaran drama, pameran seni, produk pelajaran IPA, video wawancara, monolog, puisi, dan lain sebagainya. Dengan melakukan diferensiasi, maka diharapkan peserta didik dapat menghasilkan produk yang beragam, sesuai dengan kemampuan, minat, dan kebutuhan mereka. Misal dalam pembelajaran Bahasa Inggris dengan materi Narrative Text, peserta didik dapat mengumpulkan produk berupa pentas drama, monolog, menulis cerpen, drama online, dan lain-lain.

Elemen terakhir adalah diferensiasi lingkungan belajar. Lingkungan belajar adalah bagaimana penempatan peserta didik dalam belajar, misal susunan bangku, tata letak ruangan kelas seperti letak papan pengumuman, letak poster, rak buku, dan lain-lain. Pembelajaran yang dilakukan di luar kelas (out door) pun merupakan salah satu contoh pembelajaran diferensiasi lingkungan kelas.

Miskonsepsi Pembelajaran Berdiferensiasi

Dalam pelaksanaan praktik penerapan pembelajaran berdiferensiasi, masih banyak guru mengalami miskonsepsi, sehingga sering kali terdengar keluhan dari beberapa rekan sejawat kalau pembelajaran berdiferensiasi itu sulit, melelahkan, menghabiskan tenaga, waktu, dan biaya yang tidak sedikit. Untuk itu, penulis sedikitnya merangkum 3 miskonsepsi yang paling sering dilakukan oleh beberapa guru.

1. Pembelajaran berdiferensiasi bukan pembelajaran untuk tiap individu

Pembelajaran berdiferensiasi bukan pembelajaran yang mengharuskan guru menyiapkan pembelajaran atau melakukan metode pembelajaran dengan 32 cara yang berbeda untuk 32 orang peserta didik. Guru bukan memberikan tugas yang berbeda kepada setiap peserta didik. Guru juga bukan memperbanyak soal untuk peserta didik berdasarkan level pemahaman tiap-tiap indidvidu, sehingga tiap individu bisa menerima soal yang berbeda-beda. Kalau seperti ini, wajar guru akan merasakan kelelahan yang luar biasa.

2. Pembelajaran berdiferensiasi bukan pembelajaran chaotic

Maksud pembelajaran chaotic atau semrawut adalah guru mesti berlari ke sana kemari untuk membantu tiap individu dalam proses pembelajaran. Misal guru membantu siswa A, kemudian membantu siswa B, lanjut terpontang-panting membantu siswa C dalam waktu pembelajaran yang bersamaan. Jika guru memberikan instruksi untuk setiap kegiatan pada setiap siswa, tentu akan mengakibatkan pembelajaran tidak terartur, dan waktu pencapain tujuan pembelajaran membutuhkan waktu yang lama.

 3. Pembelajaran berdiferensiasi bukan pembelajaran membentuk kelompok homogen

Mengelompokkan peserta didik dalam kelompok homogen merupakan miskonsepsi pembelajaran berdiferensiasi yang paling sering dilakukan. Seperti mengelompokkan  peserta didik dengan level pemahaman maju (advance), menengah (intermediate), dan dasar (elementary). Yang paling sering saat ini adalah mengelompokkan peserta didik berdasarkan kesamaan gaya belajar, yaitu kelompok peserta didik dengan gaya belajar visual, kelompok gaya belajar audiotory, dan kelompok gaya belajar kinestetik. Padahal banyak pakar pendidikan mengatakan bahwa tidak ada bukti ilmiah yang kuat dan meyakinkan gaya belajar siswa dapat mengoptimalkan proses belajar siswa. Berdasarkan hasil penelitian Rogowsky dkk (2015) mengatakan tidak ada kegunaan memberikan label kepada anak berdasarkan gaya belajarnya. Sebagai tambahan dari Furrey (2020) dalam majalah Education Next menyampaikan hasil penelitiannya di 29 negara bagian di Amerika Serikat, ternyata tidak ada hubungan antara gaya belajar dengan hasil belajar siswa. Ini artinya, bahwa siswa yang merasa  memiliki gaya belajar visual saat dites secara visual, hasilnya tidak ketimbang yang lain. Murid yang merasa memiliki gaya belajar audiotori, tetap akan mengalami kesulitan jika memahami materi matematika hanya melalui suara. Pada saat pembelajaran IPA, misal satu kelompok kinestetik melakukan praktik pratikum sedangkan satu kelompok yang lain hanya mengobservasi, padahal pembelajaran sains itu mencakup semua aspek pengalaman panca indera.

Lantas bagaimana pembelajaran berdiferensiasi sebaiknya dilakukan?

Hal yang mesti dilakukan dalam pembelajaran berdiferensiasi yang paling esensial adalah menyesuaikan dengan kemampuan awal dari peserta didik. Materi dan konten pembelajaran diharapkan mampu memberikan tantangan yang tepat untuk level pemahaman yang tepat pula.  Misal dalam pembelajaran Bahasa Inggris untuk mengajarkan Narrative Text, tentu sesuaikan level kesulitan teks yang diberikan sesuai dengan kemampuan peserta didik, namun tetap seorang guru memberikan suatu tantangan agar peserta didik dapat terpacu untuk meningkatkan level pemahaman mereka.

Selanjutnya, guru perlu melakukan variasi metode atau strategi pembelajaran, termasuk melakukan variasi konten, proses, dan produk. Perlu diingat dalam melakukan variasi, tidak mesti kita terapkan dalam satu topik pembelajaran, satu variasi saja misal variasi konten pun sudah mencukupi. Namun yang paling utama adalah guru mesti memberikan pengalaman belajar yang bervariasi untuk seluruh peserta didik, jadi bukan mengelompokkan mereka secara homogen. Sebagai contoh, dalam aktivitas pembelajaran yang mereka lakukan, guru memasukkan aktivitas pembelajaran visual, audiotori, dan kinestik kepada seluruh peserta didik. Sehingga setiap peserta didik mengalami pengalaman yang sama disamping mengoptimalkan gaya pembelajaran yang mereka lebih sukai. Termasuk dalam pembagian kelompok kecil dan besar, tidak melulu anak yang lebih suka belajar secara kelompok kecil terus menerus dalam kelompok kecil. Tetapi variasikan misal hari ini kelompok kecil, besok belajar dalam kelompok besar, selanjutnya belajar secara berpasangan atau individu. Dengan demikian, peserta didik akan terbiasa dalam menghadapi pengalaman dan situasi yang berbeda serta mampu beradaptasi pada setiap kondisi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun