“Dhiya kun suhunya 37.5, tolong jemput dari houikuen sekarang juga ya” telpon seorang pengasuh di hoikuen (daycare) anak yang kedua. Peraturan di daycare milik Pemerintah Jepang memang sangat ketat. Jika suhu anak mencapai 37,4’ C, maka orang tua harus segera menjemput. Tidak perduli si ortunya sedang sibuk apapun. Dan orang Jepang sangat saklek terhadap peraturan yang sudah tertulis.
Beberapa kali kami mendapatkan telpon senada Pernah ketika kami berdua ada fieldtrip di luar kota, dan harus balik lagi untuk menjemput Dhiya. Kali lain saat saya harus presentasi seminar, sedangkan istri menjadi koordinatornya.
Itulah salah satu tantangan bagi pasangan yang suami dan istrinya sama-sama sekolah seperti kami, manajemen waktu. Menjaga keseimbangan antara kuliah dan pengasuhan anak. Meskipun demikian, sejak awal kami memang sudah bertekad untuk bersama-sama membawa anak kemanapun kami sekolah.
Saat merencanakan meneruskan sekolah keluar negeri dulu, kami memang bertekad membawa serta anak-anak. Di awal, negara yang kami pertimbangkan adalah Australia. Selain dekat, setidaknya bahasa pengantarnya pun Inggris.
Saya pun chatting dengan mantan dosen yang sekolah di Australia. Darinya saya mendapatkan informasi bahwa kami harus membayar penuh untuk sekolah milik pemerintah sekalipun. Ini belum termasuk biaya untuk daycare selepas sekolah. Saya mencoret Australia dari daftar target.
Pada saat hampir bersamaan, seorang rekan yang sedang studi di Jepang menginformasikan tawaran menarik. Sebuah universitas negeri di Jepang membuka program internasional. Beasiswa Monbusho disediakan bagi 6 orang terpilih. Kami akhirnya mendaftar pada program tersebut.
Karena program internasional, tidak ada persyaratan penguasaan bahasa Jepang. Demikian juga tidak ada syarat TEOFL minimal untuk kemampuan Bahasa Inggris.
Meskipun demikian, bagi yang tertarik mendaftar program sejenis, saya sarankan untuk mendapatkan skor TEOFL minimal 550. Agar kompetititif dengan peserta seleksi baik dari Indonesia maupun dari negara lain. Jika skor minimal terlampaui, setidaknya dapat mendaftar ke beasiswa dalam negeri seperti LPDP, setelah mendapatkan LoA dari program ini.
Singkat kata, setelah melalui serangkaian seleksi administrasi dan wawancara, alhamdulillah kami berdua dapat lulus. Saya berangkat dengan beasiswa Monbusho (kementerian Pendidikan Jepang), sedangkan istri dengan dukungan instansinya di Jakarta.
Adaptasi
Musim gugur 2014, kami akhirnya tiba di Jepang, 3 hari sebelum kuliah dimulai. Untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan baru dan kuliah, sebenarnya anak-anak dapat menyusul kemudian. Akan tetapi sejak awal kami bertekad untuk bersama-sama dengan anak-anak.
Saya berkeyakinan, jatuh bangun proses adaptasi dan cultural shock ini adalah salah satu mekanisme pembelajaran bagi kami, termasuk anak-anak.
Kami harus segera mendapatkan tempat penitipan anak atau daycareyang bagus dan terjangkau. Anak kami yang pertama sebenarnya sudah kelas 1 SD di Jakarta, akan tetapi penerimaan siswa baru adalah bulan April tahun depan. Akhirnya si sulung hasus masuk ke TK lagi.
Setelah mendatangi beberapa TK, kami mendapatkan TK yang sekaligus menjadi daycarenya. Di Belakang hari, kami mendapatkan informasi, sekolah ini adalah salah satu TK tertua di Jepang.
Bahasa pengantarnya? Tentu dalam bahasa Jepang. Kabar baiknya adalah anak-anak adalah pembelajar bahasa yang sangat cepat. Mereka masih berada dalam masa pekanya sehingga mudah untuk belajar bahasa. Berbeda dengan orang dewasa yang masa pekanya sudah lewat tidak akan mudah belajar bahasa lain. Apalagi mengganti bahasa yang sudah dinuranikannya dengan bahasa lain.
Anak kedua pun mendapatan daycare swasta tak jauh dari TK kakaknya.
Salah satu hal yang menarik tentang daycare di Jepang adalah kemandirian. Sedari dini anak-anak dituntut untuk mandiri. Lucu juga saat melihat usia 2 tahunan mengangkat kursi dan meja makan mereka sendirian. Setelah siap mereka akan mengenakan celemek dan makan sendiri. Selang beberapa saat satu dua anak mengangkat tanganya sambal teriak “okawari desu”. Artinya mereka minta tambah makanan. Setelah selesai makan, mereka kembali bertugas membereskan ruangan dengan pantauan senseinya.
Di awal si bocah mewek ketika kami tinggalkan. Tetapi setelah beberapa waktu justru susah sekali untuk mengajaknya pulang. Si bungsu nampaknya sudah mempunyai teman disamping banyaknya permainan yang menarik di daycarenya.
Manajemen Waktu
Jadwal kuliah di awal semester cukup padat, kelas dimulai pukul 8.50. Meskipun tidak ada kuliah, biasanya hari mahasiswa perlu datang ke kampus dari pagi sampai sore. Kultur perkuliahan di Jepang mirip dengan system kerja kantoran. Setiap mahasiswa mempunyai ruang/meja sendiri.
Setiap hari anak-anak harus membawa bekal makanan sendiri ke sekolah. Mereka tidak menyediakan makanan halal. Bekal ini meliputi makan siang yang terdiri atas nasi, lauk , sayur dan snack untuk pagi dan sore. Bekal ini kami siapkan pagi-pagi sebelum berangkat sambal memastikan mereka sarapan dan mandi.
Agar dapat berangkat tepat waktu, kami pun berbagi tugas. Saya menyiapkan bekal, sedangkan istri mengurus anak-anak dan membereskan rumah. Di Jakarta, pekerjaan ini biasa di lakukan oleh asisten rumah tangga. Selama di sini, saya belum menemukan ada rumah tangga yang menggunakan jasa asisten/pembantu. Di sini kami belajar untuk lebih mandiri.
Setidaknya kami perlu berangkat pukul 8 agar cukup waktu mengantar kedua bocah ke sekolahan masing-masing. Sebelum berangkat kuliah, kami mengantar anak-anak ke sekolahan masing-masing. Jarak antara asrama dengan sekolah mereka kurang lebih 3 km. Jarak antara TK dan kampus kami 2 km. Karena di Jakarta saya terbiasa menggunakan sepeda ke stasiun, jarak ini masih genjotable. Sepeda dapat digunakan saat cuaca cukup hangat dan tidak hujan.
Saat akhir musim gugur sampai awal musim dingin, kami menggunakan transportasi umum. Konsekuensinya waktu tempuh yang lebih lama. Saat puncak musim dingin, cuaca di kota kami bisa mencapai minus enam derajat celcius. Suhu ini setara dengan freezer kulkas untuk membuat es batu.
Membagi waktu agar seimbang antara pendidikan anak, mengurus rumah, kebutuhan pribadi, serta tuntutan kuliah adalah tantangan bagi kami. Kalau membaca referensi manajemen waktu jawabanya sih mudah: planning dan organizing.
Tapi bagi yang punya anak tentu mafhum, bahwa planning sebaik apapun dapat kandas seketika. Bagaimana seorang balita dan anak TK disuruh memahami jadwal deadline ayah dan praktikum ibunya? Malah, beberapa kali si kecil sakit di hari yang sama saat kami ada ujian dan presentasi.
Skill utama yang harus ditingkatkan oleh para ortu, apalagi yang sama-sama kuliah seperti kami adalah kemampuan berimprovisasi dan tetap bersikap tenang menjelang deadline sekalipun. Selain sabar tentu saja J
Bersekolah dengan membawa 2 anak yang masih kecil memang tidak mudah. Menurut saya, tantangan untuk mengurus dan mendidik anak ini tidak lebih ringan dari kuliah kami sekalipun.
Tetek bengek terkait kuliah kami, mulai dari tugas kuliah, presentasi, submit paper, dll system dan infrastrukturnya sudah lengkap. Waktu, deadline, dan supervisor, sudah jelas. Kita akan sendirinya mengikuti prosedur yang sudah baku. Jika besok kita ada presentasi misalnya, mau tidak mau ya kita harus menyiapkannya.
Kami beruntung mendapatkan supervisor yang memahami kondisi kami. Kondisi yang dihadapi setiap orang bisa jadi berbeda.
Beberapa waktu yang lalu, seorang senpai yang sudah lulus menceritakan kalau dia justru dimarahi habis-habisan oleh supervisornya setelah menceritakan istrinya baru melahirkan. “Anda datang kesini untuk tambah pengetahuan, bukan tambah anak” begitu alasan si supervisor.
Hal di atas adalah salah satu poin penting bagi para scholarship hunter, apalagi bagi yang berencana membawa anak.
Pendidikan Agama
Di sisi lain, belum ada sistem untuk pendidikan anak kami, mulai dari hafalan sholat, doa, membaca Qur’an dll. Di Jakarta, pekerjan ini sebagian dapat didelegasikan ke sekolah atau TPQ. Selain itu, menuntun seorang anak berusia 7 tahun agar senantiasa konsisten sholat tidak mudah. Di kelasnya hanya dia seorang yang muslim.
Alhamdulillah pihak sekolah anak-anak dapat memahami situasi ini. Gurunya bahkan menyediakan ruanganya untuk tempat sholat bagi anak saya yang sulung.
Sebagai salah satu upaya untuk menghadirkan lingkungan dan pendidikan Islam, kami bersama rekan dari negara lain seperti Malaysia membuat program TPQ. Peserta dan gurunya dari Indonesia dan Malaysia. Salah satu keunikan program ini adalah digunakannya 3 bahasa pengantar sekaligus. Bahasa Indoesia, Malaysia, dan Jepang. Beberapa anak yang sedari kecil sudah di Jepang agak kesulitan memahami bahasa asalnya.
Kami memahami peran orang tua terutama ayah sangat penting dalam pendidikan anak-anak. Bukankah di dalam Al Qur’an terdapat 17 dialog orang tua dengan anak? Lebih jelasnya 14 ayat berkenaan dengan dialog antara ayah dan anaknya, 2 ayat antara ibu dan anaknya, serta 1 ayat tidak dijelaskan apakah ayah/ibu.
Pesan ini seolah menyiratkan tanggung jawa mendidik anak bukan hanya kewajiban ibu, tapi justru lebih banyak adalah kewajiban ayah.
Selama di Jepang, kami merasakan kuatnya ikatan persaudaraan dengan rekan setanah air. Kami sangat terbatu dengan rekan yang bersedia dititipi anak-anak saat mereka sakit sedangkan kami harus masuk kuliah.
Kami bersyukur, selain pengetahuan, ada banyak sekali hikmah yang didapat dengan membawa serta anak. Kami belajar banyak hal dalam pendidikan anak. Kami merasa lebih dekat dengan mereka.
Bagi kami, membawa anak-anak ikut bersama sekolah memerlukan effort besar. Salah satu kuncinya adalah berbagi peran dan tugas. Kami pun merasa masih banyak belajar untuk menjaga keseimbangan antara kuliah dan pendidikan anak. Tidak mudah, tetapi bukan tidak mungkin. Bersama kesulitan ada kemudahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H