Ini juga didukung dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Sahabat Watsilah bin Al-Asqa`. Suatu ketika Nabi Muhammad tengah mengajak Hasan dan Husain. Sang Nabi mendudukkan setiap dari mereka berdua di atas pahanya, seraya mendekatkan Fathimah dan suaminya dari pangkuang sang Nabi. Kemudian Sang Nabi melipat bajunya di hadapan mereka, lantas berdoa: “Ya Allah, merekalah keluargaku.”Mendengar doa ini, akhirnya Sahabat Watsilah langsung bertanya: “Wahai Rasulullah, dan aku termasuk keluarga Baginda kan?Sang Nabi pun menjawab, “Dan kamu termasuk keluargaku.”Padahal jelas, Watsilah tak memiliki hubungan kerabat dengan Rasul, melainkan ia sebagai pengikut sang nabi.
Dan nampaknya, pendapat ketiga inilah yang sering ditekankah oleh Syaikh Nawawi Banten dalam berbagai syarahnya saat menafsiri wa `alihi.[7]Dalam Kasyifatus Saja`,misalnya, pendapat ketiga inilah menurut Syekh Nawawi yang paling sesuai saat berdoa, termasuk di dalam `alihijuga para pelaku maksiat, sebab mereka lebih memerlukan doa daripada yang lain. Sedangkan untuk konteks zakat, yang dimaksud `alihiatau ahlul baitbarulah Bani Hasyim dan Bani Muthalib.
d. Keluarga Nabi adalah Kaum Beriman yang Bertakwa
Argumentasi pendapat ini berlandaskan sebuah hadits dari Sahabt Anas bin Malik(10 S.H-93 H) bahwa Rasulullah Saw pernah ditanya: “Siapakah `Alu Muhammad itu?”Rasul menjawab: “Setiap yang bertakwa,”dan menyitir ayat 34 surat Al-Anfal: “Orang-orang yang berhak menguasainya (Masjidil Haram) hanyalah orang-orang yang bertakwa.”
Pendapat keempat ini diperkuat dengan firman Allah Swt saat menanggapi Nabi Nuh ‘alaihis salamperihal putranya yang tertelan banjir besar: “Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, sungguh (perbuatan)-nya perbuatan yang tidak baik.”(QS. Hud: 46). Karena tak beriman, apalagi bertakwa, Kan`an tidak termasuk keluarga Nabi Nuh. Namun, nampaknya argumentasi ayat ini lebih sesuai untuk menguatkan pendapat ketiga, bukan keempat. Wallahu a’lam.
Demikianlah masing-masing keempat pendapat dengan berbagai landasannya, kami ringkas dari Jilaa`ul Afham fi Fadllish Sholati was Salami ‘ala Khairil Anamﷺ karya Ibnu Qayyim Al-Jawziyyah. Menurutnya, pendapat yang kuat adalah pendapat pertama dan kedua.[8] Namun, yang dipilih oleh sebagian ulama belakangan, tulis Seykh Abu Bakar Syattha` (1226-1310 H), bergantung pada konteks dan redaksinya. Harus disesuaikan.[9] Dan semuanya memiliki latar belakang landasan kuat yang mesti kita hargai dan posisikan pada tempatnya dengan tepat.
Alhasil,bila kita menafsiri keluarga Nabi dengan pendapat pertama dan kedua, maka saat bersholawat kita niatkan pula untuk menyemai cinta Ahlul Baityang senantiasa Rasulullah pesankan dalam berbagai hadits mulianya. Dan bila kita mengikuti pendapat ketiga dan keempat, maka alangkah bahagianya kita setiap kali ada yang bersholawat dan berdoa dengan redaksi “wa `alihi”,sehingga memupuk rasa persatuan umat Islam lebih kuat dalam membangun perdamaian dan kasih sayang sebagai sesama keluarga Baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa `alihi wasallam.
Wallahu a’lam bish Showab
Kamis Dini, 31/03/2016 di Ampang, Kuala Lumpur
*) Ditulis untuk Pengajian Online Safinah (POS) Kmnu Iium dan Kalam Ulama
_______________________