Daniel tergelak, mendatangiku, lalu menghempaskan nafas beratnya.Â
"Dua tahun lalu."
Bagaikan karang pecah terombang ambing di lautan, perasaanku kini sama hancurnya. Lebih tepatnya ini sudah sekian kali sejak status hubunganku dengan Pitan terurai ombak, semakin surut semakin tinggi ombak yang kami hadapi, mungkin sekarang sudah akan tsunami. Tsunamilah. Maka tsunamilah sudah.
"Aku sudah membicarakan ini padamu saat itu, kau bersikeras berkata ia akan berubah, mengapa kau percaya pada hal seperti itu? terlebih lagi ia tetap mencintai perempuan yang sama, sayangnya itu bukan kau."Â
"Jangan satir." balasku.
"Naraya. Aku paham yang kau ciptakan seringkali tidak berkonsep dan itu sesuai dengan apa yang ada di pikiranmu, tapi sesekali bisa kau dengarkan aku. Aku menonton kalian berdua selama ini. Sebagai saudara kandungmu, ingin kuhujam muka lelaki itu dengan kepalan tanganku, tapi aku menahannya berulang kali."
"Kenapa kau tidak hujam saja?"Â
"Aku ingin diriku dan dirimu menyingkirkannya dengan cara yang terbaik."
Seseorang yang amat mencintai kekasihnya, selalu bergema dalam hatinya, kau tidak akan menemukan cinta lebih baik dari ini. Setelahnya, kami menormalisasi hal-hal buruk yang ada di diri mereka sekalipun itu di luar batas.
"Penyakit kalian, orang-orang sepertimu, selalu berpikir sempit. Kalian lebih memilih cemas setiap saat daripada menghadapi badai yang berlalu dengan singkat. Semakin dia menyakitimu selama ini, semakin cepat kau lupa akan kenangan dan membencinya pasca berpisah, kau akan sadar setelah kau benar-benar berada di luar zona nyamanmu saat ini, pilihan untuk tetap bersama dengan lelaki seperti itu sangat merugikan dirimu sendiri. Â Mengapa kau tidak percaya ada lelaki baik yang menunggumu dari miliaran banyaknya manusia?"Â
"Aku tahu ..."