Kita tahu Orba adalah era dimana kebebasan berpendapat dimandulkan. Pada era ini orang harus tunduk pada pemerintah : manut atau dilenyapkan.
Kalau ada orang yang berani mengkritik, mengusik kebijakan, nasibnya bakalan berakhir merongos di penjara atau di kuburan.
Cekal dan bredel adalah momok yang ditakuti oleh media atau siapa saja yang berani melanggar garis batas kebijakan penguasa. Tapi walaupun begitu masih ada saja manusia-manusia berani, koclok, radikal dan nekat bersuara menentang penindasan itu.
Salah satu yang berani itu adalah Wiji Thukul. Pemuda kerempeng ringkih tapi akan berubah jadi raksasa buas yang bisa merusak rencana busuk para penindas dalam memuaskan syahwatnya. Bak Kresna yang bertiwikrama menjadi Brahala yang membuat para Kurawa kocar-kacir. Subhanalloh..
Wiji Thukul lahir di kampung Sorogenen, Solo 26 Agustus 1963 ini bernama asli Wiji Widodo. Nama belakang 'Thukul' disematkan oleh Cempe Lawu Warta saat dia mulai aktif berteater di kelompok teater Jagat. Cempe Lawu Warta sendiri adalah Seorang anggota Bengkel Teater asuhan WS. Rendra.
Pendidikan terakhirnya hanya sampai kelas 2 di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) jurusan tari. Putus sekolah karena tak kuat menanggung biaya yang ditanggung bapaknya yang seorang tukang becak. Apalagi Kemajuan transportasi yang begitu pesat, lahan becak pun semakin ciut.
Untuk menyambung hidup, Thukul bekerja apa saja. Dari kuli bangunan, loper koran sampai mengamen dengan baca puisi yang diiringi gamelan ala kadarnya.
Istrinya, Sipon, bekerja sebagai tukang jahit di rumah. Mereka dikaruniai 2 anak, Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah. Dia juga bekerja membantu istrinya dengan menerima pesanan sablon kaos, tas, dan lain-lain.
Sejak di bangku SD Thukul sudah menulis puisi. Disamping berpuisi Thukul juga main teater. Bersama dengan sanggar teaternya Thukul mementaskan cerita yang idenya kebanyakan berangkat dari sebuah protes sosial di sekitar kampungnya yang kumuh.
Dalam menulis puisi, Thukul memiliki prinsip tersendiri. Bagi dia puisi adalah media yang mampu menyampaikan permasalahan rakyat kecil yang tertindas dan juga bagi kaum tertindas di masa Orde Baru.
Dengan membacakan puisi-puisinya, Thukul menyertai rakyat dalam demo-demo menentang kebijakan yang merugikan rakyat kecil. Hari-harinya diisi dengan bersuara membela kaum proletar tadi. Banyak sekali demo yang diikutinya, dari buruh pabrik yang dirugikan sampai rakyat kecil yang dirampas tanahnya. Yang membuatnya selalu diburu oleh aparat.
Apalagi saat dia didapuk jadi ketua divisi budaya oleh PRD (Partai Rakyat Demokratik). Dia punya alat dan wadah untuk lebih mempermudah jalannya menyuarakan, membela rakyat kecil.
Banyak seniman di masa Orba tak setuju pada sikap Thukul ini. Bagi mereka seni tak bisa dicampuradukkan dengan politik. Seni untuk seni dan politik hanya mengotori kesuciannya. Tapi selalu ada masa saat orang terpaksa berhadapan dengan sistem yang menindas dan seniman ikut terpanggil menentangnya.
Pernah suatu malam Thukul tiba-tiba menangis. Ternyata Thukul sedang menulis sajak tentang penderitaan penduduk Cimacan yang di rampas tanahnya dan hanya mendapat ganti Rp 30 (tiga puluh rupiah!) per meter:
DI TANAH NEGERI INI MILIKMU CUMA TANAH AIR
bulan malam membuka mataku
merambati wuwungan rumah-rumah bambu
yang rendah dan yang miring
di muka parit yang suka banjir
membayanglah masa depan
rumah-rumah bambu
yang rendah dan yang miring
lentera minyak gemetar merabamu
penggembara oh penggembara yang nyenyak
bulan malam menggigit batinku
mulutnya lembut seperti pendeta tua
menggulurkan lontaran nasibmu
o tanah-tanah yang segera rata
berubahlah menjadi pabrik-pabriknya
kita pun kembali bergerak seperti jamur
liar di pinggir-pinggir kali
menjarah tanah-tanah kosong
mencari tanah pemukiman disini
beranak cucu melahirkan anak suku-suku terasing
yang akrab derngan peluh dan matahari
di tanah negri ini milikmu cuma tanah air
(Solo, tanpa tahun)
Puisi-puisi Wiji Thukul sangat lugas, miskin rima, apa adanya tanpa kiasan atau kaidah puisi pada umumnya. Jauh dari kesan indah atau romantis. Tapi puisi-puisinya bernyawa, perkasa sekaligus getir.
Di puisi-puisi Wiji Thukul saya tak menemukan cerita soal cewek ketemu cowok, bercinta, menikah, hamil, punya anak bla bla bla. Dan segala isapan jempol soal romantisme yang banyak kita jumpai ketika berumur belasan.
