Mohon tunggu...
Robi Tri Wahyudi
Robi Tri Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seseorang yang menyukai jingga di kala senja

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Miskonsepsi Pembelajaran Berdiferensiasi: Haruskah Mengelompokkan Peserta Didik Berdasarkan Gaya Belajar?

6 Desember 2023   19:03 Diperbarui: 7 Desember 2023   08:11 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Selanjutnya adalah elemen berdiferensiasi produk. Produk merupakan hasil akhir dari pembelajaran untuk menunjukkan pemahaman pengetahuan dan keterampilan peserta didik setelah menyelesaikan pembelajaran. Produk sifatnya sumatif, artinya merupakan hasil akhir setelah peserta didik menyelesaikan  satu unit pembelajaran dan biasanya memerlukan waktu yang lama. Bahkan, seringkali diselesaikan di luar jam sekolah. Contoh dari produk ini seperti pagelaran drama, pameran seni, produk pelajaran IPA, video wawancara, monolog, puisi, dan lain sebagainya. Dengan melakukan diferensiasi, maka diharapkan peserta didik dapat menghasilkan produk yang beragam, sesuai dengan kemampuan, minat, dan kebutuhan mereka. Misal dalam pembelajaran Bahasa Inggris dengan materi Narrative Text, peserta didik dapat mengumpulkan produk berupa pentas drama, monolog, menulis cerpen, drama online, dan lain-lain.

Elemen terakhir adalah diferensiasi lingkungan belajar. Lingkungan belajar adalah bagaimana penempatan peserta didik dalam belajar, misal susunan bangku, tata letak ruangan kelas seperti letak papan pengumuman, letak poster, rak buku, dan lain-lain. Pembelajaran yang dilakukan di luar kelas (out door) pun merupakan salah satu contoh pembelajaran diferensiasi lingkungan kelas.

Miskonsepsi Pembelajaran Berdiferensiasi

Dalam pelaksanaan praktik penerapan pembelajaran berdiferensiasi, masih banyak guru mengalami miskonsepsi, sehingga sering kali terdengar keluhan dari beberapa rekan sejawat kalau pembelajaran berdiferensiasi itu sulit, melelahkan, menghabiskan tenaga, waktu, dan biaya yang tidak sedikit. Untuk itu, penulis sedikitnya merangkum 3 miskonsepsi yang paling sering dilakukan oleh beberapa guru.

1. Pembelajaran berdiferensiasi bukan pembelajaran untuk tiap individu

Pembelajaran berdiferensiasi bukan pembelajaran yang mengharuskan guru menyiapkan pembelajaran atau melakukan metode pembelajaran dengan 32 cara yang berbeda untuk 32 orang peserta didik. Guru bukan memberikan tugas yang berbeda kepada setiap peserta didik. Guru juga bukan memperbanyak soal untuk peserta didik berdasarkan level pemahaman tiap-tiap indidvidu, sehingga tiap individu bisa menerima soal yang berbeda-beda. Kalau seperti ini, wajar guru akan merasakan kelelahan yang luar biasa.

2. Pembelajaran berdiferensiasi bukan pembelajaran chaotic

Maksud pembelajaran chaotic atau semrawut adalah guru mesti berlari ke sana kemari untuk membantu tiap individu dalam proses pembelajaran. Misal guru membantu siswa A, kemudian membantu siswa B, lanjut terpontang-panting membantu siswa C dalam waktu pembelajaran yang bersamaan. Jika guru memberikan instruksi untuk setiap kegiatan pada setiap siswa, tentu akan mengakibatkan pembelajaran tidak terartur, dan waktu pencapain tujuan pembelajaran membutuhkan waktu yang lama.

 3. Pembelajaran berdiferensiasi bukan pembelajaran membentuk kelompok homogen

Mengelompokkan peserta didik dalam kelompok homogen merupakan miskonsepsi pembelajaran berdiferensiasi yang paling sering dilakukan. Seperti mengelompokkan  peserta didik dengan level pemahaman maju (advance), menengah (intermediate), dan dasar (elementary). Yang paling sering saat ini adalah mengelompokkan peserta didik berdasarkan kesamaan gaya belajar, yaitu kelompok peserta didik dengan gaya belajar visual, kelompok gaya belajar audiotory, dan kelompok gaya belajar kinestetik. Padahal banyak pakar pendidikan mengatakan bahwa tidak ada bukti ilmiah yang kuat dan meyakinkan gaya belajar siswa dapat mengoptimalkan proses belajar siswa. Berdasarkan hasil penelitian Rogowsky dkk (2015) mengatakan tidak ada kegunaan memberikan label kepada anak berdasarkan gaya belajarnya. Sebagai tambahan dari Furrey (2020) dalam majalah Education Next menyampaikan hasil penelitiannya di 29 negara bagian di Amerika Serikat, ternyata tidak ada hubungan antara gaya belajar dengan hasil belajar siswa. Ini artinya, bahwa siswa yang merasa  memiliki gaya belajar visual saat dites secara visual, hasilnya tidak ketimbang yang lain. Murid yang merasa memiliki gaya belajar audiotori, tetap akan mengalami kesulitan jika memahami materi matematika hanya melalui suara. Pada saat pembelajaran IPA, misal satu kelompok kinestetik melakukan praktik pratikum sedangkan satu kelompok yang lain hanya mengobservasi, padahal pembelajaran sains itu mencakup semua aspek pengalaman panca indera.

Lantas bagaimana pembelajaran berdiferensiasi sebaiknya dilakukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun