"Malam itu Sahid mabuk berat. Ia menampar Syarif berkali-kali. Jika sedang mabuk, Sahid sering bertingkah kelewat batas. Tak kuasa aku untuk melerai mereka."
"Apa Maria juga tahu peristiwa itu?" Tanya polisi.
"Tidak. Maria tidak tahu. Aku yakin dia sudah tidur."
"Baik, lanjutkan," kata polisi.
"Ketika muka Syarif  sudah babak belur, ia lari karena saking takutnya. Sedangkan Sahid masih di kedai."
"Sahid adalah pelanggan terakhir  yang ada di kedai sebelum kututp. Sahid mengancamku 'Bukankah kau tahu siapa anakmu itu?' tanya Sahid kepadaku dengan kasar, 'Jika kau tak menjauhkan mereka, aku akan menjauhkan dengan caraku sendiri."
"Aku menjawab ancamannya dengan tegas, 'Tidak Sahid. Aku tidak akan menjauhkan dua orang yang saling mencintai. Cinta yang tak pernah kurasakan seumur hidup."
"Apa Sahid tidak memukulmu?" tanya polisi.
"Tidak, Sahid tidak memukulku. Aku juga heran. Biasanya jika permintaannya dibantah, ia akan memukul siapa saja yang membantah."
"Malam itu, Sahid pergi dengan bersungut-sungut. Ia sering mengancamku. Namun, tak kusangka jika Sahid nekat melakukan... ah", Magda tak kuasa melanjutkan. Tenggorokkannya terasa tersekat. Ia menangis tersedu-sedu di depan polisi yang mencatat keterangannya.
Pengakuan