"untuk apa duluku membangun tembok itu? Tak ada mentari yang terik bagiku. Tak ada hujan yang mendinginkan. Tak ada waktu senja. Tak ada malam yang benar-benar kelam. Dan tak ada hari minggu yang sesungguhnya.
"demi ratu di rumah itu, tak ada peluh yang asin bagiku. Tak ada rantau yang jauh, tak ada tanah yang berjembalang, Â dan tak ada rimba yang bertuah. Â Dua puluh tahun ku merangkak di tanah malaka agar ratu adan anaknya layak disebut manusia.
"kutinggalkan Ranah Minang. Kutukar tepian mandi ke rantau orang. Ku lupakan kampung yang menimangku hingga bujang. Kulepas gelar mamak di kampung, ku pilih gelar budak di negeri orang, agar hidupnya sama dengan hidup orang.
"tak tau ku kapan Abak meninggal, tak jelas kapan Amak dikubur, demi tersumpal perut kosong kau dan anakmu, lupaku dengan tangan yang membesarkanku. Berdosaku pada Abak dan Amak, lupaku tanggung jawab sebagai anak, aku yang anak semata wayang tak ikut sembahyang saat beliau terbujur di Surau gadang.
Begitulah rangkaian keluhan-keluhan Pak Sanib yang sering terdengar di kala senja, saat ia merenung di depan pintu rumahnya. Laki-laki tua itu seakan tak pernah mendapati kebahagiaan di usianya yang telah mendekati tujuh puluhan. Â
Belum lebih sepuluh tahun Pak Sanib hidup dikampung. Rumah yang selalu ia bayangkan sebagai tempatnya beristirahat di kala tua, terasa bagai neraka yang tak sedikitpun memberi kenyamanan. Bangunan yang ia bangun dari hasil jeripayah ketika berkerja sebagai TKI di Malaysia, tak ramah baginya. Rumah yang dikategorikan mewah dari bangunan lain di kampung bernama Kampung Pelang itu, bagai gubuk penuh derita bagi Pak Sanib. Â Â
Hanya ia dan istrinya yang bernama Siti tinggal dirumah itu. Sedangkan anak laki-laki satu-satunya dari hasil perkawinan mereka, telah berkeluarga, dan hidup di rantau orang. Namun rumah besar yang meskipun berisikan dua orang itu, cukup memekakkan telinga, dan tetangga sekitarpun tau cerita itu.
      Ada saja permasalahan yang terjadi di rumah itu. Selalu saja terjadi keributan. hampir setiap hari ada perdebatan. Dan tak jarang kata-kata kasar terlontar keluar dari penghuni rumah itu. Namun, apapun penyebab permasalahan, Pak Saniblah yang dikambing hitamkan. Melihat Pak Sanib yang sering duduk termenung di pintu Rumah di kala senja, sudah hal biasa bagi masyarakat di Kampung Pelang.
      Hingga pada suatu sore, Pak Sanib tak terlihat lagi duduk di tepi pintu Rumahnya. Tetangganyapun menanyakan keberadaan Pak Sanib yang tak terlihat sore itu kepada istri Pak Sanib, karena sore itu ada pengajian di Surau Gadang, dan Pak Sanib tak nampak datang. Pak Sanib yang biasanya selalu aktif dalam pengajian, tak hadir hari itu.  Â
       "bapak pergi menjenguk ladang sedari pagi. Durian kami sedang berputik lebat, banyak kera-kera yang meruntih buahnya, jadi dia menunggunya sampai sore disana. Mungkin, sebentar lagi pulang." Begitu ungkap istri Pak Sanib kepada tetangga. Â
      Keesokan paginya, salah satu tetangga Pak Sanib kembali mendatangi rumah Pak Sanib. Namun, pagi itu Pak Sanib juga tak terlihat.
      "apakah Pak Sanib sudah berangkat ke ladang? Ini ada sedikit kolak pisang raja untuk ibuk dan Pak Sanib. Mungkin bapak mau membawanya ke ladang untuk dimakan-makan sambil menunggu ladang." Ucap tetangga itu sambil menyodorkan rantang berisi kolak ditangannya.
      "dia belum pulang sejak dari semalam. Mungkin kera-kera di ladang semakin banyak, jadi dia bermalam di ladang." Ungkap istri Pak Sanib.
      "apa bapak membawa banyak bekal ke ladang?
      "tidak. Kemarin dia hanya membawa sebotol air minum.
      "oooh, sebaiknya kolak ini saya antar ke ladang saja ya mak. Kasihan beliau belum makan sejak kemarin." Tetangga itu kembali mengambil rantang kolak dari tangan istri Pak Sanib.
      Sebagai tetangga dekat Pak Sanib, wanita yang bernama Imah itu tau betul kebiasaan Pak Sanib yang sering menahan perut kosong demi menunggu ladang. Pak Sanib tidak akan pulang untuk mengisi perut, karena itu akan membuat istrinya marah, jika meninggalkan ladang di tengah siang. Dan istrinya Pak Sanibpun tidak akan sudi berjalan kaki mengantarkan bekal untuk Pak Sanib.
      Hampir setengah hari Imah berjalan kaki menuju ladang yang berjarak lima kilometer dari rumahnya itu. Jalan menuju ladang Pak Sanib yang membentang di lereng Bukit Barisan, cukup terjal dan melelahkan bagi seorang wanita untuk menempuhnya. Namun, ia terus menapakinya tanpa lelah. Wanita yang telah berumur tiga puluhan itu, sangat peduli terhadap Pak Sanib. Ia telah menganggap Pak Sanib seperti ayahnya sendiri, karena memang ia sudah ditinggal sosok Ayah sedari kecil.
      Tibalah Imah di pondok tempat dimana Pak Sanib sering bermalam menunggu ladang. Namun, tidak ada tanda-tanda bahwa pondok itu baru saja ditempati orang. Pintu pondok itu terkunci, dan tak ada bekas pembakaran yang baru di pondok itu. Tungku batu di bawah pondok itupun seperti sudah lama tak digunakan. Hanya ada puntung lapuk dan abu yang sudah menggumpal di tungku perapian itu.
      Ia coba mengintari setiap sudut ladang, sambil memanggil-manggil nama Pak Sanib. Namun, tiada suara sahutan yang terdengar sampai ketelinganya. Ladang itu hanya bising dengan bunyi kera-kera yang bergelantungan di dahan durian. Dan ditambah suara Tonggeret Rimba yang nyaring, membuat teriakan Imah seakan hilang begitu saja ditengah Hutan Bukit Barisan.
      Cukup lama Imah menunggu di ladang itu. Tetapi tak ada tanda-tanda kehadiran  Pak Sanib di tempat itu. Kolak yang dibawanya untuk Pak Sanib juga sudah berbau tidak enak. Perasaannya mulai berkata lain. Ia juga teringat akan suaminya yang mungkin telah pulang dari berkerja, karena hari memang sudah hampir senja.
"apa mungkin Pak Sanib sudah kembali ke rumah lewat jalan lain? Sebaiknya aku pulang. Mungkin Uda Saipul sudah sampai di rumah. Uda pasti kebingungan mencariku." Pikir Imah dalam hati. Dan memutuskan untuk pulang.
Sesampainya di rumah, Imah bertanya kembali kepada Ibu Siti. Ia datangi rumah yang hanya berjarak delapan meter dari perkarangannya itu. Namun ternyata Pak Sanib belum juga pulang ke rumahnya. Imah meminta bantuan suaminya untuk menanyakan kepada warga yang ladangnya berdekatan dengan Pak Sanib, tentang keberadaan Pak Sanib. Tetapi tidak satupun dari mereka melihat Pak Sanib ada di ladang. Dan akhirnya di sore itu Imah dan suaminya melaporkan kejadian ini ke Kepala Desa.
Di Surau Gadang, Kepala Desa mengumumkan berita tentang kehilangan Pak Sanib. Seluruh warga laki-laki di Kampung Pelang dikumpulkan di Surau Gadang, guna membantu pencarian Pak Sanib yang tak pulang sejak kemarin. Sejengkal demi sejengkal ladang-ladang yang membentang di kaki Bukit Barisan ditelusuri oleh masyarakat Kampung Pelang. Namun, hingga larut malam Pak Sanib belum jua ditemukan.
Ke esokan harinya, pencarian kembali dilanjutkan. Tidak hanya warga, pencarian juga dibantu oleh pihak Kepolisian dan BPBD. Lereng Bukit Barisan kembali dikerumuni orang-orang yang memanggil dan meneriakkan nama Pak Sanib. Dan anjing pelacakpun juga dikerahkan.
Di setengah hari pencarian, masyarakat bertemu dengan seorang Pemikat Burung Balam. Orang itu juga cukup kenal baik dengan Pak Sanib, karena ia tidak sekali dua kali lagi menumpang memikat Burung Balam di ladang Pak Sanib. Ia menjelaskan, bahwa sehari yang lalu ia bertemu dengan Pak Sanib di puncak bukit.
"Saat itu saya melihat Pak Sanib membawa tali kira-kira sepanjang lima meter. Ketika ditanya untuk apa tali itu, Pak Sanib menjawab untuk membuat perangkap kera. Saya heran juga saat itu, kenapa Pak Sanib membuat jerat kera sampai ke puncak bukit ini, sedangkan ladangnya jauh di bawah sana." Ungkap pria pemikat Burung Balam itu.
Masyarakat, pihak Kepolisian dan BPBD, segera menuju lokasi yang diceritakan oleh pemuda itu. Lokasi yang disebutkan Pemikat Burung Balam itu cukup jauh, hingga menghabiskan waktu sekitar empat jam, dan sekitar jam enam sore hari, barulah mereka sampai dilokasi tersebut.
Benar saja, tidak lama masyarakat, pihak Kepolisian dan BPBD menyusuri wilayah hutan itu, mereka menemukan Pak Sanib tergantung di Pohon Durian dengan leher terjerat tali. Tubuh Pak Sanib sudah mulai menggembung dan menguluarkan aroma tidak sedap. Pihak kepolisian dan dibantu BPBD segera menurunkan jasad tersebut, dan membawanya ke Rumah Sakit untuk diindentifikasi. Dan karena tidak adanya ditemukan tanda-tanda kekerasan di  jasad Pak Sanib, pihak Kepolisian menyimpulkan peristiwa ini murni bunuh diri.
Hancur remuk hati Imah melihat jasad Pak Sanib yang diantar pihak Kepolisian. Air mata perlahan mengalir di pipinya, meski ia berusaha menahan, bahunya gemetar tak terkendali. Matanya memerah, melayangkan tatapan kosong yang seakan menembus kantong mayat di depannya. Bibirnya meratap tanpa peduli pada hiruk pikuk di sekitarnya. Laki-laki tua yang sudah ia anggap sebagai ayah, terbujur kaku di depan matanya.
Jeritan Imah makin menjadi-jadi, saat kantong mayat Pak Sanib dibukakkan oleh Polisi. Wajah pria baya di dalam kantong itu sudah membengkak, dan beberapa bagian kulitnyapun mulai menggelupas. Hanya rambutnya yang memutih yang masih sama seperti sebelum ia pergi.
Tak ada yang dapat dilakukan Imah disaat itu selain terus meratap dan mengingat kepedihan hidup Pak Sanib semenjak tinggal menjadi tetangganya. Tak ada raut gembira terpancar dari wajah Pak Sanib semenjak pulang dari Malaysia. Istri yang berpuluh-puluh tahun terpisah darinya, seharusnya merindukannya, bukan terus-terusan menghantam kesabarannya. Hampir setiap hari Pak Sanib mendapatkan umpatan kasar dari istrinya, bahkan hanya karena semut merah masuk rumah, Pak Sanib dikatakan tak berguna.
Kesabaran Pak Sanib sungguh sangat diuji oleh istrinya sendiri. Namun, ia tak pernah berniat meninggalkan istrinya itu. Hanya terkadang Pak Sanib pernah mengeluh kepada Imah dan berkata, "laki-laki yang salah menumpangkan hatinya hanya akan seperti kerbau yang dipasangkan bajak di pagi hari, dimandikan tengah hari, dan diikatkan tali di malam hari." Dan Pak Sanib juga sempat berpesan kepada Imah, "jadilah wanita yang tepat untuk laki-lakimu. Cintai dia di hari tuanya seperti kau menyukainya di masa mudanya." Â Â Â
Prahara rumah tangga yang melanda Pak Sanib di usia senjanya, sungguh teramat menyakitkan, sehingga membuatnya sangat yakin untuk meninggalkan cerita dunia. Tali yang sering dipakainya untuk menjerat kera, akhirnya dipakai untuk menjerat lehernya. Tak sedikitpun masyarakat Kampung Pelang mempercayai kisah hidup pria baya berambut putih ini berakhir di ujung tali, namun itulah yang terjadi.
Sejak kematian Pak Sanib diumumkan di Surau Gadang Kampung Pelang, Buk Siti istrinya Pak Sanib, mengunci diri di kamarnya. Bahkan saat jenazah Pak Sanib sudah diantar pihak Kepolisian ke kediaman itupun, Buk Siti juga tak kunjung keluar. Â
Hingga akhirnya anak laki-lakinya yang baru pulang dari kota Penang, berteriak memanggil nama Buk Siti. Dengan kesedihan dan amarah yang telah memuncak ke ubun-ubun, mencoba mendobrak pintu kamar itu. Ia mengepalkan tinjunya, napasnya berat dan tak beraturan, sementara matanya menyala. Suara dentuman pintupun bergema di seluruh ruangan saat ia membanting tangannya dengan keras. Â Â Â Â Â Â Â
Pintu kamar itu akhirnya terbuka. Terlihatlah Ibu Siti yang sedang merenung di pojok kamarnya, sambil terus berkata, "kera lebih pandai menyenangkan hati betinanya."(*) R.M Affandi. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H