Mohon tunggu...
Randy Mahendra
Randy Mahendra Mohon Tunggu... Penulis - Warga Biasa

Warga Biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pembunuhan di Pagi Buta

22 Januari 2024   23:56 Diperbarui: 22 Januari 2024   23:57 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (Sumber: Pixabay)

Sahid yang baru pulang bertualang itu merasakan hawa di kampungnya ada yang berubah Menjadi kian sesak saja, pikirnya. Kedua tangannya sibuk menjinjing dua plastik besar yang penuh barang belanja. Ia  membeli oleh-oleh buat Syarif, Maria dan juga Magda. Ia sudah membulatkan tekad untuk membuat pengakuan kepada mereka.

Tapi, hawa kampung yang sesak itu makin sesak ketika ia melihat beberapa tetangga yang ditemuinya lari. Ia merasa tak punya salah kepada mereka. Justru ia merasa bersalah pada Syarif, karena pergi tanpa sepengetahuannya. Memang tak ada seorang pun yang tahu kepergiannya kecuali tengkulak yang mobilnya ia tumpangi. Sudah terhitung dua minggu sejak kepergiannya. Di kota, ia bekerja jadi kuli. Ia tak melaut karena laut sedang mengalami cuaca buruk. Dari pekerjaannya di kota itulah ia bisa membeli barang-barang hadiah itu.

Ia  berjalan gontai menuju kampung. Memikirkan orang yang ia temui di jalan masuk yang lari itu. Kenapa mereka lari? Apakah aku menjadi menakutkan? Tanyanya dalam hati.

Tak lama kemudian tiba-tiba dari arah depan, berkumpul orang-orang mengepung Sahid. Ia bingung, ia merasa  tak punya salah kepada mereka. "Apa yang kalian inginkan?" tanya Sahid dengan suara yang keras. Bukannya menjawab pertanyaan Sahid, mereka malah menyeretnya. Bajunya hampir lepas karena ditarik-tarik. Dan hadiahnya dalam plastik besar itu jatuh. Dinjak-injak oleh orang-orang yang mengepungnya. "Berikanlah pengakuan kepada, Magda!" teriak orang-orang itu ketika sampai di rumah Magda.

"Apa yang harus aku akui?"

"Jangan pura-pura tidak tahu!" teriak orang yang paling garang di antara mereka.

Mendengar ribut-ribut, Magda segera keluar.

Sahid meminta penjelasan pada Magda, "apa yang harus kuakui? Mereka ini orang gila," kata Sahid berharap Magda memberi pertolongan. "Apa yang harus kuakui?" tanya Sahid sekali lagi. Tapi Magda tak menjawab pertanyaan Sahid. Justru ia menatap Sahid dengan tatapan dendam. "Baiklah, aku akui. Maria memang anakku, lalu apa salahnya?" kata Sahid. Kini ia menatang orang-rang itu, "kalian ingin aku menikahi Magda? Baiklah aku akan menikahinya segera. Bahkan hari ini tanpa kalian paksa aku akan menikahinya."

Bukannya membela Sahid, Magda malah masuk ke dalam rumah. Sebentar kemudian keluar lagi membawa palu. Tanpa berkata apa-apa Magda langsung menghantamkan palu itu ke kepala Sahid berkali-kali. Sampai darah mengucur dari pelipisnya.

Tiba-tiba Syarif berlari ke arah kerumunan itu. Lantas ia menyibak kerumunan orang-orang itu. Mendapati ayahnya dipukuli oleh Magda, ia meghambur dan menjadikan tubuhnya sebagai perisai, "ampuni, ayah! Tolonglah!" Syarif memamohon-mohon pada Magda. "Akulah yang membunuh anakmu. Bapak tak bersalah."  Lalu Magda tersungkur dan tak sadarkan diri. Sedangkan Sahid mendengar itu menatap kosong pada Syarif.

*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun