Mohon tunggu...
Robert Antonius
Robert Antonius Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer dan Videografer lepas

hobinya kerja, kerjanya jalan-jalan, menikmati Indonesia bagian dari desa saya.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Satya Haprabu Tan Satrisna - Serial Kitab Selendang Naga Langit (3)

26 Januari 2024   00:07 Diperbarui: 27 Januari 2024   13:03 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto dok nixau pada latihan silat perisai diri sekedar ilustrasi.

Kotaraja saat ini telah berubah menjadi ramai semenjak Dyah Wijaya membuka alas Tarik dan menetapkan wilayah desa Majapahit sebagai dampar singgasana kerajaan Wilwatikta.  Debu-debu berhamburan dari kelebat 4 orang yang menderap kuda tunggangan laiknya terbang melalui jalan utama menuju gerbang masuk Kotaraja. Nampak terlihat kuda-kuda itu dipacu tanpa henti, para penunggangnya seperti enggan melewatkan waktu sedetik pun untuk sekedar istrahat bahkan melambatkan laju kuda tunggangannya.

Ki Demang dan Utami dengan ditemani oleh  dua prajurit Majapahit langsung menuju ke Pura Bina Grha, sebuah wisma di sayap kiri dari paseban pura Majapahit. Sosok penting telah menanti kedatangan Ki Demang. Pandangan Utami menyapu kesekeliling kompleks,  tak henti-hentinya ia mengagumi  keramaian kotaraja dengan keindahan bangunannya terlebih ini adalah kunjungan kali pertamanya ke pusat pemerintahan Majapahit,  lelah dan penat berkuda sepertinya tidak dirasakannya lagi.

Ki Demang yang segera turun dari kuda langsung segera berjumpa kepada pemberi pesan. Rakryan Rangga, sebuah jabatan selaku pembantu panglima angkatan bersenjata kerajaaan sudah menunggunya. Sosok yang ditemuinya ini adalah perwira militer yang sangat perbawa dan ahli strategi dalam pertempuran,  satu dari sekian perwira yang dahulu dipercaya penuh oleh Kertanegara dalam ekspedisi ke Melayu, seklaigus juga merupakan pimpinan langsung Ki Demang kala ia masih bergabung di militer era Singhasari.  Sebab itulah Ki Demang mau segera keluar dari padepokan menuju Kotaraja, dengan berbagai pertanyaan berkecamuk dalam pikirannya sepanjang perjalanan tentunya.

Kerisauan Ki Demang dipicu selain soal lontar sandi yang dikirimkan oleh dua Caraka kemaren, juga selain setelah melihat sendiri bagaimana suasana yang mencekam di kotaraja dari cerita kedua Caraka yang menjemputnya. Memasuki Kotaraja nampak sangat mencolok terlihat prajurit2 kerajaan banyak berjaga-jaga, mulai dari gapura masuk hingga ke alun-alun. Panji2 militer Majapahit dikibarkan disetiap sudut. Pun sepanjang di perjalanan tadi, Ki Demang beberapa kali menjumpai serombongan pasukan2  Majapahit bersenjatakan lengkap dengan panji2 yang berkibar menandakan kesatuan2 dari pasukan tersebut, semua bergerak ke arah pesisir utara. Gelar pasukan yang cukup besar yang biasa dilaksanakan jika dalam kondisi tempur atau ada penyambutan duta negara saja menurutnya. berdasar pengalamannya sebagai pasukan sandi yudha Singhasari, pemandangan itu meyakinkan Ki Demang memang benar akan ada prahara, bukan hanya sekedar gelar sepapan pasukan.

Surya Majapahit baru saja terbit, pergolakan dinasti dari Singhasari berujung tragis dan berbalik berkat kegigihan Dyah Wijaya dan para pendukung-pendukung setianya untuk kembali meneruskan tahta Singhasari yang porak poranda akibat penghianatan dan persekongkolan jahat dari kalangan dekat Kertanegara. Musuh-musuh Singhasari tentunya sekarang juga menjadi musuh Majapahit. Dyah Wijaya sendiri bercita-cita mewujudkan ambisi Singhasari yang luhur dalam mempersatukan Dwipantara, bahkan lebih menjadi lebih luas seantero Nusantara. Cakrawala Mandala menjadi pilihan politik Majapahit, keinginan meneruskan penyatuan wilayah-wilayah Nusantara yang sederajat dan saling menyokong  seperti upaya cita-cita Singhasari yang telah dicanangkan oleh Sri Rajasa Kertanagara.

Dalam memandang keperluan itu, Dyah Wijaya perlu mendudukkan para pembantu-pembantu setianya yang cakap dalam mengatur pemerintahan, serta tak lupa memberikan penghargaan setinggi-tingginya atas jasa para mereka yang telah bersamanya berjuang bersama dalam mendirikan Majapahit, dari mulai pelarian ke desa Terung di utara wilayah Singhasari terus menuju ke timur dan menyeberang ke Songenep hingga akhirnya tiba saatnya saling bahu-membahu mengusir tentara Tartar kembali ke utara. Majapahit dibangun dari darah dan keringat para abdi setia dan oleh sebab itu tidak boleh menjadi sebuah kesia-sian belaka, begitu ujar Dyah Wijaya dalam setiap kesempatan kala mengingatkan para Mahamantri , para Rakryan Patih, para Dharmadyaksa, dan juga seluruh Nayaka Praja mulai dari Tumenggung hingga para Akuwu wilayah dalam mengemban tugas dan pengabdian negara.

Sementara itu jauh di barat daya Kotaraja, sang Rakryan Mantridwipantara Arya Adikara yang juga bertindak selaku Adipati wilayah Tuban dan sekitarnya, dengan tenang dan seksama memberikan arahan kepada para Tumenggung  Arya dan jajaran Akuwu se-kadipaten, kepulangannya dari Majapahit beberapa waktu lalu masih menyisakan kegalauan. Bermuara pada ulahnya memprotes keputusan Sang Prabu Dyah Wijaya dalam memilih Mapatih Hamangkubhumi yang  bakal menjadi pejabat utama dan berkuasa atas jalannya roda pemerintahan. Sosok yang terpilih itu menurutnya sangat kurang berpengalaman, Adipati Tuban sendiri memang terkenal dengan sifat dan sikapnya yang terlalu jujur dan terbuka serta apa adanya, emosinya sering meledak-ledak seperti kala ia menyampaikan pandangannya terhadap pemilihan Mahapatih Majapahit hari itu.

Dalam pertemuan tersebut, Adipati Tuban sampai berkata-kata keras dan kasar kepada Mahapatih tertunjuk, Nambi, dan dengan tanpa segan serta tedeng aling-aling mengata-ngatai sambil menuduh ketidakbecusan dan betapa tidak berpengalamannya Nambi dalam mengatur jalannya roda pemerintahan. Nambi hanya bersikap diam dan tetap bersila di tempatnya, tenang sambil mendengar serta menerima semua kata-kata nan kasar dan tak mendasar atas penunjukkannya sebagai Mahapatih.  Apa lacur, Adipati Tuban pun telah sampai melontarkan tantangan duel kepada Nambi, keras dan menggelegar saking jengkelnya atas sikap diamnya Nambi dan juga Sang Prabu sendiri dalam menyikapi protesnya akan hal itu. Tantangan bergema di paseban pura majapahit, disaksikan oleh seluruh Rakryan Patih, Dharmaputera dan para Mahamantri Raja yang hadir.

Sikap terbuka dan protes keras dari Adipati Tuban sejatinya mendapat dukungan hampir semua para Mahamantri dan juga beberapa Rakryan, tapi mengingat sikap dan tingkah laku selama dalam paseban yang justru dinilai jauh dari tata susila dalam berdiskusi dan mengutarakan pendapatnya dengan Sang Prabu, membuat pejabat-pejabat yang hadir berbalik menjadi kurang mendukung, meski tetap setuju dengan apa yang disampaikan.

Dyah Wijaya tetap dalam keputuasannya sebagai kepala negara dan sudah memberi titah, peran Mapatih Hamangkubhumi telah ditentukan. Sabda Pandita Ratu, apa yang telah diputuskan oleh raja tidak bisa ditarik kembali, dengan masih tetap menunjukkan rasa cinta dan hormat Dyah Wijaya yang sebesar-besarnya kepada seluruh para pendukungnya, terlebih Adipati Tuban yang amat sangat dikasihinya. Sang Prabu Dyah Wijaya memiliki pemikiran sendiri, meski dibilang Nambi minim pengalaman tempur, tapi di matanya Nambi adalah sosok perwira yang sangat pandai dalam siasat dan strategi, pengalaman tempurnya memang terbilang masih dibawah para Rakryan Patih yang hadir, terlebih jika disandingkan dengan Adipati Tuban, apalagi dengan Lembu Sora atau Mahisa Anabrang yang juga hadir pula dalam pertemuan di paseban waktu itu.

Pertimbangan Dyah Wijaya terlebih pada persoalan Surya Majapahit yang baru saja terbit, membutuhkan peran dari sosok yang sangat ahli berstrategi, membangun diplomasi selain menata kehidupan bernegara di dalam Majapahit sendiri. Mengingat belum lama berselang, kehidupan masyarakat porak poranda akibat perang saudara paska keruntuhan Singhasari yang berkepanjangan, sekarang saatnya Majapahit bangkit dan membangun kembali tatanan masyarakat yang adil makmur gemah ripah loh jinawi.

Ki Demang menyimak penuturan runut sang  Rakryan Rangga Singha Adhyaksa, sambil bercakap mereka berdua menuju ke pelataran belakang, berbincang dekat dengan kolam ikan dengan airnya yang mengalir gemericik, menyamarkan perbincangan agar tidak terdengar oleh orang lain pun prajurit pengawal yang berjaga di sekitar Pura Bina Grha. Satu kejadian penting telah terjadi, sang Prabu Dyah Wijaya memberikan perintah untuk dapat meredam gejolak yang terjadi antara para pendukungnya, mengingat kesemuanya adalah para pendukung setia perjuangannya dari mulai pelarian menumpas pemberontakan Jayakatwang hingga Majapahit berdiri.

Pelajaran perang saudara dan penghianatan oleh orang-orang terdekat menjadi perhatian utama Sang Prabu, Majapahit dalam masa awal perkembangannya sebagai negara harus bisa melewati masalah internal yang tidak perlu. Menjaga stabilitas dan menghindari pertumpahan darah diantara para pendukungnya. Cakrawala Mandala Wilwatikta yang baru harus bisa dibangun dari semangat persatuan dan kesatuan yang utuh, bukan dendam masa lalu.

Di ujung perbincangan, Ki Demang mendapati satu pilihan yang sulit untuk ditolaknya. Sudah  lama dirinya undur diri dari dunia militer dan memilih tinggal di pedalaman serta hidup sederhana. Namun setelah menyimak  uraian singkat dari mantan perwira pimpinannya perihal prahara yang bakal terjadi, ia menjadi sangat terusik.  Jauh di pedalaman, Ki Demang sendiri merasakan kehidupan masyarakat masih banyak yang sengsara akibat sisa perang saudara. Para Narayan Praja di wilayah pedalaman masih saling berebut kuasa dan unjuk kekuatan, sering menyakiti rakyat dan sangat jauh dari sifat serta tindakan mengayomi, kondisi ini berakibat rakyat menderita kekurangan pangan yang berkepanjangan dan kejahatan timbul merajalela.

Munculnya Majapahit bisa menjadi harapan baru bagi rakyat untuk dapat hidup damai dan tenteram, meski terbilang masih muda sebagai bentuk kerajaan,  sikap dan perilaku pejabat-pejabat Majapahit telah berhasil meredam kesengsaraan rakyat, tatanan baru diberlakukan, hukum ditegakkan, tata negara hingga niaga di lakukan dengan seadil-adilnya. Tata Titi Tentrem Kerta Raharja menjadi mantram semboyan yang dipatrikan kepada seluruh Mahamantri raja dalam menjalankan tugas-tugasnya. Rakyat kembali memiliki harapan akan kehidupan yang  gemah ripah loh jinawi.

Tentu saja sebagai kerajaan yang muda usia, masih menyimpan banyak bara api dendam dari musuh-musuhnya. Bahaya selalu mengintai, Dyah Wijaya selalu menegaskan semboyan Mitreka Satata, semangat kesetaraan di dalam setiap kesempatan. Majapahit harus menjaga hubungan negara dengan desa harus sedemikian erat dan setara, seperti singa dengan hutan. Jika desa rusak, maka negara akan kekurangan bahan makanan, kalau tidak ada tentara, negara lain akan mudah menyerang, karenanya peliharalah keduanya, demikianlah Sang Prabu Dyah Wijaya menyalurkan perintah ke segenap jajaran para Tanda dan Narayan Praja dibawahnya.

Lonceng siaga berdentang, bergema ke penjuru kotaraja. Kali ini bunyi lonceng tanda panggil pasukan yang bersumber dari pangkalan komando utama angkatan bersenjata Majapahit. Derap kaki para prajurit yang berbaris penuh kesiapsiagaan, berkumpul di alun-alun Kotaraja, membentuk formasi dengan bersenjata lengkap dengan perisai2 nan mengkilat. Para perwira-perwira kesatuan memberikan taklimat singkat. Alhasil dalam waktu seketika, barak-barak ksatryan menjadi kosong, hanya menyisakan prajurit jaga yang jumlahnya tidak seberapa. Iringan pasukan ini mengular bergerak ke arah utara, menuju Tuban. Menyusul gelar pasukan yang juga telah pergi mendahului perintah diluar garis komando utama angkatan bersenjata kerajaan.

Prahara sudah mulai timbul sejak dimulai dari pembangkangan militer dari para perwira-perwira tempur seperti Tosan, Kidang Galatik, Siti Muringgang dan Kelabang Juring yang telah menggerakkan kesatuan2 militer yang dipimpinya untuk bergabung kepada sang Rakryan Mantridwipantara Arya Adikara di Tuban serta loyal dalam mendukung protesnya. Banjir darah akan segera terjadi.

Masih sempat Ki Demang dan Rakryan Rangga Singha Adhiyaksa menyaksikan iringan pasukan yang dikenali dari panji berwarna merah menyala dengan gambar lintang surya berwana kuning emas. Pasukan Langlangbuana telah berbaris meninggalkan Kotaraja. Derap suara pasukan yang berbaris dan situasi yang mendadak berubah membuat Ki Demang memberikan keputusan menerima tugas yang diberikan padanya tanpa berpikir panjang lagi. Kesediaanya dipicu oleh keprihatinan akan munculnya gejolak politik yang akan mengganggu kehidupan masyarakat Majapahit. Ki Demang bergegas menghampiri Utami yang masih sibuk beradu silat dengan para pengawal di dalam aula Pura Bina Grha.

Singha Adhyaksa telah membeber mandat kepada Ki Demang, untuk mengupayakan perdamaian dan mencegah pembangkangan pemerintahan lokal kepada pusat. Sebuah mandat yang disanggupi meski tantangan berat nampak menghadang. Tugas Ki Demang menghindari jatuhnya korban sia-sia dan tidak perlu jika nanti terpaksa Majapahit betindak keras untuk menyadarkan Adipati Tuban yang sedang berselisih paham dengan pemerintah pusat. Rangga Lawe yang telah dianugrahi sebagai penguasa wilayah Tuban adalah sosok pahlawan bagi Majapahit, nama besar serta kiprahnya bersanding bersama Dyah Wijaya dan pengikut lainnya, saling bahu membahu dari mulai meredam pemberontakan Jayakatwang di Kadiri hingga membangun tahta Majapahit.

Sejatinya Rangga Lawe tidak berniat sama sekali mendudukan dirinya lebih tinggi dari Nambi pun meminta lebih dari yang ia sudah terima dari Sang Prabu Dyah Wijaya. Lawe hanya ingin pendapatnya di dengar, demi kemajuan Majapahit itu sendiri. Sudah menjadi ketetapan yang hidup, bahwasanya tidak ada yang kekal di muka bumi ini, protes Lawe telah dianggap menimbulkan gejolak di pemerintahan pusat. Kata yang sudah terucap, pantang untuk ditarik kembali, Rangga Lawe sebagai perwira yudha sangat memahami hal tersebut. Risiko perang berhadapan dengan angkatan bersenjata Majapahit terbentang di depan mata.

....

Setelah menyanggupi tugas yang diembankan, Ki Demang berjalan menuju aula untuk bersiap berangkat tatkala tiba2 tengkuknya berasa ada angin yang cepat menyambar, sebuah serangan datang mengarah tepat menuju batang leher belakangnya, dengan gerakan naga menyelam Ki Demang memutar tubuh sambil egos ke kiri, sudut matanya melihat sekelebat bayangan hitam deras dengan suara mendesis membelah udara. Memutar tubuh dan sambil melakukan gerakan bedhol naga, jari-jari tangan Ki Demang menangkap kelebat hitam tersebu yang ternyata sebuah senjata lempar. Meski tepat tertangkap, siku tangan Ki Demang tetap bergetar, menandakan senjata itu dilemparkan dengan tenaga dalam yang kuat, setara dengan tingkatan tenaga dalam Ki Demang sendiri. Ki Demang menatap dengan teliti senjata yang ada ditanganya tersebut, sebuah pisau bermata dua yang tajam di kedua sisi dengan ujung yang runcing, seluruhnya berwarna hitam legam mulai dari mata pisau hingga ke gagang, berat pisau terletak di ujung, menandakan senjata tersebut merupakan senjata yang ideal dilemparkan ke sasaran meski dari jarak yang cukup jauh. Lebih seksama lagi Ki Demang memperhatikan pada batang pisau itu, terdapat ukiran aksara yang cukup jelas terbaca, 'Satya Haprabu Tan Satrisna'

Di satu sisi, bejarak lebih dari 3 tombak, Rakryan Rangga yang sengaja melempar pisau tersebut ke arah Ki Demang, mengetes sambil menguji kesiapsiagaan Ki Demang sekaligus mempertunjukkan keahliannya melempar pisau yang amat dikuasainya.

'Simpanlah pisau itu, setibanya di Tuban, jika ada yang meragukan jati dirimu, tunjukkanlah'

'Baik Tuban maupun Majapahit akan memahami kepada siapa dirimu mengemban tugas'

"Tandya", ucap balas Ki Demang, dan sambil lebih seksama lagi ia memperhatikan akasara pada batang pisau itu, sandi Satya Haparabu Tan Satrisna sangat membekas dalam ingatannya.

'Baiklah, jika demikian hamba pamit undur diri dan segera berkuda ke Tuban sekarang juga juga' kembali Ki Demang menjawab.

 "Sebentar lagi malam menjelang, tundalah, dan bersitirahatlah di wisma tamu", lanjut Rakryan Rangga, "Pagi buta berkudalah ke Ujung Galuh, tunjukkan lontar sandi ini ke Singha Nala, dia akan membantumu mengantar dengan perahu ke Tuban.

(bersambung)..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun