Mohon tunggu...
Robert Antonius
Robert Antonius Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer dan Videografer lepas

hobinya kerja, kerjanya jalan-jalan, menikmati Indonesia bagian dari desa saya.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Satya Haprabu Tan Satrisna - Serial Kitab Selendang Naga Langit (3)

26 Januari 2024   00:07 Diperbarui: 27 Januari 2024   13:03 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto dok nixau pada latihan silat perisai diri sekedar ilustrasi.

Ki Demang menyimak penuturan runut sang  Rakryan Rangga Singha Adhyaksa, sambil bercakap mereka berdua menuju ke pelataran belakang, berbincang dekat dengan kolam ikan dengan airnya yang mengalir gemericik, menyamarkan perbincangan agar tidak terdengar oleh orang lain pun prajurit pengawal yang berjaga di sekitar Pura Bina Grha. Satu kejadian penting telah terjadi, sang Prabu Dyah Wijaya memberikan perintah untuk dapat meredam gejolak yang terjadi antara para pendukungnya, mengingat kesemuanya adalah para pendukung setia perjuangannya dari mulai pelarian menumpas pemberontakan Jayakatwang hingga Majapahit berdiri.

Pelajaran perang saudara dan penghianatan oleh orang-orang terdekat menjadi perhatian utama Sang Prabu, Majapahit dalam masa awal perkembangannya sebagai negara harus bisa melewati masalah internal yang tidak perlu. Menjaga stabilitas dan menghindari pertumpahan darah diantara para pendukungnya. Cakrawala Mandala Wilwatikta yang baru harus bisa dibangun dari semangat persatuan dan kesatuan yang utuh, bukan dendam masa lalu.

Di ujung perbincangan, Ki Demang mendapati satu pilihan yang sulit untuk ditolaknya. Sudah  lama dirinya undur diri dari dunia militer dan memilih tinggal di pedalaman serta hidup sederhana. Namun setelah menyimak  uraian singkat dari mantan perwira pimpinannya perihal prahara yang bakal terjadi, ia menjadi sangat terusik.  Jauh di pedalaman, Ki Demang sendiri merasakan kehidupan masyarakat masih banyak yang sengsara akibat sisa perang saudara. Para Narayan Praja di wilayah pedalaman masih saling berebut kuasa dan unjuk kekuatan, sering menyakiti rakyat dan sangat jauh dari sifat serta tindakan mengayomi, kondisi ini berakibat rakyat menderita kekurangan pangan yang berkepanjangan dan kejahatan timbul merajalela.

Munculnya Majapahit bisa menjadi harapan baru bagi rakyat untuk dapat hidup damai dan tenteram, meski terbilang masih muda sebagai bentuk kerajaan,  sikap dan perilaku pejabat-pejabat Majapahit telah berhasil meredam kesengsaraan rakyat, tatanan baru diberlakukan, hukum ditegakkan, tata negara hingga niaga di lakukan dengan seadil-adilnya. Tata Titi Tentrem Kerta Raharja menjadi mantram semboyan yang dipatrikan kepada seluruh Mahamantri raja dalam menjalankan tugas-tugasnya. Rakyat kembali memiliki harapan akan kehidupan yang  gemah ripah loh jinawi.

Tentu saja sebagai kerajaan yang muda usia, masih menyimpan banyak bara api dendam dari musuh-musuhnya. Bahaya selalu mengintai, Dyah Wijaya selalu menegaskan semboyan Mitreka Satata, semangat kesetaraan di dalam setiap kesempatan. Majapahit harus menjaga hubungan negara dengan desa harus sedemikian erat dan setara, seperti singa dengan hutan. Jika desa rusak, maka negara akan kekurangan bahan makanan, kalau tidak ada tentara, negara lain akan mudah menyerang, karenanya peliharalah keduanya, demikianlah Sang Prabu Dyah Wijaya menyalurkan perintah ke segenap jajaran para Tanda dan Narayan Praja dibawahnya.

Lonceng siaga berdentang, bergema ke penjuru kotaraja. Kali ini bunyi lonceng tanda panggil pasukan yang bersumber dari pangkalan komando utama angkatan bersenjata Majapahit. Derap kaki para prajurit yang berbaris penuh kesiapsiagaan, berkumpul di alun-alun Kotaraja, membentuk formasi dengan bersenjata lengkap dengan perisai2 nan mengkilat. Para perwira-perwira kesatuan memberikan taklimat singkat. Alhasil dalam waktu seketika, barak-barak ksatryan menjadi kosong, hanya menyisakan prajurit jaga yang jumlahnya tidak seberapa. Iringan pasukan ini mengular bergerak ke arah utara, menuju Tuban. Menyusul gelar pasukan yang juga telah pergi mendahului perintah diluar garis komando utama angkatan bersenjata kerajaan.

Prahara sudah mulai timbul sejak dimulai dari pembangkangan militer dari para perwira-perwira tempur seperti Tosan, Kidang Galatik, Siti Muringgang dan Kelabang Juring yang telah menggerakkan kesatuan2 militer yang dipimpinya untuk bergabung kepada sang Rakryan Mantridwipantara Arya Adikara di Tuban serta loyal dalam mendukung protesnya. Banjir darah akan segera terjadi.

Masih sempat Ki Demang dan Rakryan Rangga Singha Adhiyaksa menyaksikan iringan pasukan yang dikenali dari panji berwarna merah menyala dengan gambar lintang surya berwana kuning emas. Pasukan Langlangbuana telah berbaris meninggalkan Kotaraja. Derap suara pasukan yang berbaris dan situasi yang mendadak berubah membuat Ki Demang memberikan keputusan menerima tugas yang diberikan padanya tanpa berpikir panjang lagi. Kesediaanya dipicu oleh keprihatinan akan munculnya gejolak politik yang akan mengganggu kehidupan masyarakat Majapahit. Ki Demang bergegas menghampiri Utami yang masih sibuk beradu silat dengan para pengawal di dalam aula Pura Bina Grha.

Singha Adhyaksa telah membeber mandat kepada Ki Demang, untuk mengupayakan perdamaian dan mencegah pembangkangan pemerintahan lokal kepada pusat. Sebuah mandat yang disanggupi meski tantangan berat nampak menghadang. Tugas Ki Demang menghindari jatuhnya korban sia-sia dan tidak perlu jika nanti terpaksa Majapahit betindak keras untuk menyadarkan Adipati Tuban yang sedang berselisih paham dengan pemerintah pusat. Rangga Lawe yang telah dianugrahi sebagai penguasa wilayah Tuban adalah sosok pahlawan bagi Majapahit, nama besar serta kiprahnya bersanding bersama Dyah Wijaya dan pengikut lainnya, saling bahu membahu dari mulai meredam pemberontakan Jayakatwang di Kadiri hingga membangun tahta Majapahit.

Sejatinya Rangga Lawe tidak berniat sama sekali mendudukan dirinya lebih tinggi dari Nambi pun meminta lebih dari yang ia sudah terima dari Sang Prabu Dyah Wijaya. Lawe hanya ingin pendapatnya di dengar, demi kemajuan Majapahit itu sendiri. Sudah menjadi ketetapan yang hidup, bahwasanya tidak ada yang kekal di muka bumi ini, protes Lawe telah dianggap menimbulkan gejolak di pemerintahan pusat. Kata yang sudah terucap, pantang untuk ditarik kembali, Rangga Lawe sebagai perwira yudha sangat memahami hal tersebut. Risiko perang berhadapan dengan angkatan bersenjata Majapahit terbentang di depan mata.

....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun