Elizabeth (bukan nama sebenarnya) menangis sesenggukan. Ia baru saja diperlakukan tidak baik oleh calon suaminya, Tony (bukan nama sebenarnya), di sebuah bar.
Puluhan pasang mata ketika itu menyaksikan perlakuan Tony ke Elizabeth. Tapi, mereka hanya terdiam. Tak bisa berbuat apa-apa, karena persoalan pribadi.
Eli pun, demikian ia biasa dipanggil, tidak menyangka Tony berbuat itu kepadanya. Pasalnya, ia dan Tony sudah lama saling kenal---menjalin hubungan. Apalagi, dalam waktu yang tidak lama, keduanya akan melangsungkan pernikahan. Rencana itu pun disangsikan akan terealisasi.
"Saya sepertinya akan mempertimbangkan married (menikah) dengan Tony," Eli menyampaikan kepada sahabatnya, Ibo, lewat sambungan telepon, tengah malam, usai peristiwa itu.
Ibo sedang tidur sebelum Eli meneleponnya. Tapi kemudian terbangun.
Ibo pun mendengarkan dengan seksama ketika Eli menelepon, bercerita tentang kronologi bagaimana Tony memperlakukan dengan tidak baik.
"Soal pandangan hidup ke depan bersamanya nanti," jawab Eli singkat saat ditanya Ibo.
Keduanya memang bukan berasal dari Negara atau negeri yang sama. Eli datang dari Negara Eropa. Sedangkan Toni dari Negara Asia. Hal itu yang menyebabkan perbedaan pandangan dalam hidup ke depan keduanya.
Keduanya saling kenal karena memiliki hobi atau bakat yang sama di bidang seni. Beberapa kali bertemu, keduanya merasa connect (nyambung).
Keduanya dipertemukan di suatu tempat, di mana daerah itu terkenal dengan alamnya yang eksotis. Banyak orang dari berbagai Negara datang ke tempat ini. Eli dan Tony dipertemukan di sini.
Eli dipertemukan oleh sahabatnya Tony, Janson, yang juga memiliki hobi atau bakat sama. Janson tidak tahu persoalan yang sedang menimpa Eli. Hanya Ibo yang tahu.
Ibo bisa dikatakan orang baru dalam pertemanan dengan Eli. Hanya beberapa kali bertemu di tempat di mana karya seni akan diproduksi. Tapi Eli cukup percaya kepada Ibo.
"Hanya kamu yang tahu kejadian ini, Ibo. Jangan menceritakannya ke Janson, ya?" pesan Eli ke Ibo, di akhir telepon.
Keesokan harinya Eli dan Ibo bertemu, pada malam hari, di tempat tinggal sementaranya. Eli bukan warga asli tempat Tony tinggal.
Di sana Eli benar-benar menumpahkan segala apa yang terjadi selama ini dengan Tony, tanpa sensor. Tidak pernah terpikirkan oleh Ibo juga sejauh ini.
Eli mengakui hal yang belum pernah dibuatnya selama hidupnya.
"Saya menyesal, Ibo," mata Eli berkaca-kaca, ketika menyampaikannya kepada Ibo.
Eli mengaku melakukan hal itu kepada Tony karena, dengan alasan sudah sangat percaya dengan Tony. Sebab, Tony dinilainya sebagai orang yang pantas mendapatkannya.
Sebelum melakukan hal yang tidak pernah terpikirkan oleh Ibo itu, Eli mengaku pergi ke suatu tempat di mana ada seseorang yang menyampaikan kepadanya bahwa hal itu lumrah. Seseorang itu adalah "pemangku ilmu". Tidak mengapa, katanya.
Namun kini ia menyesal, usai tahu bahwa apa yang disampaikan "pemangku ilmu" itu salah. Ia mengaku tergelincir.Â
Eli meminta Ibo mencari jalan keluarnya. Ibo terdiam sejenak. Memikirkan permintaan Eli itu.
"Kalau begitu, saya rasa tidak masalah kmau mempertimbangkan untuk tidak menikah dengannya," dukung Ibo.
Namun, Eli merasa gamang. Takut. Sebab Eli hanya percaya kepada Tony seorang. Eli mengaku belum pernah memiliki perasaan ini sebelumnya, sekalipun itu datang dari seorang pria tempatnya berasal.
Eli jatuh cinta berat. Bahkan katanya lebih berat dari memikul "dosa" yang telah dilakukannya bersama Tony.
Malam cukup tenang di tempat tinggalnya sementara, membuat Eli benar-benar terpuruk. Ibo paham itu. Eli merasa ingin memeluk Ibo. Eli butuh itu.
"Jangan, Eli. Jangan. Saya tahu kamu sedang mendapat masalah. Tapi ini tidak baik, walau hanya sesaat," imbuh Ibo, sambil menjauh dari badan Eli.
Eli meminta maaf ke Ibo. Ia hanya khawatir dan takut, kalau-kalau Tony benar-benar tidak mencintainya lagi. Takut juga kalau-kalau Tony mencari wanita lain yang sepemahaman dengannya.
Ibo menguatkan. Ibo kembali terdiam sejenak. Memikirkan kembali bagaimana keduanya bisa akur kembali. Tapi, Ibo ragu hal itu bisa berjalan baik, karena keduanya sama-sama keras dalam pendapatnya masing-masing tentang masa depan kehidupan.
"Halo. Ada orang," tiba-tiba pemilik tempat tinggal sementara Eli memanggil. Tut, namanya. Ia memanggil Eli hanya untuk memastikan bahwa penyewa rumah itu baik-baik saja.
"Iya, Tut. Ada apa?" tanya Eli.
Tut menjawab, "Tidak ada apa-apa."
Tut beralasan hanya lewat dan kebetulan pintu tempat tinggal Elit terbuka dan tidak begitu bising seperti biasanya. Maklum, Eli, penyuka seni, termasuk musik. Musikya pun musik keras (baca: rock), sehingga "tak nyaman" tiba-tiba ada perubahan.
Tut berlalu pergi.
Waktu menunjukkan pukul 11 malam. Ibo ingin pamit kembali ke tempat tinggalnya. Tapi merasa berat, karena melihat Eli masih terlihat sedih. Tapi tetap dilakukan.
Tony PergiÂ
Sejak malam itu, Ibo dan Eli tidak pernah lagi bertemu. Sekira enam bulan lamanya. Pun dengan Tony. Mungkin antara Eli dan Tony juga sama. Ibo dan Eli "bertemu" hanya lewat pesan singkat.
Eli tidak memberitahu di mana keberadaannya kepada Ibo. Eli hanya menjawab bahwa ia baik-baik saja dan sedang berada di tempat lain, bukan tempat tinggalnya, di mana Ibo dan Tony tinggal.
"Kamu tidak perlu khawatir. Saya baik-baik saja. Saya hanya ingin menyendiri sambil menghasilkan karya lagi," kata dia, kepada Ibo, lewat pesan singkat.
Ibo memahaminya. Ibo tidak menghubunginya dahulu. Khawatir mengganggu "bed rest"-nya.
Ibo menjalankan aktivitas seperti biasa. Eli juga. Tony pun juga.
Suasana sore hingga malam di tempat Ibo dan Tony tinggal menggeliat seperti biasa. Malam tetap ramai. Meriah. Banyak acara seni, di mana ketiga orang itu menyukainya. Bising kendaraan sesekali menyela keramaian. Publik figur lalu-lalang.
Tiba di suatu tempat, Ibo dan Tony bertemu. Tidak sengaja. Di tempat ramai. Di kafe. Keduanya kemudian duduk bersama. Ada empat orang selain keduanya. Semuanya "artis".
"Bo, kamu tahu kabar Eli? Saya sudah lama tidak komunikasi dengannya," tanya Tony mendesak, sembari memesan minuman kepada pelayan.
Ibo menjawab tidak tahu, sesuai dengan apa yang dipesan oleh Eli kepadanya.
Kemudian, tanpa aba-aba, Tony mulai cerita ihwal tidak lagi berkomunikasi dengan Eli. Seperti biasa, Ibo hanya mendengarkannya. Tidak memberikan tanggapan seperti ketika Eli cerita kepadanya.
Tony mengaku sebenarnya merasa kehilangan Eli. Eli adalah wanita yang ia cintai begitu dalam, walau bukan dari negeri yang sama. Banyak jalan terjal yang keduanya hadapi ketika belum kenal---berencana menikah.Â
Tony lantas berujar, "Sebaiknya saya meninggalkan dia," kata Tony pelan, ke Ibo.
Seketika, Ibo merasa terkejut, memasang wajah tidak percaya. Sebab keduanya dilihat Ibo sudah cocok. Tidak ada perbedaan yang mencolok, menurut dia. Tapi, lagi-lagi, Ibo tidak bisa masuk ke dalam ranah mereka berdua. Terlalu sensitif.
Namun Tony bercerita, sebelum ia memutuskan itu, ia sempat menunggu Eli di tempat tinggalnya sementara. Berdiam di dekat tempat tinggal Eli, sedari malam hingga jelang pagi. Itu tanda cinta Tony. Tapi sayang, Tony keras kepala.
"Saya menunggunya. Tapi saya ragu kalau ia mau dengan saya karena perbedaan pandangan kita," kenangnya.
Ibo hanya terdiam. Ia merasa, keputusan Tony kepada Eli bisa terbaik bagi keduanya. Ibo, mau tidak mau mendukungnya.
Namun Ibo penasaran, apakah Eli dapat menerimanya, kendati Eli sendiri juga seperti tidak ingin melanjutkan hubungannya dengan Tony.
***
Eli menelepon Ibo. Bahwa ia sedang berada di tempat tinggalnya yang biasa. Ibo menemui Eli. Penasaran, mengapa Eli kembali ke tempat yang sudah ia anggap sebagai "aib" ini.
Eli bercerita, bahwa ia telah selesai dengan Tony. Tangis Eli pecah. Malam yang tadinya sunyi, tiba-tiba riuh. Sampai-sampai pemilik tempat tinggal Eli terkejut, mencari tahu apa yang terjadi di sana.
"Ada apa ini?" tanya Tut.
Eli menjawab, "Tidak ada apa-apa, Tut. Saya hanya terkejut karena ada lipan di kaki saya---spontan saya menangis."
Tut meninggalkan Eli dan Ibo.
Ibo merasa iba dengan Eli. Sebab Ibo sudah menganggap Eli seperti kakaknya sendiri. Pun sebaliknya, Eli sudah menganggap Ibo seperti adiknya sendiri.Â
Usia mereka cukup jauh selisihnya. Eli berusia 38 tahun. Ibo berusia 23 tahun.
Kenangan indah keduanya akhirnya hancur, seperti perajin tanah liat, yang ketiga sudah jadi karyanya tetapi terjatuh. Hancur. Sekejap mata.
Eli memutuskan pulang ke negaranya. Ibo tidak bisa berkata-kata lagi. Sedih juga. Tapi, Ibo tidak bisa berbuat, seperti menahannya tetap tinggal di tempatnya, tempat Tony, juga tempat Janson.
Bertahun-tahun Eli tidak ada kabar. Ia telah pergi. Ditinggal Tony pergi. Tidak sedikit pun membawa kenangan indah bersama Tony. Ibo hanya diberi alamat elektroniknya saat bertemu. Sesekali berkirim kabar. Tapi, wanita asing itu tampaknya trauma dengan pria yang berasal dari negeri eksotis, termasuk Ibo, yang sudah dianggap sebagai adiknya sendiri.
Tony, seperti biasa menjalani aktivitasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H