Puisi yang paling cadas dan sering dipakai untuk menyuarakan ketidakadilan penguasa adalah 'Peringatan'. Kalimat dalam puisi ini yang sering dijadikan tagline adalah 'hanya ada satu kata: lawan!'
PERINGATAN
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa berpidato
Kita harus hati hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat sembunyi
Dan berbisik bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Dan bila rakyat tidak berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversi dan menggangu keamanan
Maka hanya satu kata : LAWAN !
(Solo,1986)
Nuansa kemiskinan sangat jelas mewarnai karya-karya Thukul. Jelas terbaca bagaimana dia menggambarkan kepedihan hidup dengan kata lugas dan jelas. Seakan kejahatan yang paling laknat adalah kemiskinan. Dan apesnya puisi tidak mungkin bisa untuk memperbaiki hidup.
CATATAN HARI INI
aku nganggur lagi
semalam ibu tidur di kursi
jam dua lebih aku menulis puisi
aku duduk menghadap meja
ibu kelap-kelip matanya ngitung utang
jam enam sore:
bapak pulang kerja
setelah makan sepiring
lalu mandi tanpa sabun
tadi siang ibu tanya padaku:
kapan ada uang?
jam setengah tujuh malam
aku berangkat latihan teater
apakah seni bisa memperbaiki hidup?
(Solo, juni 86)
Prestasi tertinggi Thukul di bidang sastra adalah ketika menerima penghargaan Wertheim Encourage Award (1991) dari Wertheim Stichting di Negeri Belanda bersama WS Rendra. Pada tahun 2002 dia diganjar dengan penghargaan Yap Thiam Hien Award 2002.
Dewan Juri Yap Thiam Hien Award 2002 terdiri dari Prof Dr Soetandyo Wignjosoebroto, Prof Dr Azyumardi Azra, Dr Harkristuti Harkrisnowo, HS Dillon, dan Asmara Nababan, pada 27 November 2002, memutuskan secara bulat Thukul sebagai penerima Yap Thiam Hien Award ke-10, menyisihkan Sembilan puluhan peserta dan dua nominator.
Sebuah prestasi yang sangat luar biasa, mengingat Wiji Thukul adalah seorang putus sekolah tapi bisa menjelma jadi pemuda cadas dengan pemikiran luar biasa cerdas dan berani menyuarakan kebenaran melampaui mereka-mereka yang lulusan amrik.
Dari riwayat perjuangan Wiji Thukul ini kita banyak belajar banyak hal. Keberanian, keyakinan dan kesabaran luar biasa. Bahwa kebenaran tak bisa dikalahkan. Wiji Thukul mungkin berhasil dilenyapkan oleh kaki tangan Orba (sampai saat ini belum diketahui keberadaanya) tapi seribu Wiji Thukul akan lahir. Mereka adalah yang berempati dan terinspirasi yang meneruskan perjuangan. Penindas tak akan pernah tidur tenang lagi.
Melalui puisinya Thukul mengingatkan agar kita berani bersuara, tidak cuma diam asal admin eh..boss senang. Seperti dalam puisinya :
SAJAK SUARA
sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu : pemberontakkan!
sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang merayakan hartamu
ia ingin bicara
mengapa kaukokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?
sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ia yang mengajari aku untuk bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan
(Solo, tanpa tahun)
Wiji Thukul juga mengkritik pedas orang yang berilmu tinggi tapi untuk membodohi dan menguasai rakyat jelata. Juga pada mereka yang berilmu tapi hanya diam membisu padahal angkara murka berada di sekitarnya.
APA GUNA
Apa gunanya punya ilmu tinggi
Kalau hanya untuk mengibuli
Apa gunanya banyak baca buku
Kalau mulut kau bungkam melulu
Di mana-mana moncong senjata
berdiri gagah
kongkalikong
Dengan kaum cukong
Di desa-desa rakyat dipaksa
Menjual tanah
Tapi, tapi, tapi, tapi
Dengan harga murah
Apa gunanya punya ilmu tinggi
Kalau hanya untuk mengibuli
Apa gunanya banyak baca buku
Kalau mulut kau bungkam melulu
(Solo, tanpa tahun)
Sebenarnya masih banyak cerita soal Wiji Thukul yang sangat menarik yang kalau ditulis bisa menghabiskan berjilid-jilid buku. Tapi saya yakin ente nggak punya waktu seharian untuk baca tulisan in. Masih buanyak artikel di luar sana yang lebih ciamik dan bermanpangat.
Setidaknya dari sekelumit kisah di atas, kita bisa banyak mengambil hikmah dari sebuah pelajaran hidup dari seorang miskin dan lemah tapi berani menegakan kebenaran walaupun itu pahit.
Maka nggak salah kalau kisah Wiji Thukul ini akan diangkat ke layar lebar. Adalah Okky Madasari, novelis yang dikenal dengan karya-karya yang menyuarakan kritik sosial akan berkolaborasi dengan sutradara Yosep Anggi Noen yang akan mewujudkannya. Kita tunggu aja tanggal mainnya. Trims.
 -Robbi Gandamana-
 Referensi: 1, 2, 3, 4, 5 dan 6.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H