Rabu, 20 Desember 2023
BUKU INI SUDAH HABIS.
Begitu ya ...
'Misteri kejadian bunuh diri 2 tahun silam, motif dan identitas lelaki tersebut kini terungkap.'
Aku melihat ke arah TV yang sedang menayangkan berita sore. Kejadian itu sudah lama, namun tim kepolisian baru bisa mengungkapnya setelah 2 tahun. Lebih baik aku pulang saja.
Langit sedang redup. Rasa khawatirku bukan hanya soal buku terbitan Tere Liye di toko langgananku yang telah habis terjual, namun juga hujan yang akan turun. Semilir angin meniup pelan rambutku yang hampir masuk ke mulut. Aku segera membebaskannya karena terasa sedikit gatal dan mengganggu.Â
Tiupan angin di bawah langit mendung memang tidak ada duanya, benar-benar membuatku dejavu dengan kenangan kala itu. Memoriku langsung menuju Raka 8 tahun lalu. Lelaki penuh ambisi untuk menjadi taruna kepolisian. Kabarnya bagaimana sekarang aku tidak tahu, yang aku tahu hanyalah dia memiliki kenangan kuat atas cuaca ini. Saat itu, ia menyodorkan jaket padaku saat menerobos hujan besar di tengah kota dengan motor, sedangkan dirinya hanya memakai seragam lengan pendek yang kekecilan. Jelas aku tidak menerimanya, tapi ia bersikeras mengancam, "Aku tidak akan lanjut kalau jaketnya tidak dipakai, biar saja kita berdiam di bawah hujan yang sakit ini."Aku terdiam-bingung. Hujannya sangat sakit di kulit yang tidak tertutup kain, hujan itu lebat sekali, dengan khawatir aku memakainya berharap ia tetap melanjutkan perjalanan untuk berteduh.Â
Aku tersenyum, hanya itu kenangan terkuat yang tidak ada campuran muslihat darinya.
Lalu sekarang bagaimana? Hujan lebat sekali dan waktu sudah hampir senja untuk berlama-lama di depan toko orang.Â
"Pakai ini." Aku menoleh.
Seorang lelaki tengah menyodorkan payung berwarna kuning padaku sambil tersenyum. Aku menatap payung-dirinya berulang kali, berpikir tentang bagaimana cara mengembalikannya, apakah tidak apa-apa?, rasa ingin menolak, namun-
"Setengah jam lagi maghrib. Tidak baik kau sendirian di sini sekarang. Keburu malam dan sepi, jika rumahmu di desa-aku tidak menganjurkanmu untuk kembali."
Dia benar. Perjalanan ke desa memang dekat, tapi ada beberapa rute yang sebaiknya tidak kulewati di malam hari. Aku juga tidak membawa uang cukup untuk menginap di penginapan kota, belum lagi uang untuk makan.Â
"Bagaimana aku bisa mengembalikan ini nanti?"
Dia tersenyum lagi. "Ambil saja."
Dengan senang aku meraih payung itu dan membukanya. "Baiklah, terima kasih." Aku menunduk sedikit tanda pamit dan segera pergi meninggalkan lelaki itu buru-buru agar sempat sampai rumah sebelum azan maghrib. Setelah berjalan cukup jauh, aku menoleh ke belakang dimana tempat ia berdiri, ia masih memandangiku dengan tersenyum. Aku kembali menundukan kepalaku sedikit untuk mengisyaratkan aku senang dapat pulang berkat pertolongannya.Â
Sudah sekitar 900 meter aku berjalan dan memasuki kawasan pepohonan. Saat aku masih di Jakarta, aku sangat takut dengan kondisi ini jika sedang berkunjung ke Malang. Tapi setelah aku pindah ke sini, aku terbiasa dengan kondisi ini. Aku tidak bisa mengendarai motor. Aku bisa mengendarai mobil tapi jaraknya terlalu dekat jika harus repot-repot mengeluarkan mobil. Aku juga suka mengecek jumlah langkah yang telah kutempuh per hari di aplikasi kebugaran pada ponsel.Â
Di sini lebih dingin dari suhu di dekat toko buku tadi. Mungkin karena pohon besar yang jumlahnya banyak. Langitpun semakin gelap. Tiba-tiba, muncul wangi melati yang harum sekali. Aku suka wangi melati. Wewangian di daerah seperti ini hal yang biasa, jika ada pohon, pasti ada bunga, namun aku tidak perlu mencari tahu letak dimana melati itu bermekaran.Â
"Gladis."Â
Aku menoleh, rupanya Sintia. Aku sempat merinding karena hawa bawaan. Namun kini aku senang ada teman pulang. Sintia ini merupakan tetanggaku, kami cukup dekat setelah aku pindah ke Malang.Â
"Aku menumpang payungmu, boleh?"Â
Aku tersenyum dan mengangguk. Semula berwajah datar, ia tersenyum melihat responku atas pertanyaannya. Kemudian kami melanjutkan perjalanan.
"Payung kuning." Kata Sintia tiba-tiba.
"Iya, tadi aku dipinjami oleh seseorang."
"Payung kuning."
Eh?
"Payung kuning."
"Payung kuning."
"Payung kuning."
Batas tekanan denyut jantungku berhasil menyeruak. Anehnya aku sulit bernapas, bukan tiba-tiba asma, apakah memang ilmunya seperti itu? aku tidak pandai anatomi, namun apakah semakin besar tekanan jantung akan semakin sedikit oksigen yang bisa terhirup oleh rongga hidung?
"Payung kuning."
Tidak, walaupun aku tidak tahu tapi aku yakin bukan seperti itu konsepnya.
"Payung kuning."
Sekarang wajahku terasa panas.
"Payung kuning."
Panas sekali hingga aku tidak dapat menoleh.
"Payung kuning."
Wangi melatinya semakin menyengat. Wanginya cukup menghibur jantungku, tapi-
"Payung kuning!"
Aku terkesiap. Sintia tiba-tiba teriak. Sebenarnya sejak tercium wangi melati aku sadar ada yang tidak beres, namun aku berusaha menghibur diri dengan berkata dimana ada pohon pasti ada bunga.Â
"Payung kuning!!"
Suaranya semakin keras, persetan dengan payung kuning, wangi melati, dan ... Sintia? Apa benar ini Sintia? Atau hanya perwujudannya ... atau ia kerasuka-
"PAYUNG KUNING!!!" Aku menutup telingaku dan melempar payung tersebut. Aku berlari. Berlari sekencang-kencangnya. Aku tidak mau menoleh ke arah Sintia. Tapi jika itu Sintia, apa tidak apa-apa jika aku tinggalkan begitu saja dalam kondisi seperti itu?
Aku menggeleng dan berusaha menelan saliva karena tubuhku benar-benar kaku. Rasanya tengah terjadi kemacetan pada aliran darah. Seluruh tubuhku basah kuyup. Aku bahkan tidak merasakan udara dingin di situasi sepanas ini. Rumahku sudah cukup dekat. Aku harus tahan, ini melelahkan sekali tapi aku harus tahan.
Beberapa langkah lagi aku tiba di rumah, aku terkejut ada seorang lelaki yang sedang duduk di depan rumahku seraya menatap pintu. Tak lama kemudian lelaki itu menoleh.
"Mengapa basah kuyup? Payung yang kupinjamkan tadi kemana?"
Aku mematung. Mataku tertuju pada nama di jaketnya, Raka.
Tamat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H