Mohon tunggu...
Robiatul Hidayah
Robiatul Hidayah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Random Public Article

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Habis Gelap, Terbitlah Terang

24 Desember 2023   02:05 Diperbarui: 24 Desember 2023   05:01 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
MOONLIGHT - Edvard Munch 1912

5 tahun. 

Angka yang diganjilkan untuk mengingat kapan kau lahir hingga dapat berdiri tegak sembari memegang sebatang es krim. Namun 5 tahun yang kau maksud adalah jejak kebersamaan yang kau tuai mulai dari memegang tanganku hingga cumbuan menjijikan yang tak boleh dilihat anak-anak. Kau mengira arti kebersamaan hanya sekadar itu. Lebih baik aku pulang tanpa alas kaki di atas hujaman duri daripada harus meladeni kau yang tidak mengerti apa itu cinta.

Tanganku menari. Menuai karya sederhana di balik layar tablet.  Desain itu tak pernah kurencanakan, anehnya ia malah terbentuk menjadi gumpalan balok yang terlihat seperti runyamnya batu karang di pinggir laut. Ia juga diperlihatkan layaknya karung kotor yang terkoyak habis terinjak. Ini sudah 2023, harusnya aku masih menuang perasaan ini di atas kanvas bersih berukuran 60 x 60 sentimeter, bukan di layar tablet dengan fitur instannya yang membuat ini jadi cepat selesai.

"Lagi-lagi tidak ada konsep," kata Daniel yang baru tiba, setelah itu ia menghisap rokoknya.

"Jangan merokok di ruangan ber-AC, Daniel!"

Bukannya menurut, Daniel justru membuka jendela ruangan redup ini dan duduk di dekat sana. 

"Ada apa, Naraya? Kau ribut lagi?"

Aku terngungu, pertanyaan Daniel selalu tepat sasaran.

"Konon katanya, dia sedang jatuh cinta lagi dengan anak desa Derik, apa itu benar?" Daniel bertanya sambil membuang rokoknya yang sudah habis. 

"Konon katanya. Memang kau dengar itu sejak kapan?" tanyaku balik.

Daniel tergelak, mendatangiku, lalu menghempaskan nafas beratnya. 

"Dua tahun lalu."

Bagaikan karang pecah terombang ambing di lautan, perasaanku kini sama hancurnya. Lebih tepatnya ini sudah sekian kali sejak status hubunganku dengan Pitan terurai ombak, semakin surut semakin tinggi ombak yang kami hadapi, mungkin sekarang sudah akan tsunami. Tsunamilah. Maka tsunamilah sudah.

"Aku sudah membicarakan ini padamu saat itu, kau bersikeras berkata ia akan berubah, mengapa kau percaya pada hal seperti itu? terlebih lagi ia tetap mencintai perempuan yang sama, sayangnya itu bukan kau." 

"Jangan satir." balasku.

"Naraya. Aku paham yang kau ciptakan seringkali tidak berkonsep dan itu sesuai dengan apa yang ada di pikiranmu, tapi sesekali bisa kau dengarkan aku. Aku menonton kalian berdua selama ini. Sebagai saudara kandungmu, ingin kuhujam muka lelaki itu dengan kepalan tanganku, tapi aku menahannya berulang kali."

"Kenapa kau tidak hujam saja?" 

"Aku ingin diriku dan dirimu menyingkirkannya dengan cara yang terbaik."

Seseorang yang amat mencintai kekasihnya, selalu bergema dalam hatinya, kau tidak akan menemukan cinta lebih baik dari ini. Setelahnya, kami menormalisasi hal-hal buruk yang ada di diri mereka sekalipun itu di luar batas.

"Penyakit kalian, orang-orang sepertimu, selalu berpikir sempit. Kalian lebih memilih cemas setiap saat daripada menghadapi badai yang berlalu dengan singkat. Semakin dia menyakitimu selama ini, semakin cepat kau lupa akan kenangan dan membencinya pasca berpisah, kau akan sadar setelah kau benar-benar berada di luar zona nyamanmu saat ini, pilihan untuk tetap bersama dengan lelaki seperti itu sangat merugikan dirimu sendiri.  Mengapa kau tidak percaya ada lelaki baik yang menunggumu dari miliaran banyaknya manusia?" 

"Aku tahu ..."

"Aku akan berpikir seribu kali malam ini."

"Cih." umpat Daniel. Dia diserang emosi tiap bahas ini, kami pula membahas ini hampir setiap hari, dia yang lebih tidak tahan dengan kelakukan Pitan daripada aku, jika saja ada lelaki yang bukan saudara kandungku - namun memiliki sifat dan perilaku seperti dirinya berada di hadapanku sekarang, mungkin aku akan langsung jatuh cinta padanya.

***

Hujan deras mengguyur malam tanpa gemerlap bintang. Angin merambat. Jendela ditutup erat agar tak ada cipratan air yang masuk tanpa permisi ke dalam kamar. Menarik selimut adalah pilihan bijak untuk menangani situasi ini di malam hari. Dari arah bawah, terdengar mesin mobil bergerak keluar dari pagar dan melambai jauh. Mau kemana Daniel di malam hujan seperti ini? tanpa sepatah kata izin atau pamit darinya, aku mengendus, bau air hujan mulai menyengat tanda hujan semakin deras dan mungkin akan ada banjir di depan. 

Bibi Marry menelpon. Kata berita lintasan jaringan akan buruk. Apakah ada sesuatu yang penting sekali untuk dikabari saat ini juga mengingat rumah Bibi Marry berada tidak jauh dari sini.

"Halo, ada apa, Bi?" tanyaku.

"Di sini sudah mulai banjir, Naraya. Kamu di sana banjir, tak?" terdengar iringan gemercik air dari balik telepon Bibi Marry. Suasananya ramai sekali di sana, mungkin mereka sedang kerepotan dengan air yang masuk ke dalam rumah dan mulai membasahi perabotan rumah mereka, mudah-mudahan mereka tidak ada yang celaka atau mengalami kerugian.

"Tidak, Bi. Aku sedang di kamar sekarang."

"Tadi Bibi lihat mobil Daniel lewat depan rumah. Dia mau kemana hujan-hujan begini? Memangnya tidak bisa menunggu hujan reda dulu?" 

"Aku juga tidak tahu, Bi. Aku baru melihat Daniel saat ia mengeluarkan mobilnya." kataku sembari mengingat suara mesin mobil dan pagar yang didorong saat Daniel keluar rumah.

"Ohh begitu ya. Tanyakan saja nanti ketika sudah tiba di rumah agar dia tidak menyalakan ponsel di jalan."

"Baik, Bi."

Bibi Marry menutup teleponnya. Suasana rumahnya tidak sepi seperti rumahku saat ini, tinggal berdua dengan Daniel, ayah ibu tinggal di luar negeri untuk bekerja, dan aku tidak bisa menyusul mereka di sembarang hari karena mesti kuliah.

Sudah dua hari aku tidak membalas pesan Pitan. Aku masih dibuat bimbang olehnya. Aku pun enggan untuk tahu sedang apa dia sekarang. Walaupun aku pacar yang sebenarnya, tapi aku justru merasa jadi simpanan karena rasa cinta Pitan untuk anak desa Derik itu lebih menyeruak dibandingkan hubungan kami. Apakah lelaki tulus benar-benar ada? Daniel bilang, dari miliaran orang di bumi ini, 60 persennya adalah orang yang baik, karena jika sebaliknya, dunia akan hancur. Orang seperti Pitan tidak termasuk bagian dari mereka bukan?

Setelah pukul 12.00 malam, Daniel pulang. 

Aku segera keluar kamar dan ingin menanyakan segalanya. Tapi yang kutemui saat ini Daniel sangat lesu. Matanya terlihat sudah mengantuk. Dia mengucek matanya beberapa kali. Mungkin dia kelelahan, kenapa juga jam segini baru pulang. Akhirnya aku mengurungkan niatku untuk bertanya pada Daniel.


***

1 bulan kemudian.

Pitan mendadak lengket denganku. Dibanding sebelumnya, dia berhasil merubah pikiranku untuk  berpaling darinya. Daniel juga selalu tersenyum tiap hari melihatku tenang dan tidak gelisah seperti biasanya. Saat itu, aku lupa untuk menanyakan Daniel pergi kemana hingga akhirnya aku memilih untuk tidak menanyakannya. Hari ini, Pitan sedang mampir ke rumahku. Dia bermain gitar bersama Daniel. Di sela-sela, aku pun ikut bernyanyi dari instrumen yang Daniel mainkan. 

"Aku mau ke toilet dulu sebentar." kata Pitan. Ponselnya digeletakan begitu saja di atas meja. Tak lama kemudian ada notifikasi masuk hingga ponsel tersebut menyala. Aku mengintip. Itu adalah pesan dari anak desa Derik itu yang bernama Intan, ia memberi tahu Pitan bahwa ia sedang hamil dan meminta tanggung jawabnya.

Bagai disambar halilintar, diriku mematung tak bertumpu. Jantungku seperti lepas dari kaitnya dan jatuh ke tanah. Aku ingin marah. Aku ingin berteriak. Mendengar instrumen yang dimainkan Daniel membuatku tambah ingin marah. Bagaimana ini? Mengapa? Mengapa bisa? Apakah mereka sudah sejauh itu? Oh ya benar, cinta Pitan memang seperti itu. Apakah karna aku selalu menolak permintaan itu dan dia beralih untuk melakukannya dengan Intan? Ini gila. Sungguh gila. Di sini ada Daniel. Entah apa yang akan dilakukan Daniel jika tahu Pitan menghamili perempuan lain. Aku tidak bisa berkata apa-apa sekarang. Diriku ingin meledak. Aku ingin meledak. 

Aku mundur. Aku bersender pada sofa. Mencoba meraih ponsel milikku dan mengalihkannya ke sana sembari meredam emosiku yang hanya sesaat. Aku ingin menangis. Tapi tidak, di sini ada Daniel. Pantas saja Pitan mendadak lengket denganku. Rupanya ia sedang melakukan kesalahan dan mungkin ia tidak mau bertanggung jawab, seorang Pitan. Kau tidak akan mendapatkan pembelaan apa-apa dariku. 

Pitan tiba dan langsung duduk. Ia meraih ponselnya dan ikut membeku setelah membaca apa yang ada di notifikasinya. Aku sudah tahu apa yang terjadi. Ia pasti ingin meledak juga sekarang. Bukan karena sedih, melainkan karena takut, marah, cemas, khawatir. Seorang mahasiswa sepertinya tidak akan sanggup menikah secara tiba-tiba dan memiliki anak.

"Kalian tenang saja, itu anakku." kata Daniel dengan santai sambil lanjut memainkan instrumen musiknya. Belum selesai aku terngungu dengan Pitan, Daniel justru membuatku tambah terkejut dan kecewa. Pitan tidak kalah kagetnya. Apa lagi maksudnya ini? Kemudian Daniel tersenyum dan meletakkan gitarnya. 

"Aku sudah memberikanmu adikku yang cantik dan cerdas ini untuk kau jaga baik-baik, bukan hanya fisiknya, tapi juga hatinya. Kau selama ini tidak tahu kan apa yang dia rasakan melihatmu selalu berselingkuh dengan Intan? Sekarang Intan sedang mengandung anakku. Aku sudah menghitung perkiraan kehamilannya dari jauh-jauh hari sejak hujan malam itu, aku yakin selama dua tahun ini kau juga sering melakukannya dengan Intan, tapi dia tidak pernah hamil kan?" 

"Kau juga tidak siap menjadi ayah dan juga tidak ingin kehilangan Intan. Sedangkan aku? aku siap menanggung semuanya karena memang ini sudah waktunya bagiku. Tapi bagaimana rasanya mengetahui kekasihmu mengandung anak dari laki-laki lain dan akan menikah?"

Pitan geram.

"Kau pergi tinggalkan kota ini jika tidak ingin video mesummu kusebar. Aku juga tidak akan membiarkanmu mendekati adikku lagi. Kau juga tahu benar jaringanku seperti apa. Jika aku melihatmu ada di daftar penumpang bandara atau kereta masuk Semarang, akan kupastikan kau bertemu denganku atau kawanku dalam waktu kurang dari 24 jam." kata Daniel. Matanya tajam seperti sudah diasah dalam waktu yang lama. Aku tidak masalah dengan cara Daniel menikah dan memiliki anak. Aku tahu ini menyalahi hukum agama. Tapi hingga saat ini, yang kulihat darinya hanyalah ingin melindungiku. Dia bahkan rela menikahi perempuan yang dia sendiri tahu sudah melakukan apa saja dengan selingkuhannya. Video? Bahkan Daniel juga melihat video mereka. Ini bukan cinta, tapi pengorbanan.

***

Hari demi hari berlalu sejak kejadian itu. Benar saja, walaupun Pitan juga melakukannya, tidak ada niat sedikitpun darinya untuk meminta penjelasan kepada Intan karena dia terlalu takut. Takut jika fakta yang terjadi adalah sebaliknya. Daniel pun tengah menyiapkan pesta pernikahan dengan Intan. Mau bagaimanapun, Daniel sangat baik. Dia memperlakukan Intan seperti pasangan pada umumnya. Sedangkan aku, aku dijodohkan dengan teman Daniel yang juga berasal dari militer, Drian. Drian juga merupakan teman masa kecilku dan aku tahu betul sifatnya. Daripada berpikir dia selingkuh, lebih baik aku berpikir bagaimana agar dia tidak terlalu serius dalam menanggapi apapun. Keseriusannya dalam bekerja membawanya pada cinta yang tak biasa. Dia tidak pernah menye-menye seperti Pitan. Dia sangat menjagaku seperti halnya berlian. Daniel benar, 60 persen manusia baik itu nyata. Aku saja yang terlalu menutup mata dan hati selama ini karena terlalu cinta dengan Pitan. 

Omong-omong soal Pitan. Ia sudah pergi menjauhi Semarang. Aku tidak tahu ia pergi kemana. Tapi ia sempat berpamitan padaku dan meminta maaf. Aku harap ia bahagia dengan pasangannya yang lain atau memberi waktu kepada dirinya untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi dengan tidak berhubungan sementara dengan wanita manapun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun