Mohon tunggu...
Robi Muhammad Affandi
Robi Muhammad Affandi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta dan Penulis Media Online

Hidup adalah tentang bagaimana engkau bercerita, dan bagaimana engkau diceritakan. Karena dengan cerita itulah manusia akan dikenal dalam sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senja di Ujung Tali

11 Agustus 2024   19:40 Diperbarui: 13 Agustus 2024   00:04 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            "apakah Pak Sanib sudah berangkat ke ladang? Ini ada sedikit kolak pisang raja untuk ibuk dan Pak Sanib. Mungkin bapak mau membawanya ke ladang untuk dimakan-makan sambil menunggu ladang." Ucap tetangga itu sambil menyodorkan rantang berisi kolak ditangannya.

            "dia belum pulang sejak dari semalam. Mungkin kera-kera di ladang semakin banyak, jadi dia bermalam di ladang." Ungkap istri Pak Sanib.

            "apa bapak membawa banyak bekal ke ladang?

            "tidak. Kemarin dia hanya membawa sebotol air minum.

            "oooh, sebaiknya kolak ini saya antar ke ladang saja ya mak. Kasihan beliau belum makan sejak kemarin." Tetangga itu kembali mengambil rantang kolak dari tangan istri Pak Sanib.

            Sebagai tetangga dekat Pak Sanib, wanita yang bernama Imah itu tau betul kebiasaan Pak Sanib yang sering menahan perut kosong demi menunggu ladang. Pak Sanib tidak akan pulang untuk mengisi perut, karena itu akan membuat istrinya marah, jika meninggalkan ladang di tengah siang. Dan istrinya Pak Sanibpun tidak akan sudi berjalan kaki mengantarkan bekal untuk Pak Sanib.

            Hampir setengah hari Imah berjalan kaki menuju ladang yang berjarak lima kilometer dari rumahnya itu. Jalan menuju ladang Pak Sanib yang membentang di lereng Bukit Barisan, cukup terjal dan melelahkan bagi seorang wanita untuk menempuhnya. Namun, ia terus menapakinya tanpa lelah. Wanita yang telah berumur tiga puluhan itu, sangat peduli terhadap Pak Sanib. Ia telah menganggap Pak Sanib seperti ayahnya sendiri, karena memang ia sudah ditinggal sosok Ayah sedari kecil.

            Tibalah Imah di pondok tempat dimana Pak Sanib sering bermalam menunggu ladang. Namun, tidak ada tanda-tanda bahwa pondok itu baru saja ditempati orang. Pintu pondok itu terkunci, dan tak ada bekas pembakaran yang baru di pondok itu. Tungku batu di bawah pondok itupun seperti sudah lama tak digunakan. Hanya ada puntung lapuk dan abu yang sudah menggumpal di tungku perapian itu.

            Ia coba mengintari setiap sudut ladang, sambil memanggil-manggil nama Pak Sanib. Namun, tiada suara sahutan yang terdengar sampai ketelinganya. Ladang itu hanya bising dengan bunyi kera-kera yang bergelantungan di dahan durian. Dan ditambah suara Tonggeret Rimba yang nyaring, membuat teriakan Imah seakan hilang begitu saja ditengah Hutan Bukit Barisan.

            Cukup lama Imah menunggu di ladang itu. Tetapi tak ada tanda-tanda kehadiran  Pak Sanib di tempat itu. Kolak yang dibawanya untuk Pak Sanib juga sudah berbau tidak enak. Perasaannya mulai berkata lain. Ia juga teringat akan suaminya yang mungkin telah pulang dari berkerja, karena hari memang sudah hampir senja.

"apa mungkin Pak Sanib sudah kembali ke rumah lewat jalan lain? Sebaiknya aku pulang. Mungkin Uda Saipul sudah sampai di rumah. Uda pasti kebingungan mencariku." Pikir Imah dalam hati. Dan memutuskan untuk pulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun