Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) sebentar lagi berusia 20 tahun pada bulan Agustus 2023 (2003-2023). Segala catatan maupun harapan, tentu ada di banyak pihak, tidak terkecuali dari para buruh di Indonesia.
Mereka pasti banyak catatan. Pasti juga punya harapan. Misalnya terkait dengan UU Cipta Kerja yang masih menjadi "pertengkaran" di MK RI hingga saat ini.
Sudah beberapa tahun belakangan ini kebanyakan buruh Indonesia menyoal itu. Seperti tidak ada rasa lelah ataupun rida atas hadirnya UU Cipta Kerja.
Segala bentuk penolakan disuarakan. Mulai aksi hingga diskusi dengan beberapa pihak, termasuk kepada pihak pemerintah dan DPR. Namun tidak kunjung mencapai rasa puas bagi kedua belah pihak.
Buruh kebanyakan mencatat, bahwa UU Cipta Kerja tidak sama sekali berpihak pada mereka. Sering yang mereka gaungkan adalah soal upah dan masa depan buruh---yang mudah sekali diberhentikan---kontrak yang terus menerus dan lain sebagainya.
Dengan itu, buruh kebanyakan di Indonesia tentu berharap kepada MK RI dapat membatalkan UU Cipta Kerja. MK RI dapat mengkajinya dengan baik sehingga keputusannya diharapkan berpihak pada buruh Indonesia tanpa mengorbankan pengusaha.
Ingat pertama kali perwakilan buruh mengajukan gugatan ke MK RI. Kala itu, persisnya tahun 2021, di gugatan pertama yakni UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, MK RI akhirnya memutuskan bahwa UU tersebut tidak konstitusional atau inkonstitusional bersyarat.
Saat itu, pertimbangannya MK RI menilai bahwa metode penggabungan atau Omnibus Law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas, apakah metode tersebut merupakan pembuataan UU baru atau melakukan revisi.
MK RI juga menilai, dalam pembentukannya UU Cipta Kerja tidak memegang azas keterbukaan pada publik meski sudah melakukan beberapa pertemuan dengan beberapa pihak.
Namun, pertemuan itu dinilai belum sampai pada tahap subtansi UU. Begitu pula dengan draf UU Cipta Kerja juga dinilai MK RI tidak mudah diakses oleh publik. Demikian dikutip kompas.com.
Putusan MK RI itu pun melahirkan dua penilaian dari buruh. Ada yang mengapresiasinya. Ada yang seperti sebaliknya.
Mereka yang mengapresisasi keputusan itu misalnya datang dari KSPSI Andi Gani Nena Wea (KSPSI AGN). Serikat dan atau organisasi ini mengapresiasi keputusan MK RI dengan menyebut keputusan yang tepat dan berani.
"Kami nengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada majelis hakim MK yang berpihak pada kebenaran dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia," katanya, dikutip Kompas, 26 November 2021.
AGN merasa perjuangannya untuk mengajukan gugatan ke MK RI tidak sia-sia setelah putusan itu.
Sebaliknya, mereka yang seperti tidak mengapresiasi---lebih ke memberi catatan atas putusan MK RI itu, dengan alasan karena putusan itu tidak tegas.
Mestinya MK RI kata kelompok lain, memutuskan saja 'inkonstitusional', tanpa adanya embel-embel bersyarat.
Dengan adanya bersyarat, maka UU Cipta Kerja ini tetap berlaku sampai diperbaiki 2 tahun. Catatan putusan MK RI demikian.
Dikuatkan dengan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto yang menegaskan bahwa UU 11/2020 itu masih berlaku (konstitusional). Hal itu berlaku sampai diterbitkannya aturan perbaikan paling lama 2 tahun.
Keputusan MK RI yang dibacakan oleh Ketua Anwar Usman pada sidang uji formil UU Â 11/2020 secara daring itu malah menunjukkan ketidakmampuan pemerintah memperbaiki UU Cipta Kerja yang diminta MK RI. Alih-alih beberapa hal seperti akan adanya dampak perang Ukraina-Rusia, dan lain-lain, pemerintah malah menerbitkan Perppu.
Tadinya, Perppu ini ditanggapi baik oleh beberapa serikat dan atau organisasi buruh, karena pemerintah dinilai berpihak penuh kepada buruh Indonesia.
Namun setelah tahu dan dibaca detil (ulang), ternyata isi Perppu dinilai sama saja dengan UU Cipta Kerja. Hampir tidak ada perbedaan, seperti kesejahteraan buruh. Presiden Partai Buruh Saiq Iqbal kala itu menanggapinya. Â
Serikat dan atau organisasi buruh kebanyakan pun kembali menolaknya. Menyesali, karena Perppu yang dikeluarkan tidak mengubah apa pun untuk kepentingan buruh kebanyakan.
Mereka ada yang melakukan aksi unjuk rasa seperti awal-awalnya UU Cipta Kerja kembali muncul.
Tidak sedikit mereka melakukan aksi penolakan terhadap Perppu itu. Bergelombang, secara bergantin dari banyak serikat dan atau organisasi buruh.
Seperti tidak mendengarkan keluhan kebanyakan buruh, Perppu malah diundangkan oleh pemerintah---di tengah protes. Terbitlahh UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
Lagi-lagi serikat dan atau organisasi buruh menolaknya, dengan keras. Mereka kecewwa berat dengan pemerintah. Mereka kemudian berlomba-lomba menggugatnya. Salah satunya datang KSPI-Partai Buruh---meminta agar UU 6/2023 itu dibatalkan.
UU Cipta Kerja itu dinilai KSPI-Partai Buruh bermasalah. Bahkan bermasalah sejak prosesnya---mengaku tidak dilibatkan pemerintah dalam membuat Cipta Kerja.
Gugatan KSPI-Partai Buruh sampai sekarang masih berjalan.
Soal gugatan, kebanyakan buruh Indonesia berharap tetap sama, yakni meminta MK RI untuk membatalkan UU Cipta Kerja. Seperti yang sering disampaikan oleh Presiden KSPI-Partai Buruh Said Iqbal dan yang lainnya.
KSPI-Partai Buruh adalah satu dari sekian kelompok yang mengajukan gugatan ke MK RI soal UU Cipta Kerja ini.
Ada juga dari KSBSI. Mengajukan gugatan terhadap UU Cipta Kerja. Umumnya alasan organisasi besar buruh ini sama: tidak membuat baik nasib untuk buruh Indonesia.
Wewenang MK RI
Kalau melihat peran atau wewenang MK RI---yakni untuk menguji konstitusionalitas UU dan lembaga yang bersengketa, menurut saya sudah tepat. Difasilitasi setiap sengketa tanpa ada pertimbangan atau perbedaan, termasuk apa yang dilakukan oleh serikat dan atau organisasi buruh. MK RI telah menjalankan amanat UUD 1945 di situ.
Tinggal MK RI menurut saya lebih meyakinkan publik untuk menjawab setiap argumen atas putusan terhadap sengketa yang dihadapi, dengan terus memberikan edukasi mendalam ke masyarakat secara merata, khususnya kepada mereka yang belajar hukum di negeri ini agar apa yang diputuskan MK RI tidak seperti kerap dipersoalkan, seperti gugatan buruh terhadap UU Nomor 6 Tahun 2023.
Anggapan sekecil apa pun sengketa yang disidangkan, MK RI juga harus menjelaskannya dengan detil. Ini pendidikan yang perlu dikasih ke masyarakat luas. Bikin masyarakat lebih melek kepada MK RI.
MK RI juga mesti mulai intens mengadakan dialog terbuka dengan masyarakat dari berbagai kalangan---membahas isu-isu atau soal yang berkaitan dengan peran dan wewenang MK RI, karena masih banyak di antara kita yang belum tahu soal ini. Misal MK RI mengadakan roadshow ke berbagai lembaga pendidikan seperti sekolah menengah atas/kejuruan (SMA/K) dan kampus, dengan waktu tertentu. Dobrak "seremonial" diskusi umum yang berbalut teoritis.
Digelar dengan format yang sesuai (lingkungan). Kalau bahasa sekarang: 'kekinian'. Boleh jadi mereka yang antusias akan hal itu.
Ni'matul Huda, dalam Perkembangan Hukum Tata Negara Perdebatan Gagasan dan
Penyempurnaan (Yogyakarta: FH.UII press, 2014), hlm. 1-2, mengatakan , ..."Setelah hadirnya Mahkamah Konstitusi, semua produk Undang-Undang dapat disetujui subtansi maupun prosedur pembatalnya, sehingga hak-hak warga negara dan demokrasi dapat terlindungi dari kemungkinan potensi negatif pemebentuk Undang-Undang yang ingin meruduksi bahkan menggerogoti prinsip-prinsip negara hukum, hak asasi manusia (warga negara) maupun subtansi demokrasi."
Dari situ, ke depan masyarakat akan semakin banyak yang mengetahui peran dan wewenang MK RI, khususnya ketika menghasilkan putusan yang sekiranya dianggap kontroversial.
Apalagi kalau diingat, MK RI ini adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan kita, Indonesia. Â Kedudukan MK RI setara dengan lembaga Negara lainnya, seperti DPR, MPR, DPD, MA, dan KY, sehingga perlu dipertahankan marwahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H